Seorang warga Korea Selatan yang menjadi korban perbudakan seks oleh Jepang pada masa perang, menyerukan kepada pemerintah Korea Selatan untuk membawa masalah tersebut ke Mahkamah Internasional, Selasa (16/2).
Lee Yong-soo, yang dipaksa bekerja sebagai budak seks bagi tentara Jepang pada Perang Dunia II, membuat pernyataan dalam sebuah konferensi pers di mana ia mengutuk klaim Jepang mengenai apa yang disebut sebagai “wanita penghibur”.
“Ketika saya meninggal dan bertemu dengan para korban lainnya di surga, apa yang dapat saya katakan kepada mereka? Saya tidak akan mempunyai alasan ketika mereka memarahi saya karena tidak menyelesaikan masalah sebelum meninggal. Keinginan terakhir saya sebelum meninggal adalah untuk melihat pemerintah kami membawa masalah ini ke Mahkamah Internasional dan mendapatkan keputusannya,” kata Lee.
Ia termasuk di antara puluhan ribu korban di berbagai wilayah pendudukan Jepang di Asia dan Pasifik, yang dikirim ke rumah-rumah bordil militer Jepang di garis depan.
“Saya tidak menginginkan uang dari Jepang. Saya ingin mereka benar-benar mengakui kejahatan perangnya dan mengeluarkan permintaan maaf yang tulus,” tambah Lee.
Sekitar 240 perempuan Korea Selatan yang mengaku sebagai korban perbudakan seks telah mendaftarkan diri ke pemerintah. Hanya 15 orang dari mereka, semuanya berusia 80-an dan 90-an, yang masih hidup.
Lee juga mengkritik Profesor John Mark Ramsey dari Universitas Harvard yang menyebut para korban sebagai “pelacur” dalam artikel jurnal terbarunya. [lj/uh]