Meski banyak pihak membicarakan potensi ekonomi dari Burma, sangat sedikit orang asing yang sudah membuka usaha di sana.
Alisher Ali menyadari pada hari kedua kunjungannya di Burma bahwa negara yang lama tertutup itu merupakan risiko yang patut diambil.
Kurang dari dua bulan setelahnya, ia memindahkan istri dan empat anaknya ke Rangoon yang kumuh namun teduh karena pepohonan dan membuka bank investasi pertama di Burma dengan US$1 juta dari koceknya sendiri.
Ia belum menemukan banyak saingan di Burma. Meski banyak pihak membicarakan potensi ekonomi dari salah satu pasar perbatasan terakhir di dunia, sangat sedikit orang asing yang membuka usaha di sana. Hal pertama yang harus dilakukan oleh Ali adalah menjelaskan pada warga Burma, termasuk beberapa dari pegawai barunya, apa itu bank investasi.
Puluhan tahun dalam isolasi menyebabkan Burma memiliki sistem pendidikan yang lemah, situasi perbankan yang buruk, sistem peradilan yang diragukan, pasokan listrik yang tidak stabil, korupsi yang mengakar dan jaringan telepon genggam yang tidak berkembang. Pada dua tahun terakhir, perubahan politik yang luas telah mengakibatkan pembebasan ratusan tahanan politik, pemilihan pemenang Hadiah Nobel Perdamaian Aung San Suu Kyi menjadi anggota parlemen, dan pencabutan sebagian besar sanksi dari Amerika Serikat dan Eropa.
Saat ini, birokrasi negara Asia Tenggara tersebut berjuang untuk mengikuti aneka macam transisi, dari sosialisme menuju kapitalisme, kediktatoran menjadi demokrasi, dan konflik ke arah perdamaian. Kondisi hukum bagi para investor tetap suram, dan di balik kehebohan reformasi, banyak pihak yang merasa ragu: Akankah perubahan ini bertahan? Apakah penguasa militer, di bawah kepemimpinan Presiden Thein Sein yang reformis, benar-benar menyerahkan kekuasaan yang mereka miliki dengan penuh kekerasan selama hampir 50 tahun?
Masalah-masalah ini tidak mengganggu Ali.
Sambil menatap matahari pagi di Danau Inya di Rangoon dari balkon hotelnya pada hari kedua kunjungan ke Burma, Ali melihat sebuah negara dengan potensi besar yang belum terjamah, sedikit seperti Mongolia – di mana ia mengukir nama dan menghasilkan uang – namun dengan jumlah penduduk 20 kali lebih banyak dan lokasi yang lebih baik.
“Ini pertaruhan yang sangat besar,” ujarnya. “Selama lebih dari 20 tahun terakhir, tidak ada preseden bahwa ekonomi dengan penduduk 65 juta ini akan bergabung dengan ekonomi global.”
Ali melihat bank investasinya, Mandalay Capital, sebagai jembatan antara investor asing yang ingin membuka usaha di Burma dan perusahaan lokal yang memerlukan modal dan bimbingan. Bisnis ini bermodelkan Eurasia Capital, bank investasi di Ulan Bator, Mongolia, yang telah menarik klien-klien loyal dan penghargaan sejak Ali mendirikannya pada 2008. Ali, yang lahir di Uzbekistan dan kuliah di Universitas Columbia dan Universitas Oxford, juga telah meraup US$25 juta untuk dana investasi Burma pertama, yang menutup penggalangan dananya bulan lalu.
Banyak hal yang hilang di Burma. Tidak ada semacam Komisi Sekuritas dan Saham yang dapat memberikan ijin bagi Ali. Bahkan tidak ada bahasan mengenai bank investasi dalam undang-undang mengenai jasa keuangan di Burma, menurut Sean Turnell, ekonom dari Universitas Macquarie di Australia. Peraturan mengenai investasi asing yang banyak diperdebatkan saat ini dikirim kembali ke parlemen untuk modifikasi lebih lanjut.
Kekurangan tersebut menakutkan beberapa pihak, terutama dari Barat yang cenderung mencari keamanan hukum. Namun bagi pihak lainnya, seperti Ali dan para investor dan kliennya dari Kazakhstan, Mongolia, Rusia dan Uzbekistan, mereka memang mencari peluang.
Marat Utegenov, direktur eksekutif Mongolia Development Resources, sebuah pengembang properti dari Ulan Bator, merupakan salah satu klien pertama Mandalay Capital. Utegenov ingin Mandalay membantunya menemukan dan membentuk struktur kontrak real estate di Burma, di mana orang asing membutuhkan mitra lokal untuk memiliki properti, ujarnya.
