Kepala BNN Provinsi Sulawesi Tengah Brigadir Jenderal Polisi Suyono mengatakan dari serangkaian penangkapan terhadap pengedar dan bandar narkoba sebuah wilayah kelurahan tertentu di Kecamatan Tatanga, Kota Palu ditengarai menjadi pusat peredaran narkoba dengan omzet per bulan yang diperkirakan mencapai setidaknya Rp 36 miliar.
Bisnis haram itu melibatkan setidaknya 400 kurir dan bandar narkoba.
Hal itu diungkapkan Suyono dalam sebuah pertemuan yang melibatkan tokoh masyarakat, tokoh agama, tokoh pemuda serta unsur TNI Polri di Kantor Kecamatan Tatanga, Kota Palu, Jumat (26/7/).
“Tatanga itu adalah merupakan sentral daripada distribusi penjualan transaksi narkoba di Sulawesi Tengah. Kita tangkap di Luwuk berasal dari Tatanga, kita tangkap di Poso berasal dari Tatanga, kita kemarin tangkap di Parigi Moutong juga berasal dari Tatanga,” ungkap Brigjend Pol Suyono di Kantor Camat Tatanga, Kota Palu.
“Terus, dua hari yang lalu kita tangkap dari Donggala dari Tatanga. Kita tangkap di Buol semua sentralnya ada di Tatanga,” katanya.
BACA JUGA: Pengadilan Mataram Vonis Hukuman Mati Penyelundup Narkoba WN PerancisPeredaran narkoba di Sulawesi Tengah itu sangat mengkuatirkan karena peredarannya yang sampai menyentuh anak-anak.
Menurut data Badan Narkotika Nasional (BNN) Provinsi Sulawesi Tengah pengguna narkoba di provinsi tersebut mencapai 36.495 orang atau 1,8 persen dari sekitar dua juta penduduk Sulawesi Tengah. Dari jumlah pengguna tersebut, hanya empat ribu orang atau 10,8 persen yang menjalani rehabilitasi.
BNN Sulawesi Tengah mengatakan sedang merehabilitasi 167 pelajar yang masih duduk di tingkat sekolah menengah pertama (SMP) dan sekolah menengah atas (SMA) akibat kecanduan narkoba.
Faktor Ekonomi
Pertemuan yang digelar di Kantor Kecamatan Tatanga itu merupakan upaya BNN Sulawesi Tengah untuk mendapatkan masukan, saran, dan dukungan dari masyarakat untuk penanganan peredaran narkoba. Keberadaan pusat transaksi barang haram itu telah menyebabkan banyak warga sekitar memilih menjadi kurir atau pengedar karena iming-iming penghasilan besar.
Dengan menjadi kurir narkoba, warga yang terlibat bisa meraup pendapatan Rp 1 juta hingga Rp 2,5 juta per hari. Bandingkan dengan kegiatan ekonomi lainnya, seperti penambangan pasir dan budidaya ikan lele yang hanya menghasilkan Rp 100.000 hingga Rp 150.000 per hari.
Suyono mengatakan kehadiran petugas di lokasi itu kerap mendapatkan perlawan dari warga yang terkesan melindungi bisnis peredaran narkoba.
“Inilah data-data dari hasil intelijen yang tidak bisa dibantah lagi kebenarannya. Dan inilah faktanya. Dan kalau kita masuk ke Tatanga, kita begitu masuk, ibu-ibu pun langsung palu (membunyikan,red) tiang listrik. Hadir semua lima ratus, tujuh ratus orang. Kita dikeroyok di situ. Apakah ini mau dibiarkan?” tanya Brigjen Suyono.
Ia mengindikasikan bisnis narkoba di wilayah itu sudah sedemikian kuat karena melibatkan 21 bandar narkoba dengan sekitar 400 kurir. Jaringan kuat pelaku bisnis narkoba itu juga melakukan aksi-aksi sosial yang membuat mereka mendapatkan simpati dan perlindungan dari sekelompok warga sekitar.
