Presiden AS Joe Biden menerima sambutan hangat di istana presiden Angola yang bernuansa merah muda pada Selasa (3/12), saat ia melakukan kunjungan pertamanya dan hampir pasti kunjungan terakhirnya ke benua Afrika sebagai presiden.
Setelah berjalan di karpet merah, lagu kebangsaan yang dimainkan oleh band militer, inspeksi pasukan, dan penghormatan dengan tembakan meriam sebanyak 21 kali, Biden dan Presiden Angola Joao Lourenco, didampingi oleh para diplomat, memulai agenda resmi.
“Saya sangat bangga menjadi presiden Amerika Serikat pertama yang mengunjungi Angola, dan saya sangat bangga dengan semua yang telah kita lakukan bersama untuk mengubah kemitraan kita sejauh ini,” kata Biden kepada Lourenco. “Ada begitu banyak hal yang menanti kita, begitu banyak hal yang dapat kita lakukan.”
Penasihat utama pemerintahannya untuk Afrika mengatakan kepada VOA bahwa Biden melihat Angola sebagai “contoh terbaik” dari hubungan kolaboratif dengan Washington.
BACA JUGA: Pakar: Pengampunan Hunter Biden Sejalan Kekuasaan Konstitusional Presiden“Kami, Amerika Serikat, tengah bekerja sama dengan Angola dalam beberapa hal yang sangat penting,” kata Frances Brown, direktur senior Urusan Afrika di Dewan Keamanan Nasional AS, yang berbicara secara eksklusif kepada VOA.
“Salah satunya adalah memperkuat perdamaian dan keamanan di Republik Demokratik Kongo bagian timur. Yang lainnya adalah menumbuhkan peluang ekonomi di kawasan tersebut. Yang ketiga adalah kerja sama dalam bidang teknologi dan ilmiah.”
Biden tidak menyebutkan – setidaknya di depan umum – catatan buruk hak asasi manusia Angola, seperti diungkapkan oleh kelompok hak asasi manusia Amnesty International.
Brown mengatakan kepada VOA bahwa Presiden Biden selalu menyuarakan keprihatinan tentang hak asasi manusia, secara pribadi.
“Ia tidak pernah malu berbicara tentang demokrasi dan isu hak asasi manusia dengan mitra kerjanya,” katanya kepada VOA. “Dan saya pikir itu cukup konsisten dengan cara yang ditempuhnya selama ini, sepanjang kariernya yang sangat panjang dalam pelayanan publik.”
BACA JUGA: Dunia Bersiap Hadapi Dampak Perang Dagang yang Kemungkinan Digelar TrumpKelompok oposisi Angola mengatakan kepada media lokal bahwa Biden kehilangan “kesempatan besar” untuk mendengarkan kelompok masyarakat sipil tentang keprihatinan mereka.
Biden juga menyempatkan diri untuk membahas hubungan darah yang dalam dan menyakitkan antara Angola dan Amerika, setelah tur singkat ke museum perbudakan negara itu. Angola pernah menjadi sumber utama pengiriman budak ke Dunia Baru.
Biden, yang berpidato saat matahari terbenam di depan teluk berkilauan yang terbuka di depan museum bercat putih itu, menggambarkan perbudakan sebagai “dosa asal” negaranya, yang menghantui Amerika dan meninggalkan bayangan panjang sejak saat itu.
Pada hari Rabu, Biden dijadwalkan untuk mengunjungi kota pelabuhan Lobito, tempat jalur kereta api baru yang didanai AS untuk mengangkut bahan baku dari pedalaman Afrika ke pelabuhan yang ramai itu.
BACA JUGA: Biden Ampuni Putranya Hunter Meski Sebelumnya Berjanji Tak akan MelakukannyaPembangunan kembali Railway LoBito Corridor di Zambia, Kongo dan Angola itu untuk meningkatkan kehadiran AS di wilayah yang kaya akan mineral-mineral penting yang digunakan dalam produksi baterai untuk kendaraan listrik, perangkat elektronik, dan teknologi energi bersih.
Lawatan dilakukan beberapa minggu sebelum kepresidenannya berakhir, sementara presiden terpilih dari Partai Republik Donald Trump bersiap untuk menjabat pada 20 Januari.
Biden berjanji akan mengunjungi Afrika tahun lalu setelah menghidupkan kembali KTT AS-Afrika pada Desember 2022. Lawatan itu diundur ke 2024 dan tertunda lagi Oktober lalu karena Badai Milton. Penundaan itu memperkuat sentimen di kalangan orang Afrika bahwa benua mereka belum menjadi prioritas AS.
Presiden AS terakhir yang melawat ke Afrika Sub-Sahara adalah Barack Obama pada 2015. Biden pernah ke Mesir di Afrika Utara untuk menghadiri KTT iklim PBB pada 2022. [lt/ka/ab]