Awal Januari lalu, Presiden menandatangani Perpres 7/2021 tentang penanggulangan ekstremisme. Keputusan ini menjadi kontroversi, karena hingga saat ini belum ada kesepahaman hukum, mengenai ekstremisme itu sendiri.
Pakar hukum dari Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), Dr Sidik Sunaryo, menceritakan kisah ludruk yang sering dia tonton di masa kecil di Surabaya. Dalam pentas bertema penjajahan Belanda, masyarakat Indonesia yang melawan biasa disebut sebagai ekstremis. Ada pula fakta sejarah, di jaman kerajaan, rakyat yang berjemur di alun-alun keraton, kadang disebut pula sebagai ekstremis oleh raja
“Ada masyarakat, rakyat jelata, protes kepada raja, kemudian dia datang ke alun-alun, bajunya dilepas, hanya pakai celana kolor, enggak memakai alas kaki. Kemudian dia menjemur dirinya di alun-alun, yang di situ dekat dengan istana kerajaan, itu oleh raja dianggap ektremis juga,” kata Sidik.
Kisah-kisah itu, disebut Sidik untuk menggambarkan pemaknaan ekstremis dan ekstremisme yang begitu luas sampai saat ini. Dulu, rakyat yang memiliki perbedaan cara pandang dengan raja atau penjajah, langsung sebagai ekstremis. Dalam konteks inilah, Perpres 7/2021 bisa menjadi justifikasi adanya tafsir tunggal dari pemerintah.
Lebih rumit lagi, karena ekstremisme menyangkut keyakinan.
“Dalam konteks hukum, keyakinan itu tidak rasional, sementara hukum biasanya dibuat untuk hal-hal yang rasional. Bagaimana hal-hal yang tidak rasional, harus dibuktikan dengan cara yang rasional,” tambah Sidik.
Paparan itu disampaikan Sidik dalam seminar daring, Menggugat Eksistensi Ekstremisme di Indonesia dan Regulasinya, Senin (15/2). Acara ini diselenggarakan Fakultas Hukum, Universitas Muhammadiyah Malang. Terbitnya Perpres 7/2021 tentang Rencana Aksi Nasional Pencegahan dan Penanggulangan ekstremisme (RAN PE) Berbasis Kekerasan yang Mengarah pada Terorisme Tahun 2020-2024, menjadi pemicu diskusi.
Perlu Kesepakatan Nomenklatur
Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, Prof Suteki, mengingatkan juga soal penggunaan istilah ekstremisme itu. Nomenklatur ekstremisme itu, menurutnya, belum dibicarakan di tingkat legislatif, sebagai syarat agar pemaknaannya dipahami bersama secara nasional.
“Karena kalau DPR tidak diajak bicara untuk merumuskan secara yuridis apa sih sebenarnya yang disebut dengan radikalisme, apa yang disebut ekstremisme, itu tidak jelas, maka dari sisi yuridis kita bisa pertanyakan,” kata Suteki.
RAN PE sendiri mendefinisikan ekstremisme sebagai keyakinan dan atau tindakan, yang menggunakan cara-cara kekerasan, atau ancaman kekerasan ekstrim, dengan tujuan mendukung atau melakukan terorisme. Menurut Suteki, dalam pengertian hukum, yang disebut keyakinan bisa berupa lisan, tulisan, tindakan sampai sikap. Pemerintah harus membuat definisi operasional yang jelas, agar definisi ini tidak lentur dan kemudian ditafsirkan sesuai kepentingan pengusaha.
Suteki mengidentifikasi enam dampak RAN PE ke depan, yaitu marak persekusi terhadap tokoh, aktivis, ajaran bahkan simbol agama. Kedua, terjadi tumpang tindih dengan peraturan lain. Ketiga, akan muncul sikap dan tindakan reaktif dari lembaga negara, terutama BUMN, Kementerian Agama, hingga Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi. Keempat, bersifat kontraproduktif, sebab penekanan akan memunculkan sikap ekstrim. Kelima, konflik horisontal tidak akan bisa dihindari, dan keenam akan terjadi pelanggaran HAM, terutama kebebasan berbicara.
Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Padjajaran, Bandung, Prof Susi Dwi Harijanti juga mengkritisi istilah ekstremisme dalam RAN PE ini.
“Sangat mengkhawatirkan, kalau digunakan frasa yang tidak dikenal di peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, khususnya undang-undang. Jadi ini akan makin memperluas bukan hanya perbuatan tetapi bagaimana keyakinan itu dapat digunakan (dalam pemidanaan),” kata Susi.
Susi justru meminta negara fokus pada penyebab ekstremisme, yang sudah disebutkan oleh pemerintah sendiri. Menurut pemerintah, faktor pendorong ekstremisme antara lain kesenjangan ekonomi, marjinalisasi dan diskriminasi, tata kelola pemerintahan yang buruk, pelanggaran HAM dan lemahnya penegakan hukum, serta konflk berkepanjangan. Mengapa, kata Susi, pemerintah lebih fokus pada persoalan itu dahulu, sebelum mengurus ranah hukum.
Dalam penyusunannya, kata Susi, sebuah rencana aksi nasional haris inklusif agar bisa efektif. Pembuatan Perpres itu harus melibatkan pandangan-pandangan dari berbagai kelompok. Organisasi masyarakat sipil, baik yang pro maupun kontra harus didengar pendapatnya.
Pemerintah Serap Masukan
Dalam diskusi yang berbeda pada Minggu (14/2), Direktur Penindakan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) periode 2007-2020, Irjen Pol (purn) Hamli memastikan masyarakat sipil terlibat dalam penyusunan RAN PE ini. Diskusi daring Intoleransi dan Ekstremisme di Media Sosial itu dilaksanakan oleh The Center For Indonesian Crisis Strategic Resolution (CICSR). Hamli sendiri masih aktif di BNPT ketika Perpres tersebut disusun.
“Saat pembuatan ini, memang teman-teman dari BNPT melibatkan teman-teman dari civil society untuk memberikan masukan, pada saat pembuatannya, sebelum itu dikirim kepada pemerintah, dalam hal ini presiden,” kata Hamli.
Setelah Perpres lahir, kata Hamli, peran masyarakat sipil belum selesai. Prinsipnya, penanggulangan terorisme tidak bisa dilakukan oleh pemerintah sendirian. Pada bagian pencegahan, masyarakat akan sangat berperan, sedang terkait penegakan hukum pemerintah yang melaksanakan.
Pengamat isu terorisme, Noor Huda Ismail dalam diskusi yang sama juga menyambut baik lahirnya RAN PE. Bukti legal formal ini mendasari penanganan isu ini secara bersama.
“Cuma satu hal yang sangat sederhana, yang gampang diomongin tetapi sangat sulit dilakukan, yaitu koordinasi. Saya temukan di lapanagn, yang sekarang proses rehabilitasi ini antar lembaga kecil-kecil negara, rebutan kapling. Ini sebetulnya, satu hal yang menjadi keprihatinan kita bersama. Di satu titik ini saja,” ujar Noor Huda. [ns/ab]