Rakhmadi Gunawan, pendiri Sanggar Bocah Jetis di Sleman, Yogyakarta, dikenal rajin berkeliling dari kampung ke kampung membawa koleksi buku. Sepeda motor roda tiga yang dipinjamkan seorang donatur, didesainnya secara khusus agar mampu mengangkut 200 judul buku.
Aktivitas berkeliling membawa buku ini sudah dijalani hampir tiga tahun. Ini berawal dari keprihatinan karena semakin minimnya kegiatan membaca di kalangan anak-anak. Apalagi, di Indonesia gawai elektronik seperti telepon pintar, seolah kini menjadi bagian tak terpisah bagi mereka. Gunawan rajin mengantar buku karena yakin, minat baca masyarakat masih tinggi, terutama jika ada yang membawakan bahan bacaan untuk mereka.
“Kita bilang ke pembaca, bahwa bacaan atau informasi yang ada di media sosial itu belum tentu bisa dipertanggungjawabkan. Beda dengan apa yang ada di buku yang sudah dicetak, karena sebelum melalui proses pencetakan, pasti sudah dibaca berulang dan melalui riset,” ujar Rakhmadi.
Ada sekitar 600 judul buku yang dikoleksi perpustakaan keliling ini dan ia membuka kesempatan pada setiap orang untuk menyumbang buku baru. Dana pengelolaan perpustakaan diambil dari uang pribadi Gunawan. Untuk mencukupinya, organisasi pemuda setempat memproduksi makanan yang diberi label donat donasi. Separuh keuntungan penjualan donat dipakai menghidupi perpustakaan.
“Sekarang ini novel berjudul Dilan 1990 yang sangat popular, sampai-sampai saya belum datang saja sudah banyak yang giliran pesan untuk pinjam,” tambah Rakhmadi Gunawan.
Besarnya minat masyarakat terhadap aktivitas perpustakaan keliling seperti yang dikelola Gunawan ini, seolah menjawab masa depan perbukuan di Indonesia. Banyak yang khawatir, buku cetak pelan-pelan akan hilang, sebagaimana nasib surat kabar dan majalah cetak. Namun nampaknya, hingga beberapa tahun ke depan buku masih akan menjadi pilihan di Indonesia.
Imam Risdiyanto, Manajer Redaksi Penerbit Bentang Pustaka yakin akan hal itu karena buku-buku yang diterbitkannya masih disambut baik masyarakat. “Memang masih cukup besar pembaca buku, yaitu orang-orang yang merasa tidak cukup membaca melalui gadget. Mereka butuh memegang sebuah buku, mencium bau kertasnya,” kata Imam.
Hafizh Nurul Faizah, mahasiswa Fakultas Filsafat, Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, adalah salah satu contoh pembaca semacam itu. Dia mengaku, tidak bisa membaca buku di gadget setidaknya karena dua alasan. “Baca buku cetak itu ada feel-nya, ada kesan kuatnya karena kita pegang buku secara nyata. Selain itu, saya juga kurang suka lama-lama memandangi gadget, tidak nyaman,” kata Faizah.
Berada di tengah perpustakaan dengan rak buku-buku yang penuh, kata Faizah, juga menghadirkan sensasi tersendiri. Karena itulah dia yakin, buku tetap akan digemari. Mengoleksi buku juga menghadirkan kepuasan. Sesuatu yang tidak bisa dirasakan ketika mengumpulkan buku elektronik di dalam sebuah gadget.
Data Ikatan Penerbit Indonesia (Ikapi) menunjukkan pangsa pasar buku dalam negeri mencapai sekitar Rp 14,1 triliun pertahun. Sekitar 60 persen pasar buku berasal dari pembelian oleh pemerintah untuk sektor pendidikan. Setiap tahun ada 100.000 judul buku yang dimintakan International Series Book Number (ISBN) di Perpustakaan Nasional, namuan hanya 40 sampai 45 persen yang akhirnya benar-benar terbit.
Meski jumlah penduduk Indonesia besar, peminat buku sangat sedikit. Rata-rata buku hanya dicetak 3.000 eksemplar untuk setiap judulnya. Menurut data, rata-rata orang Indonesia hanya membeli 2 judul buku setiap tahun. Ikapi menyatakan, Indonesia memiliki 1.300 penerbit, namun hanya separuhnya yang aktif. Penerbit disebut aktif, jika minimal mampu memproduksi 10 judul buku setiap tahunnya.
Bentang Pustaka adalah salah satu penerbit utama di Indonesia. Penerbit ini memproduksi buku-buku terlaris, seperti Laskar Pelangi dan Sirkus Pohon tulisan Andrea Hirata, Aroma Karsa karya Dee Lestari, The Naked Traveler dari Trinity dan Muhammad, sebuah buku berseri yang ditulis Tasaro. Imam Risdiyanto mengatakan sebuah buku yang laris bisa terjual hingga 10 ribu eksemplar dalam satu bulan.
