Pengamat kebijakan publik Universitas Trisakti, Trubus Rahardiansyah, mengatakan langkah pemerintah yang mengadakan kerja sama dalam pengadaan vaksin corona dengan perusahaan internasional mencerminkan sebuah kepanikan pemerintah. Pasalnya, belum ada perkembangan yang signifikan dalam upaya mengatasi pandemi di tanah air. Kasus positif yang terus meningkat sampai detik ini mengindikasikan pemerintah gagal dalam meredam penularan Covid-19, ujarnya.
“Artinya kebijakan yang selama ini ditekankan lebih ke arah gagal dalam hal untuk menekan laju penyebaran Covid-19 itu sendiri. Terus upaya yang dilakukan oleh pemerintah, menjalin kerja sama farmasi dari berbagai negara itu sebenarnya terlalu terburu-buru, karena Vaksin Merah Putih sendiri juga sedang di ujicobakan di Bandung," ungkap Trubus kepada VOA.
"Harusnya paling tidak menunggu itu, dan menunggu dari WHO, karena sampai hari ini WHO belum merekomendasikan vaksin apa yang paling ideal, apakah itu dari China, atau dari Korsel, Inggris, atau tempat lain,” tambahnya.
Selain itu, menurutnya, langkah pemerintah ini dilakukan untuk memberikan harapan dan ketenangan kepada masyarakat yang juga panik dalam menghadapi perebakan virus tersebut. Apalagi berdasarkan survei yang dilakukan oleh beberapa lembaga, kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah mengalami tren penurunan meskipun saat ini masih ada 60 persen masyarakat yang percaya kepada pemerintah.
Vaksin Covid-19, Cegah Penularan Sambil Cari Untung?
Ada beberapa hal yang dikhawatirkan oleh Trubus terkait kerja sama pengadaan vaksin, yakni, pemerintah lebih mencari keuntungan dibandingkan melindungi masyarakat agar tidak terpapar virus corona. Apalagi, katanya, menteri-menteri yang berperan dalam negosiasi pengadaan vaksin tersebut mempunyai latar belakang sebagai pengusaha.
Hal tersebut diperkuat, karena Indonesia seringkali tidak mempercayai produksi dalam negeri, sehingga Vaksin Merah Putih yang saat ini sedang menjalani uji coba akan kalah dengan produk vaksin impor yang dibeli oleh pemerintah.
“Saya khawatir ketika produksi Vaksin Merah Putih tidak diakui, karena tidak ada keuntungan. Kita kan selalu mencari keuntungan, gw dapat apa? Para pejabat mikirnya gw dapat apa kalau memproduksi yang dalam negeri (Vaksin Merah Putih). Itu kan mereka gak dapat apa-apa,” jelasnya.
Hal lainnya yang ia takutkan adalah adanya korupsi kebijakan dalam pengadaan vaksin Covid-19, misalnya produksi massal vaksin ini nantinya hanya akan dimonopoli oleh perusahaan tertentu saja.
“Saya khawatir nanti ada korupsi kebijakan. Misalnya kita nunjuk vaksin A, kenapa hanya boleh Bio Farma saja, nanti Bio Farma monopoli semua, atau perusahaan tertentu yang ditunjuk, jadi akan ada yang namanya korupsi kebijakan, dikuasai oleh perusahaan-perusahaan yang dimiliki oleh mereka yang sedang duduk di pemerintahan misalnya,” tuturnya.
BACA JUGA: Jokowi Tidak Ingin Ada Salah Persepsi Soal Vaksin Covid-19Kompetisi sengit antar vaksin pun diprediksi akan terjadi, karena pemerintah melakukan pengadaan kerja sama vaksin ini dengan beberapa perusahaan.
“Terjadi semacam kompetisi dan masyarakat nanti jadi bingung, harus menggunakan yang mana? Sementara nanti akan ada aturan bagi mereka yang tidak mau divaksin juga akan disangsi, di denda. Jadi artinya masyarakat dipaksa untuk bervaksinasi, karena masyarakat Indonesia yang menolak vaksin juga cukup banyak,” tuturnya.
Pemerintah Terburu-buru?
Hal senada, juga disampaikan oleh ahli epidemiologi Universtitas Indonesia (UI) Pandu Riono. Ia berpendapat pemerintah terkesan terburu-buru dalam memutuskan pengadaan vaksin ini. Seharusnya, ujar Pandu, pemerintah merancang rencana jangka panjang dalam menghadapi pandemi, karena pandemi ini akan berlangsung cukup lama, dan vaksin bukan satu-satunya solusi terbaik.
“Kalau punya rencana tidak perlu panik, karena menghadapi pandemi ini memang jangka panjang. Jadi vaksin adalah solusi jangka panjang, kelihatan ketergesaan ini, lebih di-drive oleh para menteri-menteri perekonomian," kata Pandu kepada VOA.
