Dalam jumpa pers yang digelar secara virtual hari Selasa (7/9) untuk memperingati 17 tahun kematian aktivis hak asasi manusia (HAM) Munir Said Thalib, Arif Maulana dari LBH Jakarta menegaskan kasus pembunuhan aktivis hak asasi manusia (HAM) Munir Said Thalib bukan perkara biasa tapi merupakan pelanggaran HAM berat.
Arif mendesak pemerintah untuk segera menyelesaikan perkara tersebut dan tidak menghentikan penyelidikannya.
Your browser doesn’t support HTML5
"Kita mendesak kepada negara, kita mendesak kepada pemerintah untuk kemudian melihat kasus Cak Munir sebagai kasus pelanggaran hak asasi manusia yang berat. Ini bukan kasus pembunuhan biasa. Ini adalah konspirasi tingkat tinggi yang melibatkan negara melibatkan Badan Intelijen Negara dan PT Garuda Indonesia," kata Arif.
Arif menambahkan dengan menetapkan kasus pembunuhan Munir sebagai pelanggaran HAM berat maka perkara yang merupakan kejahatan luar biasa, berdampak luas dan menyakiti rasa keadilan ini tidak mengenal istilah kedaluwarsa karena bukan kejahatan biasa.
Senada dengan Arif, Sekretaris Jenderal Komite Aksi Solidaritas Untuk Munir (KASUM) Bivitri Susanti juga menyebut kasus pembunuhan Munir sebagai pelanggaran HAM berat. Ditambahkannya, KASUM pada 7 September tahun lalu sudah mengirim pendapat hukum kepada Komnas HAM untuk menetapkan perkara pembunuhan Munir sebagai kasus pelanggaran HAM berat karena pembunuhan Munir itu melibatkan pejabat penyelenggara negara di beberapa level berdasarkan hasil penyelidikan tim pencari fakta yang berakhir masa tugasnya pada 2005. Menurutnya pertimbangan-pertimbangan itu sedianya membuat penyelidikan pembunuhan itu ditindaklanjuti segera, tetapi yang terjadi malah laporan tim pencari fakta dalam kasus pembunuhan Munir tersebut dinyatakan hilang.
BACA JUGA: 100 Tokoh Demokrasi Desak Jokowi Usut Aktor Intelektual Kasus Munir"Kami meminta ke Komnas HAM untuk menyelidiki kasus Munir ini sesuai dengan Undang-undang Pengadilan HAM sehingga masuk dalam kategori pelanggaran HAM berat. Sehingga tidak bisa lagi ada dalih-dalih yang sebenarnya kami tidak setuju, misalnya soal kadaluwarsa. Tapi kan bisa jadinya digunakan oleh pihak-pihak yang menginginkan supaya kasus ini menggantung, tidak pernah diselesaikan," ujar Bivitri.
Bivitri menegaskan bukti lainnya bahwa kasus pembunuhan Munir merupakan pelanggaran HAM berat karena sampai saat ini belum ada keseriusan dari pemerintah untuk menyelesaikan perkara tersebut.
Menurutnya beberapa orang yang disebut dalam laporan tim pencari fakta seperti mantan kepala Badan Intelijen Negara (BIN) A.M. Hendropriyono masih ada dalam lingkaran kekuasaan.
Bivitri menekankan sepanjang aktor dalam kasus pembunuhan Munir masih ada dalam lingkaran kekuasaan maka perkara itu tidak akan pernah selesai.
Sesuai Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), tuntutan perkara dengan ancaman hukuman mati atau penjara seumur hidup akan kadaluwarsa setelah 18 tahun. Artinya, upaya mengungkap aktor utama dalam perkara pembunuhan Munir akan berakhir pada 2022 karena kasusnya termasuk pembunuhan berencana biasa.
Inilah yang dikhawatirkan para pegiat HAM dan masyarakat sipil sehingga mereka terus mendorong Komnas HAM untuk menetapkan kasus pembunuhan Munir sebagai pelanggaran HAM berat.
Komnas HAM sampai sekarang belum menetapkan kasus pembunuhan Munir sebagai pelanggaran HAM berat. Menurut Komisioner Komnas HAM Sandrayati Moniaga, masih ada perbedaan pendapat antara komisioner Komnas HAM dalam hal tersebut.
Beberapa komisioner memandang kasus pembunuhan Munir layak ditetapkan sebagai pelanggaran HAM berat, namun yang lain menganggap perkara itu merupakan serangan sistematis terhadap pembela HAM. [fw/em]