Kepala BPS Margo Yuwono mengatakan jumlah penduduk miskin pada September 2022 naik tipis sebesar 0,03 persen dibandingkan Maret 2022. Dengan demikian orang miskin di Tanah Air naik 0,2 juta menjadi 26,36 juta orang pada September 2022. Menurutnya, peningkatan tersebut terjadi di wilayah perkotaan dan pedesaan. Meskipun tingkat kemiskinan di perdesaan jauh lebih tinggi dibandingkan dengan kemiskinan di perkotaan.
"Pada September 2022, tingkat kemiskinan di perdesaan sebesar 12,36 persen lebih tinggi dari tingkat kemiskinan perkotaan yang mencapai 7,53 persen. Masih struktural di mana kemiskinan ada di desa," jelas Margo Yuwono di Jakarta, Senin (16/1).
BPS mencatat garis kemiskinan BPS September 2022 sebesar Rp535.547. Garis Kemiskinan merupakan representasi dari jumlah rupiah minimum yang dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan pokok minimum makanan yang setara dengan 2.100 kilokalori per kapita per hari dan kebutuhan pokok bukan makanan.
Adapun jika dilihat sebaran pulau, jumlah penduduk miskin paling besar berada di Jawa dan Sumtera. Peningkatan juga terjadi hampir merata di semua pulau, kecuali Sumtera yang mengalami penurunan tipis.
Margo mengatakan ada sejumlah kondisi sosial ekonomi yang mempengaruhi kemiskinan di Indonesia, antara lain yaitu ekonomi yang tumbuh melambat di triwulan tiga 2022, PHK buruh di sektor padat karya, dan kenaikan biaya produksi pertanian.
"Sepanjang September 2022 terjadi pemutusan hubungan kerja di sektor padat karya seperti industri tekstil, alas kaki serta perusahaan teknologi," tambahnya.
Faktor lainnya, yaitu harga komoditas yang dikonsumsi penduduk miskin meningkat. Antara lain beras, tepung terigu, telur ayam ras. Sedangkan untuk pangan, yaitu pertalite, pertamax, LPG 3 kilogram, dan kontrak rumah.
Pengamat Kritik Garis Kemiskinan BPS
Direktur Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira mengkritik angka garis kemiskinan sebesar Rp535.000 yang digunakan BPS. Menurutnya, angka garis kemiskinan tersebut merupakan kategori penduduk yang betul-betul miskin. Sedangkan untuk kategori rentan miskin yang jumlahnya mencapai 112 juta orang tidak akan tercatat dalam survei BPS.
"Kalau melihat dari tren kemiskinan ada anomali, karena maret 2022 seharusnya sudah masuk dalam tahap pemulihan, karena kalau dilihat kuartal 1 dan kuartal 2 ekonomi tumbuh positif," tutur Bhima kepada VOA, Senin (16/1).
Bhima menjelaskan anomali tersebut menjelaskan bahwa yang menjadi kontributor kemiskinan, yaitu inflasi yang disumbang dari sektor pangan dan energi. Karena itu, ia menyarankan pemerintah untuk menormalisasi harga komoditas pangan agar seperti sebelum pandemi. Pemerintah juga diimbau mengembalikan harga BBM ke level semula karena harga minyak dunia sudah turun.
Your browser doesn’t support HTML5
Selain itu, Bhima juga melihat kesempatan kerja setelah pandemi masih melandai. Bahkan pekerja yang mengalami 'dirumahkan' masih belum ada kepastian untuk dipekerjakan kembali.
Ia memprediksi dengan kondisi seperti ini maka angka kemiskinan pada 2023 akan mengalami kenaikan kembali, meskipun tidak akan tinggi seperti pada masa pandemi. [sm/em]