Dalam rapat kerja dengan Komisi Hukum Dewan Perwakilan Rakyat di kompleks parlemen, Jakarta, hari Senin (22/3), Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Komisaris Jenderal Boy Rafli Amar mengatakan laporan tahunan tentang Indeks Terorisme Global tahun lalu menempatkan Indonesia berada di peringkat ke-37, atau berarti “medium terdampak terorisme.”
Di Asia Tenggara, lanjutnya, Indonesia masih lebih aman dari ancaman terorisme ketimbang Filipina, Thailand, dan Myanmar.
"Hal ini sejalan dengan hasil survei yang dilaksanakan oleh BNPT bersama Alvara Research dan Nazaruddin Umar Foundation yang menyatakan tren potensi radikalisme di Indonesia menurun, dari 2017 sebesar 55,2 persen atau masuk dalam kategori sedang. Tahun 2019 sebesar 38,4 persen, kategori rendah, dan menjadi 14 persen pada 2020, yaitu kategori sangat rendah," kata Boy Rafli.
Hal ini menunjukkan selama masa pandemi COVID-19, tren potensi radikalisme cederung turun. Meski begitu, dia mengingatkan perlunya meningkatkan kewaspadaan karena meluasnya paham radikal di dunia maya.
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada 1 Juli 2020 mengeluarkan resolusi nomor 532 yang meminta segera dilakukan gencatan senjata di daerah konflik di berbagai negara. Namun seruan gencatan senjata itu tidak berlaku bagi operasi militer terhadap teroris internasional, seperti ISIS (Negara Islam Irak dan Suriah) serta al-Qaida.
Boy Rafli mengatakan seruan PBB itu menunjukkan pemberantasan terorisme di tingkat internasional tetap dijalankan di masa pandemi COVID-19.
BNPT Tetap Pantau Ancaman Terorisme di Dunia Maya
Ia juga menyebut pedoman mengatasi ancaman terorisme dan ekstremisme berbasis kekerasan pada masa pandemi COVID-19 yang dikeluarkan Direktorat Kontra-Terorisme PBB. Ada dua hal yang menjadi fokus penanggulangan, yaitu penyalahgunaan internet oleh kelompok teroris dan upaya negara untuk menangani kekecewaan di masyarakat yang dapat menjadi pemicu terorisme dengan fokus utama pencegahan dan pendekatan secara lunak.
Boy Rafli menambahkan saat ini telah terjadi pergeseran pola penyebaran paham terorisme dari menggunakan media offline ke media online, maka peran BNPT semakin penting dan rumit dalam pencegahan dan penanggulangan terorisme. Terlebih mengingat jumlah pengguna Internet di Indonesia setahun terakhir ini naik 15,5 persen menjadi 202,6 juta orang tahun ini.
BACA JUGA: Pemerintah Diminta Libatkan Milenial dalam Melawan Terorisme di InternetDengan total penduduk Indonesia sebanyak 274,9 juta jiwa, kata Boy Rafli, penetrasi Internet di Indonesia saat ini sebesar 73,7 persen sehingga pemanfaatannya perlu dipastikan tidak mengarah pada tindakan terorisme.
Boy Rafli menjelaskan penanggulangan terorisme di Indonesia meliputi aspek pencegahan, penegakan hukum, dan kerjasama internasional. Strategi pencegahan dilakukan lewat program kesiapsiagaan nasional, kontraradikalisasi dan deradikalisasi. Strategi penegakan hukum dipusatkan pada efektifitas penguatan koordinasi antar perangkat penegak hukum dalam konteks penegakan hukum pidana terhadap para pelaku terorisme.
Tiga Provinsi Jadi Proyek Percontohan
Sedangkan strategi kerjasama internasional difokuskan pada penguatan kerjasama di tingkat bilateral, regional, multilateral, dan penanggulangan terorisme, serta penguatan perangkat hukum internasional serta perlindungan terhadap warga negara Indonesia dan kepentingan nasional dari ancaman terorisme di luar negeri.
Untuk menanggulangi terorisme di Indonesia, lanjut Boy Rafli, BNPT menerapkan strategi sosialisasi dan edukasi yang melibatkan semua unsur pemerintah dan masyarakat untuk mencegah penyebaran ekstremisme berbasis kekerasan yang mengarah pada terorisme.
BACA JUGA: Pemerintah Diingatkan Soal Definisi EkstremismeBNPT juga mendorong kementerian dan lembaga untuk hadir di wilayah-wilayah rentan terpapar paham ekstremisme yang mengarah pada intoleransi dalam konteks pembangunan kesejahteraan. Tiga Provinsi yang akan menjadi lokasi percontohan strategi sosialisasi dan edukasi itu adalah Sulawesi Tengah, Nusa Tenggara Barat, dan Jawa Timur.
Anggota DPR Sarankan Pemulihan Komunikasi Antar-Lembaga
Dalam rapat kerja tersebut, Anggota Komisi III Supriansa berharap kerjasama BNPT dengan beragam kementerian dan lembaga terkait bisa berjalan baik dalam menanggulangi terorisme. Ia menekankan perlunya perbaikan komunikasi antar lembaga pemerintah, juga komunikasi dengan tokoh masyarakat dan pemuka agama.
"Saya kira dengan memperbaiki komunikasi itu, kita bisa meminimalkan adanya anak-anak kita yang bisa direkrut masuk dalam kelompok-kelompok teroris yang ada di luar dan akhirnya datang ke Indonesia untuk meluluhlantakkan kita," ujar Suprinasa.
Anggota Komisi III lainnya Muhammad Syafii menyoroti lahirnya Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 7 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Ekstremisme Berbasis Kekerasan yang Mengarah pada Terorisme. Dia menilai isi Perpres tersebut merupakan pengulangan dari Undang-undang Nomor 5 Tahun 2018 tentang Pemberantasan Terorisme.
Syafii mengaku kecewa dan bahkan merasa khawatir dengan definisi ekstremisme dalam Perpres Nomor 7 itu dan menilai perlu ada rincian agar tidak multi tafsir.
"(Definisi ekstremisme ini) menimbulkan ketakutan-ketakutan baru digunakannya Perpres ini menjadi sesuatu yang bukan hanya menangkap, bahkan melakukan tindakan-tindakan pembunuhan di luar kaidah hukum yang sangat kita khawatirkan ketika menyusun undang-undang tentang teroris ini," ujar Syafii.
Syafii juga meminta BNPT untuk merumuskan bagaimana memulihkan kondisi fisik dan psikis korban yang selamat dari serangan terorisme, termasuk soal pemberian kompensasi.
Syaffi mendukung pelibatan Tentara Nasional Indonesia (TNI) dalam pemberantasan terorisme karena merupakan tugas konstitusional, yakni diatur dalam Undang-undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI serta sesuai amanat Undang-undang Nomor 5 Tahun 2018 tentang Pemberantasan Terorisme. [fw/em]