Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin mengatakan pihaknya akan bekerja sama dengan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) dan berbagai rumah sakit vertikal untuk melakukan review dan uji coba dari semua potensi obat-obatan baru COVID-19.
Ia menjelaskan review tersebut bukan hanya dilakukan untuk obat yang sifatnya manoklonal antibodi, tetapi juga obat antivirus, seperti molnupiravir buatan perusahaan farmasi dari Amerika Serikat Merck & Co.
“Tapi juga bisa obat-obatan anti virus baru seperti yang sekarang lagi ramai didiskusikan Molnupiravir dari Merck. Jadi obatan-obatan tersebut sudah kita approach pabrikannya,” ungkap Budi dalam telekonferensi pers di Jakarta, Senin (4/10).
Selain itu pihak Kemenkes, ujar Budi, juga sudah berencana untuk melakukan uji klinis daripada obat-obatan tersebut dalam waktu dekat.
“Kita juga sudah merencanakan mulai uji klinis dan diharapkan di akhir tahun ini kita sudah bisa mengetahui kira-kira obat mana yang cocok untuk kondisi masyarakat,” jelasnya.
Cukup Menjanjikan
Sementara itu, pakar epidemiologi di Universitas Griffith Australia Dicky Budiman mengatakan berdasarkan hasil riset yang ada sampai saat ini, obat yang diklaim sebagai anti viral, yakni molnupiravir buatan Merck, cukup menjanjikan karena memberikan hasil yang cukup signifikan dan efektif dalam melawan virus COVID-19, termasuk untuk melawan varian delta.
“Ini adalah menjanjikan walaupun ini masih belum dapat approval dari FDA, tapi ini Merck merilis hasil risetnya dan dari data yang saya amati memang cukup menjanjikan karena terbukti dua hal sebagaimana yang diharapkan dia mencegah keparahan, dan juga terbukti mencegah kematian. Dari sampel relawan yang menerima obat ini, ada tujuh persen kurang yang terinfeksi, masuk rumah sakit tapi tidak parah dan tidak ada yang meninggal,” ungkapnya kepada VOA.
BACA JUGA: Australia Kemungkinan Tawarkan Pil Anti-COVID-19 Awal 2022Selain itu, dengan bentuknya yang kapsul menjadikan obat ini nantinya cukup mudah untuk dikonsumsi. Namun sayang untuk saat ini harganya masih terbilang mahal yakni sekitar US$700 atau sekitar 10 juta rupiah. Meski begitu, menurutnya ini masih lebih baik dibanding obat COVID-19 sebelumnya, yakni remdesivir yang berbentuk infus di mana tidak terlalu efektif dalam mencegah keparahan dan kematian.
Dengan semakin banyaknya produsen obat yang melakukan penelitian untuk mencari obat anti virus COVID-19, ia memprediksi pada tahun depan akan ada obat anti virus corona yang terbukti efektif melawan COVID-19 sehingga akan semakin sedikit pasien COVID-19 yang dirawat di ICU dan menggunakan ventilator.
“Dan harapannya terutama menunggu obat yang bisa mencegah long COVID, karena yang sekarang menjadi perhatian para ahli adalah potensi dari COVID-19 ini ya jadi long COVID dimana sepertiga dari kasus yang pulih itu mengalami long COVID dan 70 persennya dari sepertiganya itu mengalami kerusakan organ. Mudah-mudahan dengan kombinasi divaksin, ketika terinfeksi pun setelah divaksin atau belum divaksin tapi diobati ini mudah-mudahan bisa mencegah,” tuturnya.
BACA JUGA: Malaysia Jajaki Beli Obat COVID MerckLebih lanjut ia mengatakan apabila memang obat molnupiravir buatan Merck ini sudah diizinkan oleh FDA, pemerintah nantinya harus bisa memenuhi kebutuhan pengobatan kepada kelompok yang beresiko tinggi dan memiliki risiko kematian tinggi; salah satunya kepada lansia.
“Namun kita harus bersabar karena riset uji klinis fase 3-nya baru selesai November. Sehingga kuartal-I tahun depan prediksi saya akan ada anti viral ini dan yang bagus itu harapannya anti viral ini yang selain (untuk) treatment tapi juga bisa mencegah (terinfeksi COVID-19), ini yang luar biasa, sangat kita harapkan,” tuturnya.
Fokus Perluas Cakupan Vaksinasi
Berbeda dengan Dicky, pakar epidemiologi di Universitas Indonesia Pandu Riono mengatakan obat anti virus buatan Merck tersebut tidak mungkin bisa digunakan di Indonesia. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Merck disebutkan bahwa obat tersebut efektif mengurangi kematian dan keparahan jika diberikan lima hari pertama kepada pasien COVID-19 setelah terinfeksi. Dengan begitu, kata Pandu pemberian obat ini sulit untuk diterapkan di tanah air.
“Yang terinfeksi itu kadang-kadang sebagian besar terlambat (terdeteksi) berapa hari kemudian baru ketahuan, tidak ada gunanya lagi. Dan harganya mahal, jadi tidak bermanfaat. Kita buat apa sih ngurusin obat, apalagi dengan persyaratan seperti itu. Belajar dari pengalaman flu burung, yang namanya tummy flu itu tidak ada manfaatnya karena apa? Karena hanya bisa efektif pada minggu pertama setelah terinfeksi, sebagian besar terlambat. Jadi tidak menolong,” ungkapnya kepada VOA.
Vaksinasi Tetap Jadi Yang Utama
Lebih lanjut Pandu menekankan vaksinasi jauh lebih bermanfaat daripada mencari obat-obatan anti virus, karena sudah terbukti untuk mencegah keparahan dan kematian akibat terpapar COVID-19.
“Saya harus mengingatkan kembali sama Pak Budi dan jajarannya di Kemenkes, lupakan obat, karena kita ingin mengendalikan pandemi, fokus divaksinasi. Vaksinasi itu sebelum terinfeksi, dan itu berdampak panjang untuk melindungi orang supaya tidak masuk ke rumah sakit, kalau obat itu kan harus sakit dulu. Jadi menurut saya Kemenkes jangan tergoda untuk membeli atau mengadakan obat tersebut. Melihat kepentingan publik, karena Kemenkes itu harus memikirkan kepentingan publik. Dengan obat, dengan vaksinasi tetap bermanfaat dengan vaksinasi,” pungkasnya.
Sebelumnya, Merck dan mitranya Ridgeback Biotherapeutics berencana untuk mencari otorisasi penggunaan darurat AS untuk obat tersebut sesegera mungkin. Perusahaan tersebut juga akan membuat aplikasi regulasi secara global.
Pil molnupiravir, yang dirancang untuk memasukkan kesalahan ke dalam kode genetik virus, akan menjadi obat antivirus oral pertama untuk COVID-19. Pilihan pengobatan saat ini, termasuk remdesivir antivirus Gilead Sciences Inc dan deksametason steroid generik, hanya diberikan setelah pasien dirawat di rumah sakit. [gi/em]