Pada saat para pemimpin dunia bertemu di New York pekan ini, badan urusan pemberdayaan dan kesetaraan gender perempuan PBB (UN Women), kembali berupaya memastikan agar isu kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan tetap menjadi perhatian utama.
Ini penting karena selama puluhan tahun, PBB telah membuat kemajuan signifikan untuk meningkatkan kesetaraan jender dan pemberdayaan perempuan. Termasuk dengan tercapainya beberapa terobosan, antara lain Konvensi Penghapusan Seluruh Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan (Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women), yang disingkat CEDAW, dan terbentuknya UN Women tahun 2010 lalu.
Tetapi ternyata belum semua negara meratifikasi konvensi itu atau setidaknya berupaya meningkatkan harkat kaum perempuan. Hal ini disampaikan Duta Besar Khusus UN Women Emma Watson, yang secara mengejutkan mengatakan bahwa hingga hari ini belum satu negara pun bisa memastikan bahwa negaranya telah sepenuhnya mencapai kesetaraan jender.
Your browser doesn’t support HTML5
Bintang film serial “Harry Potter” itu memang didaulat menjadi Duta Besar Khusus UN Women. Bersama Sekjen PBB Ban Ki-Moon dan Direktur Eksekutif UN Women Phumzile Mlambo-Ngcuka, akhir pekan lalu ia meluncurkan kampanye “He For She”.
Berbeda dengan kampanye-kampanye UN Women sebelumnya, kampanye kali ini justru menarget kaum laki-laki untuk menyuarakan dan memperjuangkan hak kaum perempuan. Selama 12 bulan mendatang, kampanye “He For She” ini menarget satu milyar laki-laki dan anak laki-laki untuk menjadi agen perubahan kesetaraan gender. Hal ini disampaikan oleh Direktur Eksekutif UN Women Phumzile Mlambo-Ngcuka.
Sekjen PBB Ban Ki-Moon yang ikut menghadiri peluncuran itu sempat berseloroh. “Emma Watson telah menggunakan tongkat sihirnya dan saya harap bisa mengakhiri kekerasan terhadap perempuan”. Tetapi dengan nada serius, Ban Ki-Moon mengatakan sesungguhnya kaum laki-laki bertanggungjawab atas sebagian besar ancaman dan aksi kekerasan yang dialami kaum perempuan, karena laki-laki yang mengeluarkan ancaman dan melakukan kekerasan umumnya adalah ayah, abang, pacar, suami atau pimpinan laki-laki.
Ketidaksetaraan gender memang masih tetap dialami sebagian besar perempuan. Indeks Ketidaksetaraan Jender (GII) yang dikeluarkan UNDP baru-baru ini menunjukkan buruknya kondisi yang dialami perempuan di sebagian besar negara.
Indeks itu mengukur tingkat kesetaraan dan ketidaksetaraan perempuan dari tiga faktor, yaitu tingkat kesehatan reproduksi, terutama dari tingkat kematian ibu dan tingkat kelahiran remaja, tingkat pemberdayaan, terutama dari berapa banyak perempuan yang meraih pendidikan sekolah menengah dan berapa banyak perempuan yang duduk di parlemen, serta dari status ekonomi yaitu berapa besar perempuan berusia di atas 15 tahun yang masuk dalam angkatan kerja produktif.
Dari pengukuran ketiga faktor itu diketahui bahwa sebagian besar perempuan di dunia masih mengalami diskriminasi dalam pendidikan, layanan kesehatan, pekerjaan dan upah. Tak sedikit yang bahkan masih menjadi korban kekerasan dan tidak pernah dipertimbangkan dalam pengambilan keputusan.
Contoh paling nyata tampak pada sebagian perempuan di Pakistan dan Afghanistan menjadi target kekerasan hanya karena ingin bersekolah. Atau perempuan di India yang tidak pernah merasa aman karena maraknya kasus pelecehan seksual dan perkosaan massal.
Dalam peluncuran kampanye “He For She” itu, Sekjen PBB Ban Ki-Moon menjadi orang pertama yang menandatangani peta kampanye “He For She”.