“Bapak khan sudah menandatangani peraturan dan surat pernyataan yang mengharuskan siswi mengenakan jilbab?,” ujar pihak sekolah.
“Saya tidak teken..,” jawab orang tua siswi non-Muslim yang dipanggil menghadap ke sekolah.
“Ada, ini dokumennya,” jawab pihak sekolah.
“Tapi saya khan jadi seperti membohongi identitas saya kalau putri saya mengenakan jilbab padahal ia bukan Muslim,” ujar orang tua itu lirih.
Inilah petikan audio dari video orang tua siswi non-Muslim di SMK Negeri 2 Padang, Sumatera Barat, yang mempertanyakan pada pihak sekolah, keharusan mengenakan jilbab pada siswi perempuan, yang non-Muslim sekali pun.
Pihak sekolah bersikeras orang tua telah menyepakati aturan yang didasarkan pada aturan Dinas Pendidikan Sumatera Barat No.11/2005. Tak mendapat jawaban dari kegundahannya, orang tua siswi ini pun memasang video yang diambilnya dengan telepon selular ke akun Facebooknya, yang langsung memicu reaksi luas.
Diwawancarai melalui telepon Sabtu malam (23/1), anggota DPR RI dari Komisi X, MY Esti Wijayati mengecam pemaksaan aturan yang intoleran seperti itu.
“Sebenarnya menurut catatan ada 45-46 siswi non-Muslim di sekolah itu yang juga mengenakan jilbab, dan memang hanya satu yang keberatan dan merasa dipaksa. Tapi walau pun hanya satu, laporannya valid. Dan ini sekolah negeri, sekolah yang pembiayaannya dari pemerintah, mengikuti azas dan regulasi pendidikan secara nasional, jadi jelas tidak boleh ada aturan yang bersifat intoleran seperti ini," tegasnya.
Ia menambahkan, "Saya tahu aturan seperti ini tidak diberlakukan di semua daerah, hanya di Padang yang mungkin aturannya diperluas menjadi seperti ini. Tetapi apapun itu, ada konstitusi negara yang mewajibkan kita menghormati mereka dengan keyakinan yang berbeda.”
Sementara, aktivis kebangsaan Damaira Pakpahan mengatakan insiden pemaksaan jilbab sebagai bagian seragam sekolah di Padang ini bukan yang pertama. Hal yang sama sebelumnya terjadi di Riau dan Sragen.
“Ini juga terjadi di daerah-daerah lain sebelumnya. Dan ketika perdebatan dan kontroversi ini meluas, yang paling menjadi korban adalah siswanya sendiri. Di Sragen misalnya anaknya sampai tidak berani lagi sekolah karena dia jadi di-bully.”
Wali Kota Padang Mahyeldi kepada VOA menampik adanya pemaksaan mengenakan jilbab pada siswi non-Muslim di daerahnya. Ia mengkritisi pemberitaan media yang dinilainya membesar-besarkan persoalan tanpa mengkaji lebih jauh sebelumnya.
“Di pemerintah daerah tidak ada pemaksaan, karena kita di Kota Padang sudah punya Perda No.5/2011 ayat 14 huruf j tentang pendidikan, yang mengatur pakaian di sekolah, ada kewajiban menggunakan busana Muslim hanya untuk siswa/siswi Muslim, tidak untuk yang non-Muslim.”
Mendikbud Nadiem Makarim bertindak cepat dengan memerintahkan pemerintah daerah setempat memberi sanksi pada pihak yang terlibat dalam kasus itu. Lewat video yang diunggah di akun Instagramnya hari Minggu (24/1), Nadiem bahkan meminta pembebasan jabatan agar menimbulkan efek jera.
"Saya meminta pemerintah daerah sesuai dengan mekanisme yang berlaku segera memberikan sanksi tegas atas pelanggaran disiplin bagi seluruh pihak yang terbukti terlibat. Termasuk kemungkinan menerapkan pembebasan jabatan agar permasalahan ini jadi pembelajaran kita bersama ke depan,” kata Nadiem.
Ia juga menegaskan agar aturan seragam sekolah senantiasa mengacu pada Peraturan Mendikbud No.45/Tahun 2014 pasal 3 ayat 4 yang menyatakan agar sekolah wajib memperhatikan hak setiap warga negara untuk menjalankan keyakinan agamanya masing-masing dalam berpakaian.
Your browser doesn’t support HTML5
Saat laporan ini disampaikan Kepala SMK 2 Padang Rusmadi telah menyampaikan permohonan maaf terhadap kesalahan penerapan kebijakan seragam sekolah itu dan akan menyelesaikan masalah yang ada secara kekeluargaan.
Sementara siswi non-Muslim yang menjadi pemberitaan luas itu sudah dapat kembali bersekolah tanpa dipanggil pihak sekolah karena tidak mengenakan jilbab. [em/jm]