Bisakah Trump atau Harris Akhiri Perang? 

  • Patsy Widakuswara

Kombinasi foto: Mantan Presiden AS dan Capres Partai Republik Donald Trump (kiri) dan Wakil Presiden AS yang juga calon presiden dari Partai Demokrat Kamala Harris (foto: dok).

Wakil Presiden Kamala Harris mengatakan bahwa dia percaya AS harus memimpin dengan cara membangun aliansi untuk mengelola konflik. Mantan Presiden Donald Trump mengatakan bahwa proyeksi kekuatan dan ketidakpastiannya bisa menghentikan perang sebelum dimulai.

Kepala Biro Gedung Putih VOA Patsy Widakuswara berbicara dengan para ahli tentang pendekatan kebijakan luar negeri yang lebih baik dalam mengurangi konflik, di tengah perang di Timur Tengah dan Eropa.

Pada Januari 2025, Donald Trump atau Kamala Harris akan menjadi presiden Amerika berikutnya, menjadi penentu kepentingan geostrategis AS dan panglima tertinggi yang akan memimpin militer terkuat di dunia.

“Saya tidak punya pengalaman perang. (Pemerintahan) Saya tidak punya perang, selain ISIS, yang saya kalahkan, tetapi perang itu sudah dimulai sebelumnya. Kita tidak memiliki perang. Saya bisa menghentikan perang hanya dengan sebuah percapakan telepon,” kata Trump.

Trump tidak pernah menjelaskan bagaimana dia akan mengakhiri perang.

Ketika Joe Biden menjabat, Rusia menginvasi Ukraina dan kelompok militan Hamas dan Hizbullah menyerang Israel, yang menyebabkan serangan pembalasan berdarah selama setahun penuh oleh pasukan Israel. Tidak ada perang besar yang dimulai di bawah pemerintahan Trump, dan dia tidak melibatkan AS dalam konflik bersenjata baru. Para pendukung Trump menyebutnya sebagai perdamaian melalui kekuatan.

BACA JUGA: Mantan Kepala Staf Gedung Putih: Trump Sebut Hitler ‘Lakukan Hal Baik’ 

Para anggota Partai Demoktrat mengatakan hal itu adalah kebetulan dan pada akhir masa jabatan Trump, pasukan AS masih berperang di Afghanistan, Suriah, Irak, dan Yaman.

Trump juga memiliki ketidakpastian. Para sejarawan kepresidenan menyebutnya sebagai “teori orang gila.”

Thomas Schwartz, sejarawan kepresidenan di Universitas Vanderbilt, melalui Skype mengatakan, “Gagasan bahwa dengan berpura-pura, atau setidaknya terlihat, bersedia menjadi orang gila dalam kebijakan luar negeri dan membalas dengan kejam merupakan jalan untuk mendapatkan kekuatan, adalah penting. Dan ketidakpastian dalam hal ini, bisa menjadi sesuatu yang baik.”

Para pengecam mengatakan bahwa ketidakpastian Trump, digabungkan dengan kepentingan pribadinya, berbahaya di dunia yang bersenjatakan nuklir.

Ketidakpastian juga dapat mempersulit pengelolaan konflik.

Laura Blumenfeld, peneliti senior di Johns Hopkins School for Advanced International Studies, melalui Skype mengatakan, “Banyak sekali de-eskalasi dan diplomasi yang bergantung pada koreografi, dan koreografi harus dapat diprediksi. Jadi, jika kita tahu apa yang akan dilakukan musuh untuk langkah berikutnya, kita bisa menyudutkan tanpa tindakan berlebihan."

Your browser doesn’t support HTML5

Bisakah Trump atau Harris Akhiri Perang?

Di sisi diplomatik, Harris dipandang lebih tradisional. Seperti Presiden Joe Biden, dia percaya pada multilateralisme dan membangun aliansi untuk mempertahankan kepemimpinan global AS.

“Sebagai wakil presiden, saya telah menghadapi ancaman terhadap keamanan kita, bernegosiasi dengan para pemimpin asing, memperkuat aliansi kita, dan terlibat dengan pasukan pemberani kita di luar negeri. Sebagai panglima tertinggi, saya akan memastikan Amerika selalu memiliki pasukan tempur terkuat dan paling mematikan di dunia,” ujar Kamala Harris.

Namun Harris, seperti halnya Trump, mungkin akan lebih selektif dalam menentukan konflik mana yang membutuhkan respons militer Amerika. AS bukan lagi satu-satunya negara adidaya di dunia.

Ellen Laipson adalah direktur Pusat Studi Kebijakan Keamanan di Universitas George Mason. “Baik Trump maupun Harris tidak mengabaikan fakta bahwa kekuasaan sedang terbagi-bagi dalam sistem internasional, bahwa negara-negara lain juga memiliki suara, bahwa Rusia dan Tiongkok memiliki pandangan mereka sendiri tentang bagaimana tatanan internasional seharusnya bekerja.”

Perbedaannya, kata Laipson, adalah Harris percaya pada kekuatan pertemuan AS dan akan lebih cenderung mengumpulkan negara-negara untuk menyelesaikan masalah bersama.

Dia kemungkinan akan melanjutkan dorongan Biden untuk persatuan trans-Atlantik untuk mendukung Ukraina. Di Gaza, dia menekankan penegakan hukum kemanusiaan.

Kembali, Laura Blumenfeld mengatakan, “Donald Trump mengatakan kepada Perdana Menteri Netanyahu, “lakukan apa yang harus Anda lakukan di Timur Tengah.”

Kamala Harris mengatakan, “Anda berhak untuk membela diri dan Anda harus mempertimbangkan krisis kemanusiaan di antara orang-orang Palestina.” Apakah salah satu dari keduanya mengarah pada hasil yang berbeda? Apakah ada yang mendengarkan Amerika Serikat pada akhirnya?.”

Sementara rakyat Amerika bersiap untuk pemilu, itu adalah pertanyaan yang sulit untuk dijawab, siapa pun pemenang pemilu pada bulan November. [my/ka]