Perusahaan minyak dan gas Chevron Pasifik Indonesia meminta penyelesaian kasus dugaan penyalahgunaan anggaran dilakukan secara perdata.
Menyusul dugaan penyalahgunaan anggaran dalam proses bioremediasi tanah yang dilakukan PT Chevron Pasifik Indonesia (CPI), perusahaan tersebut berharap penyelesaian masalah terkait diselesaikan secara perdata bukan pidana.
Pada akhir September 2012, Kejaksaan Agung menahan tujuh orang tersangka dalam kasus bioremediasi tanah tersebut. Kasus ini bermula ketika CPI menganggarkan sekitar US$270 juta untuk biaya proyek lingkungan di sekitar proyek eksplorasi dan eksploitasi perusahaan tersebut di Indonesia.
Anggaran tersebut untuk kurun waktu 2003 hingga 2011, dimana Chevron bekerja sama dengan pemerintah Indonesia, dalam hal ini Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (BPMIGAS).
Proyek lingkungan tersebut diantaranya adalah untuk bioremediasi tanah atau pemulihan kondisi tanah yang terkena limbah akibat eksplorasi dan eksploitasi yang dilakukan perusahaan minyak dan gas.
Dari sejumlah lokasi yang harus melalui bioremediasi tanah, salah satunya adalah Riau. Namun sejak proyek tersebut dimulai 2006 hingga 2011, hasil uji laboratorium yang dilakukan pihak penyidik Kejaksaan Agung menyatakan lahan masih tercemar limbah sehingga negara dirugikan sekitar $23,37 juta dan Kejaksaan Agung menilai proyek tersebut fiktif.
Kepada VOA di Jakarta, Selasa (30/10), Wakil Direktur bidang Kebijakan Pemerintah dan Kemasyarakatan PT.CPI, Yanto Sianipar, menegaskan, tuduhan proyek fiktif itu tidak dapat dibenarkan karena dari sekitar 1 juta meter kubik tanah yang harus diremediasi di Riau, 500.000 meter kubik diantaranya sudah dalam keadaan pulih, bahkan hijau kembali setelah ditanam pohon.
Ia menyayangkan pihak Kejaksaan Agung belum melihat kenyataan tersebut dalam proses penyidikan. Ia juga menambahkan, proses bioremediasi tanah tidak hanya dilakukan PT. Cehvron tetapi juga melibatkan pemerintah diantaranya Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) serta beberapa lembaga independen.
Yanto mengatakan sampai saat ini pihaknya masih terus berupaya agar penyelesaian kasus tersebut dilakukan secara perdata dan bukan pidana.
“Proyek ini sudah sukses, berhasil, kita menjadi pionir bahkan. Kita memiliki pusat teknologi di Amerika, tim ahlinya dari sana dan kita berkomunikasi secara dekat dengan Kementerian Lingkungan Hidup, dibantu oleh pihak universitas,” ujar Yanto.
“Ada beberapa ahli dari universitas yang membantu kita waktu mendesain proyek ini. Semua orang kalau liat semua mengatakan tidak mungkin ini proyek fiktif. Kita memiliki perjanjian kontrak yang sangat jelas dengan pemerintah sehingga apapun yang terjadi, kesalahan-kesalahan dalam biaya proyek ataupun operasi itu bisa diselesaikan dengan cara yang sangat baik. Dengan metode pendekatan audit, artinya kalau dalam audit ada kesalahan administrasi kita siap untuk membatalkan cost recovery.”
Yanto Sianipar mengatakan Chevron telah menunjuk dua kontraktor untuk melakukan proses bioremediasi tanah di Riau. Ia mengatakan kedua kontraktor tersebut sudah berpengalaman dan penunjukkan dilakukan melalui proses ketat.
“Teknologinya sendiri itu kan Chevron yang mengembangkan, membuat rencana desain segala macam. Kita juga mendapatkan sertifikasi dari KLH atas nama Chevron,” ujar Yanto.
Dalam kesempatan berbeda, Menteri Koordinasi bidang Perekonomian, Hatta Rajasa berharap kasus dugaan penyalahgunaan anggaran yang melibatkan PT. Chevron tidak menganggu iklim investasi karena saat ini Indonesia sedang giat menarik investasi sebagai penggerak pertumbuhan ekonomi.
