Kehidupan masyarakat di Kibuyuni, kampung nelayan di wilayah selatan Kenya, dulunya sangat bergantung pada ketersediaan ikan di laut. Para nelayan yang umumnya laki-laki, menjadikan kegiatan menangkap ikan sebagai mata pencaharian utama.
Namun belakangan, kegiatan itu tidak bisa diandalkan. Eksploitasi ikan yang berlebihan telah menguras sumber daya ikan di perairan mereka. Walhasil, pendapatan banyak kepala keluarga di sana menurun secara signifikan. Banyak keluarga mengalami kesulitan hidup, dan tak sedikit yang menderita kelaparan.
Untunglah para perempuan di sana, yang umumnya istri para nelayan, tidak kehilangan akal. Mereka menggalakkan kegiatan budidaya rumput laut di pantai yang selama ini cenderung diabaikan.
Singkat kata, kampung berpenduduk sekitar 2.500 orang itu kini terkenal sebagai kampung rumput laut dan disebut-sebut sebagai pelopor pertanian rumput laut di Kenya.
Raya Juma, ibu enam anak adalah salah satu petani rumput laut di desa itu. "Ini adalah satu-satunya sumber penghasilan saya. Ini memungkinkan saya untuk bertahan hidup. Saya bisa memenuhi kebutuhan pangan dan sandang keluarga. Anak-anak saya tidak punya ayah, saya adalah ibu dan ayah mereka, saya adalah jangkar bagi keluarga saya."
Mwanasitishei Mwagombe, seorang petani rumput laut lainnya, mengaku sudah lama menggeluti bisnis ini karena penghasilan suaminya yang tidak memadai. “Ketika suami saya pergi ke laut lepas setiap pagi, ia terkadang memberi saya hanya sedikit uang. Itu tidak cukup, sehingga saya harus mencari pemasukan tambahan dengan budidaya rumput laut. Kegiatan ini memberi saya cukup uang untuk membeli makanan dari pasar bagi anak-anak saya," jelasnya.
Your browser doesn’t support HTML5
Bagi Fatuma Mohammed, budidaya rumput laut adalah opsi terbaik bagi perempuan di kampungnya, mengingat mereka umumnya tidak diizinkan ikut menangkap ikan, dan pertanian lahan kering tidak mungkin dikembangkan.
"Kami tidak dapat mengembangkan pertanian lahan kering karena hewan-hewan liar seperti monyet, babi hutan, dan babun sering menyerang pertanian kami. Mereka dapat merusak tanaman di lahan seluas satu hektare dalam sehari," lanjutnya.
Kelompok petani rumput laut di Kibuyuni dibentuk pertama kali pada tahun 2012. Jumlah anggotanya ketika itu bisa dihitung dengan jari tangan. Kini kelompok itu beranggotakan 300 orang, di mana 200 di antaranya adalah perempuan.
Proyek ini sebagian besar didukung oleh Lembaga Riset Perikanan Laut Kenya (KMFRI), sebuah badan penelitian nasional yang mempromosikan pembangunan Ekonomi Biru yang berkelanjutan.
Sebagian besar bahan mentah yang diproduksi oleh grup tersebut diekspor ke pasar di Afrika Selatan, AS, dan China, untuk berbagai kebutuhan industri, terutama komestik, farmasi dan pupuk.
Menurut KMFRI, budidaya rumput laut membantu mengentaskan kemiskinan di wilayah pesisir, karena mendiversifikasi pendapatan masyarakat nelayan.
Rumput laut dapat dipanen setiap 45 hari dan tidak terlalu rentan terhadap guncangan eksternal, seperti kurangnya curah hujan. [ab/uh]