Gedung Putih menjadi pusat aktivitas dalam beberapa pekan terakhir ketika Presiden Joe Biden meningkatkan kampanye pemilihannya kembali. Namun dengan pengunduran dirinya dari kampanye pencalonan presiden yang diumumkannya pada hari Minggu lalu, keadaan telah berubah. Suasana di Gedung Putih saat ini sangat sepi.
Biden, Selasa (23/7) diam-diam kembali ke Gedung Putih setelah pulih dari COVID-19, saat kampanye Wakil Presiden Kamala Harris dimulai. Harris tiba di negara bagian Wisconsin pada hari Selasa.
Tim kampanye lawan, dari kubu mantan Presiden Donald Trump pada hari Selasa memilih untuk menyerang kedua sasaran tersebut.
Senator J.D. Vance, calon wakil presiden dari Partai Republik, mengatakan, “Sejarah akan mengingat Joe Biden bukan hanya sebagai orang yang mudah menyerah, tapi juga salah satu presiden terburuk di Amerika Serikat. Tapi, Kamala Harris sejuta kali lebih buruk, dan semua orang mengetahuinya. Dia ikut serta dalam setiap kegagalan Joe Biden, dan dia berbohong tentang kapasitas mental Joe Biden untuk menjabat sebagai presiden.”
Di Washington, Menteri Luar Negeri Antony Blinken memuji Harris sebagai “suara terdepan dalam kebijakan luar negeri Amerika dan diplomasi Amerika.”
Namun dia menekankan bahwa Biden memiliki banyak pekerjaan yang harus dilakukan bahkan ketika Harris berkampanye untuk mengambil alih kendali.
“Apa yang sangat sangat menjadi fokusnya adalah pekerjaan yang masih harus dilakukan selama enam bulan ke depan untuk melanjutkan upaya tersebut, pekerjaan yang telah kami lakukan, khususnya upaya untuk membawa perdamaian ke Timur Tengah, mengakhiri perang di Gaza, menempatkan wilayah tersebut pada posisi yang lebih baik,” sebutnya.
Para analis setuju. Navin Nayak, presiden dan direktur eksekutif Center for American Progress Action Fund, berbicara dengan VOA melalui tautan Zoom.
“Masih ada seperdelapan masa jabatan presiden ini, dan masih ada tantangan nyata, baik di dalam negeri dalam hal menurunkan biaya hidup, dalam hal melindungi konsumen dari biaya-biaya tidak terduga dan terselubung, dan melindungi pekerja dari peraturan buruk yang menguntungkan perusahaan dan kepentingan luar negeri. Juga mencoba untuk mewujudkan gencatan senjata dan perdamaian di Timur Tengah, mencoba untuk terus melawan perang yang dilakukan Rusia di Ukraina,” jelasnya.
Situasi demikian juga membuat para pemimpin asing berada dalam posisi yang canggung, seperti yang dialami oleh perdana menteri Israel minggu ini selagi dia bersiap untuk bertemu dengan Biden, Harris, dan Trump.
Jeremi Suri, profesor hubungan internasional di Universitas Texas di Austin. menjelaskan melalui tautan Zoom, “Saya pikir Biden mempunyai satu masalah secara internasional, yaitu bahwa para pemimpin asing tahu bahwa dia tidak akan menjabat setelah beberapa bulan lagi, sehingga mereka akan ragu-ragu untuk membuat kesepakatan dengannya karena mereka tahu siapa pun yang akan menjabat selanjutnya – dan bahkan jika itu adalah Harris, ia kemungkinan besar memiliki tim kebijakan luar negeri dan tujuan tersendiri. Di sisi lain, saya pikir para pemimpin asing ingin mencapai hal-hal yang dapat mereka capai dengan cepat bersama Biden karena mereka tidak yakin apa yang akan terjadi setelah dia tidak menjabat.”
Untuk kedua kalinya bulan ini, Biden akan menggunakan suasana suram di Ruang Oval untuk berbicara, secara langsung, kepada rakyat Amerika. Pada Rabu (24/7) malam waktu setempat, dia akan menggunakannya untuk memberi tahu rakyat AS mengapa dia mengambil keputusan pribadi untuk mundur. [lt/ka]