Brexit Macet, Posisi PM May Makin Terpojok

PM Inggris Theresa May ketika memberikan keterangan soal Brexit di depan anggota parlemen di London, Jumat (29/3).

Sejak depresi tahun 1930-an, keika pemimpin Partai Buruh harus pisah dari partainya dan memimpin pemerintah persatuan nasional, seorang perdana menteri demikian terkurung seperti Theresa May, kata beberapa analis.

Anggota Parlemen Inggris, yang penat dan resah oleh kekisruhan politis pekan lalu – ketika menurut jadwal semula Inggris sudah harus keluar dari Uni Eropa tetapi ternyata tidak – khawatir pekan depan ini bakal lebih traumatis lagi bagi tertib konstitusional yang retak akibat stress yang ditimbulkan kemacetan dalam soal Brexit yang juga memberantakkan kedua partai utama Konservatif dan Buruh.

Wakil ketua Partai Buruh Tom Watson membuat para aktivis partai meradang karena hari Sabtu (30/3) membayangkan mungkin perlu dibentuk pemerintah nasional untuk mencari jalan keluar dari kemacetan politis sekarang ini.

"Jika diperlukan dan mesti, maka kita harus melakukan apa yang tepat," katanya.

Mantan menteri dari Partai Konservatif Nicky Morgan juga membayangkan bahwa satu-satunya pilihan adalah pemerintah persatuan nasional jika PM Theresa May menolak dilakukan pemungutan suara hari Senin atas alternative lain Brexit, dalam tahap kedua dari yang disebut ‘indicative voting’.

Pekan lalu untuk pertama kali sejak tahun 1906 para anggota Parlemen mengambil alih agenda Parlemen dari tangan pemerintah dengan dibantu Ketua Parlemen, untuk memperdebatkan 16 opsi Brexit. Akhirnya mereka menyetujui delapan meskipun tidak satu pun akhirnya mendapat suara mayoritas.

Namun ada dua yang hampir mendapat suara mayoritas : satu Inggris melakukan referendum ke-2 dan satu lagi Inggris melakukan yang disebut ‘soft Brexit’ artinya Inggris tetap berada di bawah peraturan bea-cukai Uni Eropa. Pilihan ke-3 memelihara hubungan yang bahkan lebih dekat dengan Uni Eropa mendapat dukungan cukup lumayan dan kabarnya di belakang layar mendapat janji dukungan yang lebih besar.

PM May berhak tidak melaksanakan apa yang diputuskan Majelis Rendah namun bisa dipaksa Majelis melakukannya sehingga membatalkan kebiasaan konstitusional. Ia masih berharap rancangan perjanjian Brexit yang digarapnya, sangat menimbulkan pertentangan dan sudah tiga kali dikalahkan di Parlemen, bakal mendapat dukungan. Rancangan ini tidak disukai oleh kelompok besar anggota Partai Konservatif yang pro Brexit dan Partai Irlandia Utara pada siapa pemerintah minoritasnya bergantung.

Lebih dari separoh anggota Parlemen fraksi Konservatif menandatangani surat hari Sabtu menandaskan PM May boleh maju terus tanpa perjanjian untuk keluar dari Uni Eropa, langkah yang dapat menyapu habis 10% dari perdagangan Inggris, mengganggu rantai pasokan yang penting dan menjerumuskan Inggris ke dalam resesi.

Juga akan membuat nasib 3,5 juta warga Eropa yang tinggal di Inggris dan sampai 1,5 juta warga Inggris yang tinggal di Eropa daratan menjadi terkatung-katung. (al)