“Jika kita menunggu sampai ada peraturan perundangan dan saya dapat membeli properti secara legal tanpa mitra, saya harus melepaskan sejumlah besar keuntungan karena harganya akan berbeda,” ujar Utegenov, yang berencana menanamkan investasi awal sekitar $5 juta.
Sektor minyak dan gas serta pertambangan mencakup 99 persen dari investasi asing dalam ekonomi di Burma yang bernilai $52 miliar. Namun Mandalay Capital tidak ingin terlibat dalam industri ekstraktif, dan lebih suka dengan sektor dengan pertumbuhan cepat yang memiliki risiko lebih kecil untuk kronisme, korupsi dan beban politis, seperti teknologi informasi, servis telekomunikasi, media, pendidikan, jasa kesehatan, real estate dan jasa keuangan. Ali mengatakan bahwa ia menyasar generasi pengusaha lokal yang sedang tumbuh, daripada memupuk hubungan dnegan pengusaha-pengusaha kroni yang sudah mapan.
Htet Nyi adalah salah satu klien lokal pertama Mandalay Capital. Anak dari psikolog klinis dan dokter, Htet Nyi mendirikan perusahaan perdagangan Burma Finance Co. 17 tahun lalu. Ia meluncurkan usaha dengan spesialisasi dalam pinjaman jumlah kecil untuk kaum miskin pada Maret lalu dan sekarang sedang membahas dengan perusahaan-perusahaan asing mengenai usaha gabungan atau penggalangan modal untuk menumbuhkan usaha pembiayaan mikro.
"Sejauh ini saya membiayainya dari uang saya sendiri,” ujarnya. Pendanaan yang ia dapat sekarang hanyalah dari pinjaman bank lokal dengan bunga 14 persen setahun, turun dari 18 persen tahun lalu, menurutnya.
Lima pegawai Mandalay Capital bekerja dari sebuah bungalow di kompleks perumahan, bukan di kantor seperti pada umumnya. Rangon hanya memiliki ruang perkantoran dengan luas 63.000 meter persegi, atau kurang dari setengah gedung pencakar langit seperti Menara Empire di Bangkok, menurut perusahaan real estate Colliers International. Dengan pasokan yang terbatas dan permintaan yang tinggi, harga melonjak tinggi.
“Para pemilik properti meminta harga yang tidak ada di mana pun kecuali Singapura,” ujar Ali. Daripada membayar $150.000 setahun untuk kantor kecil, ia memilih menyewa sebuah rumah besar dengan harga seperenam lebih murah di daerah elit Golden Valley di Rangoon.
Ali mengatakan bahwa tantangan terbesar adalah menemukan orang-orang yang tepat untuk dijadikan pegawai. Sistem pendidikan lokal sangat menurun di bawah kepemimpinan militer dan Mandalay Capital mengalami kesulitan meyakinkan warga negara Burma yang berpendidikan dan tinggal di luar negeri untuk kembali ke negara mereka.
Alyor Khasanov, kepala divisi sumber daya manusia di Silk Road Finance, induk perusahaan Mandalay Capital, mengatakan ia mencoba meyakinkan seorang ekspatriat bahwa peluang karir di Papua New Guinea tidak secemerlang yang ditawarkan di Burma, namun sulit untuk mengatasi keraguan pria tersebut.
“Tugas saya adalah untuk membuatnya memahami perubahan yang dramatis ini, karena negara ini menawarkan kesempatan yang besar,” ujar Khasanov.
Khine Zyn Tha, 25, kembali ke Rangoon setelah belajar akuntansi di New Zealand dan menjadi analis riset pertama di Mandalay Capital.
Ia tidak memiliki pengalaman dalam perbankan investasi, namun bisa menjelaskan kepada orangtuanya apa itu bank investasi.
"Saya harus menjelaskan bahwa ini bukan bank seperti pada umumnya,” ujar gadis muda tersebut. “Ini menyangkut pembiayaan. Ada investor yang ingin berinvestasi dan ada orang-orang yang membutuhkan dana untuk mengembangkan bisnis mereka. Kami adalah perantara mereka.”
Ia tadinya ingin tetap tinggal di New Zealand – karena layanan kesehatan yang baik dan kesempatan untuk mendapatkan kredit rumah, sesuatu yang mustahil didapatkan di Burma – namun akhirnya kembali karena alasan keluarga. Awalnya ia tidak bahagia, kecil hati karena kurangnya standar profesional perusahaan audit lokal tempat ia bekerja.
Sekarang dengan datangnya dunia ke Burma, ambisi Khine Zyn Tha adalah menemukan tempat baru. Seiring berlalunya hari, kemungkinan bahwa kesempatan ini akan dibatasi menurutnya sangat jauh.
