"Nama saya Bismillah Tahirzada, saya pengungsi dari Ghazni, Afghanistan. Saya sudah berada di Jakarta, Indonesia sejak 2014. Sebagai pengungsi, saya sudah lebih dari tujuh tahun disini. Saya sebagai pengungsi di Indonesia hanya berusaha untuk bertahan hidup dan mencukupi kebutuhan hidup saya dengan segala pengetahuan dan pengalaman saya selama menunggu dalam ketidakpastian tanpa mengetahui sebuah kepastian yang tidak seorangpun mengetahui apakah yang akan terjadi esok hari," ujar Bismillah Tahirzada.
Ia adalah salah seorang dari 14.000 pengungsi yang berada di Indonesia dan masih menunggu penempatan ke negara ketiga. Perang berkelanjutan di Afghanistan memaksanya keluar dari negara itu menuju ke Iran. Namun berharap mendapat penghidupan yang lebih baik, pada tahun 2014, ketika ia berusia 16 tahun, Bismillah mengadu nasib ke Indonesia.
Ia sempat menetap di Cisarua, Bogor, sebelum pindah ke Cawang, Jakarta Timur di mana ia menyewa rumah kontrakan sederhana. Setelah empat tahun berupaya keras menempuh beragam cara untuk dapat ditempatkan di negara ketiga tanpa hasil, Bismillah mengikuti pelatihan “Ready for Bussiness” yang diselenggarakan oleh Badan PBB Urusan Penanganan Pengungsi UNHCR dan Organisasi Migrasi Internasional IOM, bekerjasama dengan Universitas Katholik Atmajaya dan Dompet Duafa. Dalam pelatihan selama enam bulan itu Bismillah diajak membuat rencana usaha agar mandiri.
BACA JUGA: Pencari Suaka di Jakarta Hidup dalam KetidakpastianPelatihan Pengungsi Bangkitkan Semangat
Fasilitator dari Universitas Katolik Atmajaya, Inggrid Nathania Wongso, menceritakan bagaimana program pelatihan hasil kerja sama UNHCR dan IOM bersama UNIKA Atmajaya dan Dompet Dhuafa itu berhasil membangkitkan semangat sejumlah pengungsi.
"Pertama kali saya kenal mereka, memang saya memiliki unsur kasihan kepada mereka. Karena memang beberapa dari mereka itu memiliki potensial, mereka masih muda dan rajin serta memiliki kemampuan. Jadi kemudian saya berpikir kalau misalnya dari orang tersebut mau berusaha, mengapa tidak saya bantu dengan apa yang saya bisa bantu."
Diwawancarai secara terpisah, Assistant Protection Officer UNHCR Dwita Aryani mengatakan program pelatihan yang teratur dan sistematis untuk memberdayakan pengungsi bersama mitra-mitra lokal ini penting agar para pengungsi dapat belajar mandiri sementara menunggu penempatan di negara ketiga.
“Jadi pada dasarnya karena masa menunggu penempatan ke negara ketiga itu akan lama karena tempatnya terbatas, kami dari UNHCR menilai penting untuk meningkatkan keterampilan pengungsi bersama mitra-mitra lokal agar mereka bisa hidup lebih mandiri selama menunggu penempatan," kata Dwita.
"Selain itu kami juga berharap mereka tidak tergantung pada pendanaan atau bantuan dari negara-negara yang sifatnya tidak jelas sampai kapan. Jika mereka memiliki keahlian atau keterampilan khusus, hal ini juga akan semakin menarik negara ketiga untuk menerima mereka," lanjutnya.
Kepala Misi Organisasi Migrasi Internasional Louis Hoffman juga memuji langkah ini dan mengapresiasi pemerintah Indonesia yang memberi kemudahan dalam berbagai program pelatihan seperti ini.
“Secara keseluruhan tujuan kami adalah memastikan pemanfaatan waktu para pengungsi secara produktif ketika mereka berada di sini, dan ini penting untuk berbagai alasan," katanya.
"Baru saja saya melangsungkan pertemuan dengan pemerintah Indonesia tentang beragam keahlian para pengungsi yang datang ini, ada yang dokter, pengacara, insinyur, orang-orang dengan beragam keahlian dan mereka dapat berkontribusi pada masyarakat lokal. IOM juga memiliki banyak latihan kejuruan dan program pemberdayaan yang kami lakukan, tidak saja bagi para masa depan pengungsi tetapi juga kontribusi mereka pada masyarakat di mana mereka saat ini berada," paparnya.
Indonesia Minta UNHCR Tangani Pengungsi
Indonesia belum menjadi negara pihak yang meratifikasi Konvensi Tahun 1951 tentang Status Pengungsi, atau Protokol Tahun 1967, dan belum mempunyai sistem penentuan status pengungsi. Oleh karena itu pemerintah Indonesia, lewat peraturan presiden tahun 2016 memberikan kewenangan pada UNHCR untuk melindungi dan menangani masalah pengungsi di negara ini.
