Dalam beragam video propagandanya, milisi Negara Islam (ISIS) kerap menggunakan anak-anak. Bahkan kelompok bersenjata yang dipimpin Abu Bakar al-Baghdadi ini tidak jarang menyuruh anak-anak menjadi eksekutor untuk membunuh tawanan. Anak-anak juga dilatih cara menggunakan senjata dan berperang.
Pelibatan anak-anak ini, termasuk di Indonesia juga cukup mengkhawatirkan.
Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Komisaris Jenderal Suhardi Alius mengakui anak-anak memang rawan terpengaruh oleh ideologi teroris dan radikal. Selain karena mengikuti kehendak orangtuanya, mereka juga bisa dicekoki paham-paham teroris lewat pendidikan formal atau non-formal.
Dalam sambutannya usai acara penandatanganan nota kesepahaman dengan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) di Jakarta, (13/2), Suhardi mencontohkan anak-anak yang ikut orangtua mereka pindah ke Suriah, terpaksa meninggalkan komunitas mereka.
"Sekarang banyak sekali anak menjadi korban terorisme, baik secara fisik maupun non-fisik, artinya mereka mendapat paksaan untuk mengikuti kemauan orangtuanya. Di samping itu juga ada paham-paham semacam ini secara tidak langsung diberikan secara edukasi," ujarnya.
Suhardi mencontohkan ada sebuah PAUD (Pendidikan Anak Usia Dini) di Depok yang mengajarkan paham radikal.
Sekarang ini, sebanyak 75 orang, termasuk anak-anak yang dideportasi dari Turki tinggal sementara di sebuah panti milik Kementerian Sosial di Bambu Apus, Jakarta Timur. Suhardi mengatakan ada seorang anak yang sudah didoktrin oleh orangtuanya soal ideologi radikal mulai dari kelas 5 Sekolah Dasar hingga Sekolah Menengah Atas.
Your browser doesn’t support HTML5
Ketua KPAI Asrorun Niam Soleh mengatakan usia anak-anak yang terpengaruh radikalisme dan terorisme semakin muda. Karena itu, dia menilai kerja sama dengan BNPT sungguh penting untuk mencegah sekaligus mengurangi jumlah anak terpengaruh ideologi tersebut.
Asrorun menjelaskan ada peningkatan dalam kasus terkait agama dan budaya. Anak-anak yang terpapar terorisme, katanya, meningkat 42 persen, dari 180 kasus pada 2015 menjadi 256 kasus pada tahun 2016
"Artinya, kita butuh upaya secara khusus untuk kepentingan pencegahan terorisme dengan melakukan reedukasi dan pencegahan sedari dini pada level anak-anak. Di sinilah pentingnya MoU ini dan KPAI secara khusus mendorong ada penguatan kelembagaan terkait dengan pencegahan dan penanggulangan terorisme khususnya dengan pendekatan spesifik jika itu melibatkan anak," ujarnya.
Suhardi menambahkan orang-orang Indonesia yang terlibat ISIS atau kelompok teror lainnya setelah dideportasi akan ditampung di sebuah panti milik Kementerian Sosial. Setelah menjalani program deradikalisasi selama sebulan, mereka akan dikembalikan ke daerah masing-masing.
Dia mengimbau masyarakat untuk tidak mengasingkan orang-orang tersebut jika telah kembali ke lingkungan asalnya. Ia memperingatkan, mereka akan kembali menjadi radikal bila dipinggirkan oleh masyarakat. Dia mengakui perlu kerja sama banyak pihak terkait untuk mencegah sekaligus menangani penyebaran paham radikal dan teroris di Indonesia.