“Kami sudah merasakan kemerdekaan,” ujarnya. “Mereka tidak dapat mengambilnya lagi dari kami.” (AP/Erika Kinetz)
Kurang dari dua bulan setelahnya, ia memindahkan istri dan empat anaknya ke Rangoon yang kumuh namun teduh karena pepohonan dan membuka bank investasi pertama di Burma dengan US$1 juta dari koceknya sendiri.
Ia belum menemukan banyak saingan di Burma. Meski banyak pihak membicarakan potensi ekonomi dari salah satu pasar perbatasan terakhir di dunia, sangat sedikit orang asing yang membuka usaha di sana. Hal pertama yang harus dilakukan oleh Ali adalah menjelaskan pada warga Burma, termasuk beberapa dari pegawai barunya, apa itu bank investasi.
Puluhan tahun dalam isolasi menyebabkan Burma memiliki sistem pendidikan yang lemah, situasi perbankan yang buruk, sistem peradilan yang diragukan, pasokan listrik yang tidak stabil, korupsi yang mengakar dan jaringan telepon genggam yang tidak berkembang. Pada dua tahun terakhir, perubahan politik yang luas telah mengakibatkan pembebasan ratusan tahanan politik, pemilihan pemenang Hadiah Nobel Perdamaian Aung San Suu Kyi menjadi anggota parlemen, dan pencabutan sebagian besar sanksi dari Amerika Serikat dan Eropa.
Saat ini, birokrasi negara Asia Tenggara tersebut berjuang untuk mengikuti aneka macam transisi, dari sosialisme menuju kapitalisme, kediktatoran menjadi demokrasi, dan konflik ke arah perdamaian. Kondisi hukum bagi para investor tetap suram, dan di balik kehebohan reformasi, banyak pihak yang merasa ragu: Akankah perubahan ini bertahan? Apakah penguasa militer, di bawah kepemimpinan Presiden Thein Sein yang reformis, benar-benar menyerahkan kekuasaan yang mereka miliki dengan penuh kekerasan selama hampir 50 tahun?
Masalah-masalah ini tidak mengganggu Ali.
Sambil menatap matahari pagi di Danau Inya di Rangoon dari balkon hotelnya pada hari kedua kunjungan ke Burma, Ali melihat sebuah negara dengan potensi besar yang belum terjamah, sedikit seperti Mongolia – di mana ia mengukir nama dan menghasilkan uang – namun dengan jumlah penduduk 20 kali lebih banyak dan lokasi yang lebih baik.
“Ini pertaruhan yang sangat besar,” ujarnya. “Selama lebih dari 20 tahun terakhir, tidak ada preseden bahwa ekonomi dengan penduduk 65 juta ini akan bergabung dengan ekonomi global.”
Ali melihat bank investasinya, Mandalay Capital, sebagai jembatan antara investor asing yang ingin membuka usaha di Burma dan perusahaan lokal yang memerlukan modal dan bimbingan. Bisnis ini bermodelkan Eurasia Capital, bank investasi di Ulan Bator, Mongolia, yang telah menarik klien-klien loyal dan penghargaan sejak Ali mendirikannya pada 2008. Ali, yang lahir di Uzbekistan dan kuliah di Universitas Columbia dan Universitas Oxford, juga telah meraup US$25 juta untuk dana investasi Burma pertama, yang menutup penggalangan dananya bulan lalu.
Banyak hal yang hilang di Burma. Tidak ada semacam Komisi Sekuritas dan Saham yang dapat memberikan ijin bagi Ali. Bahkan tidak ada bahasan mengenai bank investasi dalam undang-undang mengenai jasa keuangan di Burma, menurut Sean Turnell, ekonom dari Universitas Macquarie di Australia. Peraturan mengenai investasi asing yang banyak diperdebatkan saat ini dikirim kembali ke parlemen untuk modifikasi lebih lanjut.
Kekurangan tersebut menakutkan beberapa pihak, terutama dari Barat yang cenderung mencari keamanan hukum. Namun bagi pihak lainnya, seperti Ali dan para investor dan kliennya dari Kazakhstan, Mongolia, Rusia dan Uzbekistan, mereka memang mencari peluang.
Marat Utegenov, direktur eksekutif Mongolia Development Resources, sebuah pengembang properti dari Ulan Bator, merupakan salah satu klien pertama Mandalay Capital. Utegenov ingin Mandalay membantunya menemukan dan membentuk struktur kontrak real estate di Burma, di mana orang asing membutuhkan mitra lokal untuk memiliki properti, ujarnya.
“Jika kita menunggu sampai ada peraturan perundangan dan saya dapat membeli properti secara legal tanpa mitra, saya harus melepaskan sejumlah besar keuntungan karena harganya akan berbeda,” ujar Utegenov, yang berencana menanamkan investasi awal sekitar $5 juta.