Peraturan ini penting karena Indonesia berada di antara negara-negara penerima pencari suaka dan pengungsi dalam jumlah besar, seperti Malaysia, Thailand dan Australia. Banyak pengungsi singgah ke Indonesia dengan harapan dapat ditempatkan ke negara-negara tadi, meski mereka menyadari Indonesia belum meratifikasi kedua perjanjian penting tadi. Hingga akhir Desember 2020 ada 13.745 pengungsi dari 50 negara yang berada di Indonesia. Lebih dari separuhnya berasal dari Afghanistan, seperti Bismillah Tahirzada.
“UNHCR tetap menjalankan mandat kami sesuai dengan kesepakatan dengan pemerintah Indonesia, termasuk meregistrasi pengungsi, melakukan penentuan status pengungsi untuk menyaring siapa yang pengungsi dan bukan, dan mencari solusi komprehensif bagi mereka," kata Dwita.
"Penempatan ke negara ketiga ini khan terbatas, di mana per tahunnya kurang dari 1% pengungsi secara global yang dapat ditempatkan ke negara ketiga, jadi kami mencari alternatif cara. Karena selain jalur resettlement ke negara ketiga, ada jalur altenatif seperti lewat jalur private sponsorship dan edukasi. Itu pun tetap harus dilakukan seleksi dengan melihat tingkat kerentanan pengungsi secara komprehensif dan obyektif," lanjutnya.
Your browser doesn’t support HTML5
Kerentanan yang dimaksudnya antara lain kondisi medis dan mental, anak-anak yang datang tanpa pendamping atau anak-anak yang membutuhkan pendidikan, korban penyiksaan di negara asal dan lain-lain.
“Setiap pengungsi dapat memiliki satu atau beberapa kerentanan sekaligus,” ujar Dwita, yang akan dievaluasi secara obyektif “karena tidak semua kerentanan itu kasat mata.”
BACA JUGA: Pengungsi Rohingya Belajar Fotografi untuk Dokumentasikan Kehidupan di KampCOVID-19 Tak Patahkan Semangat
Bismillah adalah salah seorang pengungsi yang hingga tahun ini masih menunggu proses penempatan. Namun ia tidak patah semangat. Berbekal pelatihan keterampilan yang didapatnya, sejak tahun 2019 ia membuat dan menjual kripik kentang dengan berbagai rasa. Ia menamakan produk jualannya “Ashimashi” atau dalam bahasa Persia berarti “mungil.”
"Kripik kentang yang saya buat ini namanya Ashimashi, yang dalam Bahasa Persia artinya Small and Tiny. Hingga saat ini sudah memiliki 4 varian rasa, Seasalt, Sea Salt Vinegar, Seaweed dan Chilli... Perbedaan kripik kentang yang saya buat dengan produk lainnya adalah terbuat dari bahan yang masih segar, dibuat di rumah dan handmade, juga tidak menggunakan MSG atau pengawet buatan. Jadi dapat dikatakan ini lebih sehat dibanding produk lainnya," katanya.
Bismillah menawarkan produknya melalui Instagram, serta e-commerce seperti Tokopedia dan Shoppe yang dibuat sendiri olehnya. Namun yang membuat “Ashimashi” mulai dikenal publik adalah pujian pelanggan yang disampaikan dari mulut ke mulut, meskipun sejauh ini ia hanya dapat melayani konsumen sesuai ijin kerjanya, yang hanya mencakup Jakarta dan Bogor. Ironisnya di kala usahanya mulai dikenal, pandemi virus corona merebak.
“Situasi saat ini agak terlalu sulit karena pademik COVID-19, jadi situasi bisnis di Indonesia kebanyakan terkena dampaknya dari pandemik COVID-19 termasuk usaha saya. Jadi bisa dibilang, saat ini lebih sulit dari sebelumnya," kata Bismillah.
Fasilitator dari Universitas Katolik Atmajaya, Inggrid Nathania Wongso tetap yakin Bismillah dan para pengungsi yang tak patah arang lainnya akan bertahan di tengah pandemi ini.
"Bismillah orang yang rajin, memiliki kemampuan untuk maju. Dia juga mau bergerak, tidak hanya menunggu saya, tapi dari dianya juga bergerak. Kurang lebih seperti itu. Dia juga bisa berkembang lebih. Namun karena faktor dia bukan warga negara Indonesia, jadi tidak boleh mengembangkan bisnis. Jadi saya cuma bisa bantu legalitas dan segala macamnya. Selanjutnya memang dari dia-nya sendiri yang harus ada kemauan untuk maju dan Bismillah bisa," katanya.
Menurut data UNHCR Indonesia, sepanjang tahun 2020 lalu ada 403 pengungsi yang sudah ditempatkan ke negara ketiga lewat proses penempatan reguler dan 27 orang lewat jalur private sponsorship. [iy/em]