Keberadaan ribuan warga Gipsi, atau sering juga disebut Roma, dengan budayanya di New York memberi pengaruh terhadap kota itu.
Mereka dikenal dengan banyak nama: Gipsi, Pengelana, dan Roma. Apa pun istilahnya, Roma adalah salah satu kelompok etnis yang paling banyak tersebar di dunia dan paling sedikit dipahami. Jumlah mereka sekitar 12 juta, dan ribuan di antaranya tinggal di New York.
Musik dan perayaan ala Gipsi digelar di klub malam Drom, pusat Festival Gipsi New York yang berlangsung selama tiga minggu.
Acara ini menyoroti budaya musik orang-orang yang bermigrasi ke utara dari India sekitar seribu tahun lalu dan sebagian besar menetap di Eropa selatan dan timur, Balkan dan Rusia.
Produser Mehmet Dede mengatakan festival ini ditujukan bagi orang-orang, seperti dirinya, yang “dekat dengan Gipsi di hati."
"Menurut saya di Kota New York, ada sedikit Gipsi dalam diri kita," ujarnya.
Seperti halnya kaum Gipsi yang terpengaruh dengan tempat tinggal mereka, New York juga dibentuk oleh kelompok imigran yang menetap di sini, termasuk komunitas Gipsi.
Petra Gelbart mengadakan lokakarya di mana ia memperkenalkan bahasa, tarian dan musik Gipsi kepada warga non-Gipsi, atau "gadje."
Ia juga kerap meluruskan apa yang disebutnya kesalahpahaman.
"Sebagian besar kaum Gipsi tidak suka berpindah-pindah tempat tinggal. Kami adalah orang-orang yang telah menetap selama ratusan tahun atau berupaya menetap dan mendapatkan pekerjaan," papar Gelbart.
Gipsi sejak dulu menganggap diri mereka orang luar dan mereka sering dianiaya. Mereka sering distereotipkan sebagai berantakan dan tidak jujur.
Setengah-juta kaum Gipsi dibunuh oleh Nazi selama Perang Dunia Kedua. Kini, kekerasan anti-Gipsi meningkat di Eropa barat dan selatan. Bahkan di Amerika, sebagian imigran Gipsi khawatir distigma.
Namun, banyak penduduk asli New York keturunan Gipsi, seperti penari Pirozhka Racz, bangga untuk mempertahankan beberapa tradisi Gipsi yang terkenal, termasuk meramal.
Racz mengatakan, terlepas dari era globalisasi, Gipsi akan selalu ada.
"Kami tidak membiarkan semua kesedihan selama berabad-abad mengubah diri kami. Kami pada dasarnya sama, menjaga agar hal-hal yang penting tetap hidup - kemurahan hati, berbagi dengan keluarga, musik dan seni lainnya yang kita lakukan," ujarnya.
Dan mengingat semakin banyaknya popularitas musik, tari, dan bahkan fashion ala Gipsi, komunitas ini akan tetap menjadi bagian dari budaya New York dalam tahun-tahun mendatang.
Musik dan perayaan ala Gipsi digelar di klub malam Drom, pusat Festival Gipsi New York yang berlangsung selama tiga minggu.
Acara ini menyoroti budaya musik orang-orang yang bermigrasi ke utara dari India sekitar seribu tahun lalu dan sebagian besar menetap di Eropa selatan dan timur, Balkan dan Rusia.
Produser Mehmet Dede mengatakan festival ini ditujukan bagi orang-orang, seperti dirinya, yang “dekat dengan Gipsi di hati."
"Menurut saya di Kota New York, ada sedikit Gipsi dalam diri kita," ujarnya.
Seperti halnya kaum Gipsi yang terpengaruh dengan tempat tinggal mereka, New York juga dibentuk oleh kelompok imigran yang menetap di sini, termasuk komunitas Gipsi.
Petra Gelbart mengadakan lokakarya di mana ia memperkenalkan bahasa, tarian dan musik Gipsi kepada warga non-Gipsi, atau "gadje."
Ia juga kerap meluruskan apa yang disebutnya kesalahpahaman.
"Sebagian besar kaum Gipsi tidak suka berpindah-pindah tempat tinggal. Kami adalah orang-orang yang telah menetap selama ratusan tahun atau berupaya menetap dan mendapatkan pekerjaan," papar Gelbart.
Gipsi sejak dulu menganggap diri mereka orang luar dan mereka sering dianiaya. Mereka sering distereotipkan sebagai berantakan dan tidak jujur.
Setengah-juta kaum Gipsi dibunuh oleh Nazi selama Perang Dunia Kedua. Kini, kekerasan anti-Gipsi meningkat di Eropa barat dan selatan. Bahkan di Amerika, sebagian imigran Gipsi khawatir distigma.
Namun, banyak penduduk asli New York keturunan Gipsi, seperti penari Pirozhka Racz, bangga untuk mempertahankan beberapa tradisi Gipsi yang terkenal, termasuk meramal.
Racz mengatakan, terlepas dari era globalisasi, Gipsi akan selalu ada.
"Kami tidak membiarkan semua kesedihan selama berabad-abad mengubah diri kami. Kami pada dasarnya sama, menjaga agar hal-hal yang penting tetap hidup - kemurahan hati, berbagi dengan keluarga, musik dan seni lainnya yang kita lakukan," ujarnya.
Dan mengingat semakin banyaknya popularitas musik, tari, dan bahkan fashion ala Gipsi, komunitas ini akan tetap menjadi bagian dari budaya New York dalam tahun-tahun mendatang.