Sektor minyak dan gas serta pertambangan mencakup 99 persen dari investasi asing dalam ekonomi di Burma yang bernilai $52 miliar. Namun Mandalay Capital tidak ingin terlibat dalam industri ekstraktif, dan lebih suka dengan sektor dengan pertumbuhan cepat yang memiliki risiko lebih kecil untuk kronisme, korupsi dan beban politis, seperti teknologi informasi, servis telekomunikasi, media, pendidikan, jasa kesehatan, real estate dan jasa keuangan. Ali mengatakan bahwa ia menyasar generasi pengusaha lokal yang sedang tumbuh, daripada memupuk hubungan dnegan pengusaha-pengusaha kroni yang sudah mapan.
Htet Nyi adalah salah satu klien lokal pertama Mandalay Capital. Anak dari psikolog klinis dan dokter, Htet Nyi mendirikan perusahaan perdagangan Burma Finance Co. 17 tahun lalu. Ia meluncurkan usaha dengan spesialisasi dalam pinjaman jumlah kecil untuk kaum miskin pada Maret lalu dan sekarang sedang membahas dengan perusahaan-perusahaan asing mengenai usaha gabungan atau penggalangan modal untuk menumbuhkan usaha pembiayaan mikro.
"Sejauh ini saya membiayainya dari uang saya sendiri,” ujarnya. Pendanaan yang ia dapat sekarang hanyalah dari pinjaman bank lokal dengan bunga 14 persen setahun, turun dari 18 persen tahun lalu, menurutnya.
Lima pegawai Mandalay Capital bekerja dari sebuah bungalow di kompleks perumahan, bukan di kantor seperti pada umumnya. Rangon hanya memiliki ruang perkantoran dengan luas 63.000 meter persegi, atau kurang dari setengah gedung pencakar langit seperti Menara Empire di Bangkok, menurut perusahaan real estate Colliers International. Dengan pasokan yang terbatas dan permintaan yang tinggi, harga melonjak tinggi.
“Para pemilik properti meminta harga yang tidak ada di mana pun kecuali Singapura,” ujar Ali. Daripada membayar $150.000 setahun untuk kantor kecil, ia memilih menyewa sebuah rumah besar dengan harga seperenam lebih murah di daerah elit Golden Valley di Rangoon.
Ali mengatakan bahwa tantangan terbesar adalah menemukan orang-orang yang tepat untuk dijadikan pegawai. Sistem pendidikan lokal sangat menurun di bawah kepemimpinan militer dan Mandalay Capital mengalami kesulitan meyakinkan warga negara Burma yang berpendidikan dan tinggal di luar negeri untuk kembali ke negara mereka.
Alyor Khasanov, kepala divisi sumber daya manusia di Silk Road Finance, induk perusahaan Mandalay Capital, mengatakan ia mencoba meyakinkan seorang ekspatriat bahwa peluang karir di Papua New Guinea tidak secemerlang yang ditawarkan di Burma, namun sulit untuk mengatasi keraguan pria tersebut.
“Tugas saya adalah untuk membuatnya memahami perubahan yang dramatis ini, karena negara ini menawarkan kesempatan yang besar,” ujar Khasanov.
Khine Zyn Tha, 25, kembali ke Rangoon setelah belajar akuntansi di New Zealand dan menjadi analis riset pertama di Mandalay Capital.
Ia tidak memiliki pengalaman dalam perbankan investasi, namun bisa menjelaskan kepada orangtuanya apa itu bank investasi.
"Saya harus menjelaskan bahwa ini bukan bank seperti pada umumnya,” ujar gadis muda tersebut. “Ini menyangkut pembiayaan. Ada investor yang ingin berinvestasi dan ada orang-orang yang membutuhkan dana untuk mengembangkan bisnis mereka. Kami adalah perantara mereka.”
Ia tadinya ingin tetap tinggal di New Zealand – karena layanan kesehatan yang baik dan kesempatan untuk mendapatkan kredit rumah, sesuatu yang mustahil didapatkan di Burma – namun akhirnya kembali karena alasan keluarga. Awalnya ia tidak bahagia, kecil hati karena kurangnya standar profesional perusahaan audit lokal tempat ia bekerja.
Sekarang dengan datangnya dunia ke Burma, ambisi Khine Zyn Tha adalah menemukan tempat baru. Seiring berlalunya hari, kemungkinan bahwa kesempatan ini akan dibatasi menurutnya sangat jauh.
“Kami sudah merasakan kemerdekaan,” ujarnya. “Mereka tidak dapat mengambilnya lagi dari kami.” (AP/Erika Kinetz)