Selain versi cetak, Bentang Pustaka juga menjaring pembeli buku melalui versi online dengan kerja sama pihak ketiga. Sayangnya, etika dan penghargaan terhadap hak kekayaan intelektual belum membudaya di Indonesia. “Dalam beberapa minggu terakhir ada perkembangan, setiap buku best seller kami pasti dibuat versi Pdf-nya dan dijual sangat murah di internet. Dengan Rp 15.000 mereka menawarkan beberapa judul buku sekaligus. Penerbit tidak mungkin mengeluarkan versi ini karena begitu mudah dibagikan,” tambah Imam.
Novel Dilan bisa menjadi contoh praktik kurang terpuji ini. Menyusul popularitas film-nya yang ditonton hampir 6 juta orang, novel ini laris di pasaran. Sayangnya, versi Pdf-nya dibagikan begitu mudah melalui aplikasi WhatsApp.
Kemajuan teknologi yang memudahkan banyak hal, memberi jalan para pembajak yang mencari uang melalui jalan keliru semacam ini. Penerbit buku biasanya memilih menjual versi elektronik melalui aplikasi semacam Google Play Book yang aman. Namun, di luar sana ada banyak orang memanfaatkan teknologi untuk membuat versi digital dan dijual murah di pasaran. Itulah sebabnya mereka yang bergelut dalam industri buku juga ditantang masuk ke dunia media sosial.
“Media sosial yang lebih menarik, kemudian akses internet yang lebih mudah, membuka kemungkinan orang yang memang gemar membaca akan dimanjakan oleh internet dengan gambar dan videonya. Kemudian, orang yang gemar membaca buku, ada kemungkinan mereka kemudian lebih banyak mengakses bacaan nonbuku lewat internet. Lalu, sebagian kecil yang lain akan membeli e book.”
Semakin besarnya pemakaian telepon pintar, membuka peluang bisnis penjualan buku elektronik. Aplikasi semacam Google Play Book sudah melakukan itu sejak lama. Di Indonesia, industri ini didukung oleh anak-anak muda kreatif, yang mencoba menggabungkan minat besar mereka pada buku, dan kemajuan teknologi. Salah satunya adalah Ardianto Agung, pendiri Bookslife.
Bookslife menjual buku secara online melalui situs resmi mereka. Aplikasinya juga sudah bisa diunduh di Google Play Store. Bookslife menjanjikan siapa saja bisa menerbitkan buku dengan proses yang lebih sederhana karena tanpa proses cetak. “Kami ini benar-benar penerbit, jadi setelah penulis mengirim karya, kami ada proses editing, penataan halaman, pembuatan cover, lalu memasarkannya,” kata Ardi.
Bookslife melakukan inovasi proses penjualan buku. Setiap buku dipecah menjadi beberapa bagian, dengan masing-masing dijual seharga Rp 5.000. Sebuah buku yang dalam versi cetak dijual sebagai satuan, dapat dipecah menjadi 6 buku elektronik oleh Bookslife. Ardi menyebut ini sebagai semacam snack book, dimana dengan sedikit uang orang bisa membeli bagian awal buku. Jika suka, dia bisa membeli bagian lanjutannya, jika tidak pembeli bisa mencari koleksi lain.
“Saya sebelumnya bekerja di penerbitan buku. Saya merasa ada isu-isu di dunia penerbitan, isu-isu inilah yang coba saya perbaiki di dalam dunia digital. Saya harap ini bisa menjadi ceruk pasar baru, tetapi sebenarnya awalnya saya memberikan solusi untuk apa yang terjadi di dunia percetakan sekarang, di mana harga buku mahal dan toko buku juga semakin sedikit,” tutur Ardi.
Your browser doesn’t support HTML5
Ardi mengaku bisa memberikan royalti dalam prosentase yang lebih besar kepada penulis, daripada penerbit cetak. Aplikasi yang dikembangkan juga menyediakan laporan penjualan transparan bagi penulis dari setiap penjualan. Untuk mengurangi kemungkinan buku elektronik mereka dibajak, Bookslife mengembangkan sistem keamanan khusus. “Buku kita tidak bisa di copy, di android tidak bisa di screenshot, kemudian setiap pembaca kita beri license, dan license ini hanya bisa dibuka maksimal dalam 2 device. Ini sudah cukup maksimal bisa menjaga karya penulis,” kata Ardi.
Tantangan industri buku elektronik, salah satunya adalah kebiasaan masyarakat Indonesia yang kurang menghargai karya. Dengan mudah, masyarakat membagikan karya-karya penulis melalui gadget mereka. Menurut Ardi, selain memperkuat pengamanan sistem buku digital, mereka juga terus melakukan edukasi agar masyarakat lebih menghargai karya para penulis. [ns/em]