Presiden Donald Trump telah menunda pelaksanaan kenaikan tarif impor baru atas barang-barang buatan Cina yang sedianya akan dimulai tanggal 1 Maret lalu, karena katanya telah dicapai banyak kemajuan dalam perundingan datang yang diadakan antara kedua negara.
Robert Daly, direktur lembaga studi Wilson International Center di Washington mengatakan, “Kalau Trump tidak menunda tenggat waktu itu, maka tarip impor barang-barang buatan China bernilai 200 milyar dollar sudah akan naik dari 10 persen menjadi 25 persen mulai tanggal 1 Maret lalu.”
Kata Robert Daly, kenaikan itu pastilah akan menambah beban konsumen Amerika, dan meningkatkan ongkos produksi barang di Amerika yang menggunakan komponen impor dari China.
BACA JUGA: Trump Minta China Cabut Tarif atas Produk Pertanian ASJadi kenapa Presiden Trump melakukan hal itu?
“Pada mulanya, Trump sangat tegas ketika menentukan batas waktu tanggal 1 Maret itu, karena katanya, ‘Saya adalah Tukang Tarip’. Kini ia mengatakan telah dicapai kemajuan dalam perundingan dagang, dengan harapan bisa dicapai kata akhir tentang bagaimana melakukan perdagangan yang saling menguntungkan kedua negara.”
Tapi Robert Daly mengatakan kepada stasiun televisi C-Span bahwa pernyataan Trump itu bisa diartikan sebagai “telah dicapai kemajuan yang substansial,” atau “belum dicapai cukup kemajuan.”
Ketika mengumumkan penundaan itu, Trump tidak menetapkan batas waktu yang baru untuk mencapai perjanjian dagang yang menyeluruh. China, kata Robert Daly, sangat pandai dalam mengukur-ulur waktu perundingan.
“Jadi pertanyaannya, apakah masih ada urgensi untuk mencapai perjanjian? Atau apakah pergesekan dagang seperti ini, yang disertai perundingan berkepanjangan, akan menjadi suatu hal yang lumrah dalam hubungan Amerika-China di masa depan?”
Amerika sejak lama mengeluh karena China telah melakukan pencurian hak milik intelektual, yang menurut Robert Daly kini telah agak berkurang karena China berhasil mengembangkan teknologinya sendiri.
BACA JUGA: Panel WTO Dukung AS dalam Kasus Subsidi Pertanian ChinaIsu kedua adalah, apa yang disebut Amerika sebagai paksaan bagi pebisnis Amerika yang berusaha di China untuk membagi teknologi mereka dengan perusahaan lokal. Itu berarti, teknologi Amerika nantinya akan dimiliki oleh perusahaan China, yang pada gilirannya akan menjadi saingan perusahaan Amerika sendiri.
Kesulitan besar dalam menyelesaikan masalah ini adalah karena China selalu membantah telah melakukan kedua hal itu.
China mengatakan tidak memaksa perusahaan Amerika membagi teknologinya dengan perusahaan lokal, karena itu adalah syarat-syarat perjanjian yang disepakati perusahaan Amerika untuk bisa berusaha dengan resmi di China, supaya mendapat akses pasar yang sangat besar di negeri itu.
“Kalau Presiden Trump akhirnya menandatangani perjanjian dagang dengan China, di mana China setuju untuk membeli lebih banyak hasil pertanian Amerika, gas alam, pesawat terbang dan lain-lain, dan hanya berjanji akan bertingkah laku lebih baik di masa depan, sesuai dengan kebutuhannya sendiri, ini hanya akan mengulang kembali apa yang telah terjadi selama puluhan tahun terakhir.”
Jadi dengan kata lain ada rasa pesimis dicapainya perjanjian yang saling menguntungkan?
“Adanya rasa kurang percaya itu disebabkan karena praktek dagang China sangat ditentukan oleh garis kebijaksanaan Partai Komunis yang berkuasa, dan mereka tidak akan mengubahnya.”
Itulah ulasan Robert Daly, pakar hubungan internasional pada Wilson International Center di Washington. (ii)