"Jadi yang pergi kan (menteri) BUMN, kan jadi deal-deal-nya ingin cepat selesai padahal mereka gak paham bahwa solusi jangka pendek itu adalah memperkuat surveillance, testing, pelacakan kasus, dan isolasi dan itu masih harus dilakukan terus walaupun sudah vaksin tahun depan,” tambahnya.
Lebih lanjut Pandu mengatakan program vaksinasi tidak mudah untuk dilakukan karena dibutuhkan persiapan yang matang dan cukup panjang, apalagi Indonesia tidak mempunyai pengalaman dalam hal vaksinasi orang dewasa. Ia pun memperingatkan pemerintah terkait vaksin tersebut, karena apabila vaksin tidak terbukti efektif, maka pemerintah bisa kehilangan kepercayaan dari masyarakat sepenuhnya.
“Menunggu seharusnya, nanti kan akan di-review oleh ahli dunia, kalau di-review oleh ahli kita saya gak yakin akan objektif, apalagi BPOM kan instrumen pemerintah. Jadi menurut saya, akan terpaksa mengeluarkan emergency authoritation, itu yang saya khawatirkan. Jadi tidak menunggu penelitiannya Unpad (Universitas Padjajaran -red) selesai, tidak menunggu lagi benar-benar hasil uji klinik fase 3 di dunia yang katanya sudah selesai tapi belum ada laporannya, mungkin hanya dilaporkan sementara, belum dipublikasi, ini kan harus di-review oleh WHO jauh lebih aman," papar Pandu.
"Dan kita harusnya bekerja sama dengan WHO. Semua negara pasti kebagian vaksin, makanya jangan terburu-buru, jatahnya 20 persen dulu karena kalau pandemi ini masih ada negara yang gak dapet vaksin, itu pandemi gak akan pernah selesai,” tegasnya.
Lebih jauh Pndu menjelaskan pengembangan vaksin tidaklah mudah. Dibutuhkan waktu yang cukup lama untuk yakin bahwa vaksin-vaksin ini nantinya bisa melindungi seseorang dari paparan virus corona.
BACA JUGA: Pemerintah Jamin Vaksin Covid-19 Aman Digunakan“Jarang penelitian untuk uji klinis cuma enam bulan. Kita butuh waktu membiarkan orang yang kita uji betul-betul terekspos sama virus, kita usahakan, oportunitynya kita tingkatkan lebih lama, dan mereka akan terekspos virus, betul-betul ada efeknya. Orang-orang yang sudah terekspos virus itu tidak akan terinfeksi, mungkin saja belum terekpose secara total, sudah dihentikan karena tidak ada infeksi,” pungkasnya.
Jokowi Tidak Ingin Ada Kegaduhan Terkait Vaksin Covid-19
Dalam rapat terbatas di Istana Kepresidenan Jakarta, Senin (19/10), Presiden Joko Widodo menginstruksikan kepada seluruh jajarannya untuk lebih berhati-hati dalam hal kerja sama pengadaan vaksin ini. Ia tidak ingin muncul salah persepsi di masyarakat, sehingga menimbulkan kegaduhan seperti UU Cipta Kerja.
“Vaksin ini saya minta jangan tergesa-gesa, karena sangat kompleks, menyangkut nanti persepsi di masyarakat. Kalau komunikasinya kurang baik bisa kejadian seperti UU Cipta Kerja ini. Saya minta benar-benar disiapkan mengenai vaksin, mengenai komunikasi publik terutama yang berkaitan halal dan haram,” ungkap Jokowi.
Ia menekankan hal ini harus dilakukan agar tidak muncul berita bohong atau hoaks yang dapat menimbulkan kegaduhan atau penolakan dari masyarakat seperti halnya yang terjadi dalam penerbitan UU Cipta Kerja.
"Siapa yang gratis, siapa yang mandiri harus dijelasin harus detail jangan dihantam oleh isu, diplintir kemudian kejadiannya bisa masyarakat demo lagi karena memang masyarakat sekarang ini dalam posisi yang sulit,” katanya.
Pemerintah Jamin Keamanan Vaksin
Sementara itu, Juru Bcara Satuan Tugas (Satgas) Penanganan Covid-19 Profesor Wiku Adisasmito mengatakan, pemerintah akan menjamin keamanan dan keefektivan daripada vaksin sebelum disuntikkan kepada jutaan masyarakat di Indonesia.
Pihaknya, akan mengusahakan program vaksinasi yang aman dan merata di seluruh pelosok tanah air.
“Jadi untuk memastikan keamanan dan efektivitas vaksin Covid-19 maka pengembangan vaksin atau para pengembang vaksin harus melalui berbagai tahapan pengembangan, termasuk uji klinik fase 1 hingga 3. Tahapan-tahapan ini merupakan upaya yang berbasis medis dan ilmiah untuk memastikan keamanan, efektivitas dan juga dosis aman yang dapat digunakan kepada masyarakat," katanya.
"Vaksin yang nantinya akan diberikan kepada masyarakat adalah vaksin yang lulus pada semua tahapan uji klinis sehingga aman dan efektif untuk digunakan,” ujar Wiku. [gi/em]