Suyono memaparkan di antara enam kelurahan di Tatanga, kelurahan Tavanjuk, yang berpenduduk 3.523 jiwa, adalah wilayah paling rawan. Dari jumlah penduduk tersebut, sekitar 400 orang menjadi kurir dan yang kemudian menjadi bandar narkoba berjumlah 21 orang, kata Suyono menambahkan.
Pos-pos Gabungan
Satrio Lolono, tokoh pemuda setempat, berpendapat perlu adanya pos-pos gabungan melibatkan masyarakat serta TNI POLRI untuk mengawasi peredaran narkoba di wilayah itu. Ia mengakui sudah dalam dua tahun terakhir berupaya untuk melakukan pendekatan secara kekeluargaan namun hasilnya tidak cukup memuaskan.
Salah satu kendala adalah masalah ekonomi.
“Cuma masalah hidup yang susah. Kalau kita secara keras berarti kita berbenturan dengan keluarga, itu yang susah,” kata Satrio.
“Siapa tahu mereka balik bertanya kalau kita suruh berhenti jangan lantas mereka balik bertanya ‘kira-kira kalau saya berhenti apakah ketua bisa jamin pekerjaan dengan saya?’, makanya saya menyerah, tidak bisa menjawab itu. Kalau saran saya lebih tepatnya bikin pos-pos berangkali,” saran Satrio, tokoh pemuda Kecamatan Tatanga.
Yardin Yoto, sekretaris Lembaga Pemberdayaan Masyarakat Kelurahan Nunu, mendesak dilakukannya langkah tegas untuk menghadapi peredaran narkoba di Kota Palu itu.
“berarti ini bukan masalah Sulawesi Tengah saja, masalah nasional. Kalau angka ini, perlu kita hancurkan ini, tidak boleh kita lemah, dengan tegas kelurahan Nunu meminta supaya keras menghadapi –peredaran narkoba- Tatanga ini. Luar biasa ini, Pak, ” kata Yardin Yoto dengan suara keras.
Ketua Majelis Ulama Indonesia Kota Palu H. Zainal Abidin dalam pertemuan itu meminta warga masyarakat melawan peredaran narkoba itu demi menyelamatkan generasi bangsa. Melalui kerja sama berbagai pihak, menurutnya penanganan peredaran narkoba itu dilakukan secara persuasif, edukatif, dan tindakan tegas.
“Saya kira begini contohnya, kalau dia pengedar dan sudah ditahu pengedar segera tangkap. Nanti masyarakat diajak dengan persuasi dan edukatif. Siapa yang membantu mengedar, ikut bersama-sama pengedar jangan berteman dengan mereka” jelas H. Zainal Abidin.
BACA JUGA: Narapidana di Medan Atur Penyelundupan Narkoba dari MalaysiaBerdasarkan data BNN Sulawesi Tengah, sepanjang 2018 terdapat 481 kasus narkoba yang berhasil diungkap dengan jumlah tersangka sebanyak 684 orang. Sedangkan pada periode Januari hingga Juli 2019, terdapat 277 kasus narkoba dengan 385 tersangka. Dari jumlah 12 lembaga pemasyarakat di Sulawesi Tengah, 50 persen penghuninya dilatarbelakangi kasus-kasus narkoba.
BNN menyebutkan jalur masuk narkoba ke Sulawesi Tengah itu berasal dari Gorontalo, Tarakan, Samarinda, Medan, Jakarta, Surabaya, Majene, Sidrap dan Soroako.
Mengutip hasil penelitian Universitas Indonesia dan BNN RI, Brigjen Suyono mengatakan prevalensi pengguna narkoba di Indonesia, yaitu 1,77 persen yang berarti terdapat sekitar 3,5 juta pengguna dengan tingkat kematian 30-40 orang setiap harinya akibat narkoba. [yl/ft]