Dari hotdog hingga kopi. Pebisnis makanan dan minuman di Tepi Barat, Palestina, kini mengandalkan mobil kedai alias food truck untuk secara proaktif mendatangi calon pembeli. Dengan begitu, bisnis tetap beroperasi semasa pandemi, dan pembeli bisa menerapkan jarak fisik.
Issa Haj Yasin memarkir kendaraannya di tepi jalan utama Ramallah, kota di Tepi Barat. Ia menjual hotdog. Penampilan kendaraannya, yang berperan sebagai mobil kedai alias food truck, adalah hal baru di Tepi Barat.
BACA JUGA: Ketahanan Pangan di Gaza yang Rawan Semakin Memburuk akibat PandemiDengan banyaknya restoran dan kedai kopi yang terpaksa tutup akibat pandemi virus corona, kini semakin banyak mobil kedai di Palestina. Pebisnis makanan dan minuman turun ke jalan-jalan menawarkan dagangan mereka.
Sebelum pandemi melanda Tepi Barat, Haj Yasin, mahasiswa teknik, sudah berencana membuat mobil kedai. Penutupan restoran akibat pandemi dan hilangnya lapangan kerja, mendesaknya mewujudkan proyek mobil kedai itu. Selain itu, ia perlu uang untuk membiayai kuliah.
"Sekarang saya memiliki enam karyawan yang bekerja di dua mobil kedai. Saya sedang menyiapkan mobil kedai baru yang akan dikelola empat karyawan baru," kata Yasin.
Montir mobil dan pemilik bengkel Mohammed al-Bawab juga mencari celah supaya bisnisnya tetap beroperasi. Kini ia merombak kendaraan agar bisa dijadikan mobil kedai. Ia mengatakan, sejak pandemi setidaknya sudah 12 kendaraan dirombaknya.
“Banyak investor mulai berpikir untuk menciptakan lapangan kerja baru. Jadi, mereka meminta saya membuatkan mobil kedai untuk dijadikan tempat menjual apa saja seperti sandwich, teh dan kopi," ujar Al-Bawab.
Mohammed Shukani mengoperasikan warung kopi dalam mobil kedai yang diberi nama Graz. Kedai berjalan ini memungkinkannya berniaga secara berpindah-pindah sesuai kondisi politik dan ekonomi. “Alasan kedua, kedai ini memungkinkan saya terhindar dari kerugian. Kalau dagangan tidak laku, tidak ada makanan yang dibuang," ungkapnya.
Juni lalu, Bank Dunia mengatakan dalam laporannya bahwa ekonomi Palestina tumbuh hanya 1% pada tahun 2019. Tahun ini, diproyeksikan ekonomi Palestina menyusut 7,6% menjadi 11%, tergantung pada kecepatan pemulihan pandemi.
Sementara itu, Otoritas Palestina diperkirakan menghadapi kekurangan dana lebih dari $1,5 miliar tahun ini, naik dari $800 juta pada tahun 2019, kata Bank Dunia.
Maret dan April lalu, Otoritas Palestina menerapkan langkah-langkah tegas dan menyeluruh untuk mengatasi wabah virus corona. Upaya itu berhasil membatasi jumlah kasus menjadi kurang dari 400, dan ‘hanya’ dua kematian. Namun, wabah kembali merebak sehingga memaksa Otoritas Palestina untuk menerapkan lockdown 10 hari pada Juli.
BACA JUGA: Ratusan Warga Palestina di Gaza Gelar Protes Menentang Kesepakatan Israel-UEAPenutupan itu merugikan ekonomi lokal yang sudah lemah akibat puluhan tahun pendudukan militer, sengketa keuangan baru-baru ini dengan Israel dan penangguhan hampir semua bantuan kepada Palestina oleh Presiden Amerika Donald Trump.
Juru bicara Kementerian Tenaga Kerja Palestina Rami Mehdawi mengatakan pandemi menyebabkan banyak bisnis tutup dan karyawan kehilangan pekerjaan. "Tingkat pengangguran 25% sebelum virus corona dan kini 27% selama pandemi,” kata Mehdawi.
Tetapi, Mehdawi menepis kekhawatiran akan dampaknya untuk jangka panjang. Pasar tenaga kerja beralih ke perusahaan-perusahaan kecil untuk menciptakan lapangan pekerjaan baru, katanya. Ia menunjuk jalan-jalan di kota-kota Palestina yang menciptakan peluang kerja baru.
Lebih dari seperempat orang Palestina hidup miskin sebelum pandemi. Menurut Bank Dunia, angka itu kemungkinan naik menjadi 30% di Tepi Barat.[ka/lt]