“Saya tidak ingin masuk ke persoalan hukum akan tetapi saya juga ingin agar ada satu kejelasan,” ujar Hatta, dengan menambahkan bahwa hal itu bisa menghambat investasi.
Proyek bioremediasi tanah di Riau oleh PT. Chevron ditargetkan selesai pada 2019 namun dinyatakan berhenti sementara hingga kasus selesai. Untuk proyek tersebut. PT CPI mengatakan sudah mengeluarkan biaya sekitar $10,5 juta dan belum mendapat kucuran dana kerja sama dari pemerintah yang sebelumnya sudah disepakti kedua pihak.
Sementara pihak Kejaksaan Agung ingin tetap melanjutkan penyidikan terkait kasus tersebut karena sudah ada bukti kuat terjadi penyalahgunaan anggaran proyek.
Pada akhir September 2012, Kejaksaan Agung menahan tujuh orang tersangka dalam kasus bioremediasi tanah tersebut. Kasus ini bermula ketika CPI menganggarkan sekitar US$270 juta untuk biaya proyek lingkungan di sekitar proyek eksplorasi dan eksploitasi perusahaan tersebut di Indonesia.
Anggaran tersebut untuk kurun waktu 2003 hingga 2011, dimana Chevron bekerja sama dengan pemerintah Indonesia, dalam hal ini Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (BPMIGAS).
Proyek lingkungan tersebut diantaranya adalah untuk bioremediasi tanah atau pemulihan kondisi tanah yang terkena limbah akibat eksplorasi dan eksploitasi yang dilakukan perusahaan minyak dan gas.
Dari sejumlah lokasi yang harus melalui bioremediasi tanah, salah satunya adalah Riau. Namun sejak proyek tersebut dimulai 2006 hingga 2011, hasil uji laboratorium yang dilakukan pihak penyidik Kejaksaan Agung menyatakan lahan masih tercemar limbah sehingga negara dirugikan sekitar $23,37 juta dan Kejaksaan Agung menilai proyek tersebut fiktif.
Kepada VOA di Jakarta, Selasa (30/10), Wakil Direktur bidang Kebijakan Pemerintah dan Kemasyarakatan PT.CPI, Yanto Sianipar, menegaskan, tuduhan proyek fiktif itu tidak dapat dibenarkan karena dari sekitar 1 juta meter kubik tanah yang harus diremediasi di Riau, 500.000 meter kubik diantaranya sudah dalam keadaan pulih, bahkan hijau kembali setelah ditanam pohon.
Ia menyayangkan pihak Kejaksaan Agung belum melihat kenyataan tersebut dalam proses penyidikan. Ia juga menambahkan, proses bioremediasi tanah tidak hanya dilakukan PT. Cehvron tetapi juga melibatkan pemerintah diantaranya Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) serta beberapa lembaga independen.
Yanto mengatakan sampai saat ini pihaknya masih terus berupaya agar penyelesaian kasus tersebut dilakukan secara perdata dan bukan pidana.
“Proyek ini sudah sukses, berhasil, kita menjadi pionir bahkan. Kita memiliki pusat teknologi di Amerika, tim ahlinya dari sana dan kita berkomunikasi secara dekat dengan Kementerian Lingkungan Hidup, dibantu oleh pihak universitas,” ujar Yanto.
“Ada beberapa ahli dari universitas yang membantu kita waktu mendesain proyek ini. Semua orang kalau liat semua mengatakan tidak mungkin ini proyek fiktif. Kita memiliki perjanjian kontrak yang sangat jelas dengan pemerintah sehingga apapun yang terjadi, kesalahan-kesalahan dalam biaya proyek ataupun operasi itu bisa diselesaikan dengan cara yang sangat baik. Dengan metode pendekatan audit, artinya kalau dalam audit ada kesalahan administrasi kita siap untuk membatalkan cost recovery.”
Yanto Sianipar mengatakan Chevron telah menunjuk dua kontraktor untuk melakukan proses bioremediasi tanah di Riau. Ia mengatakan kedua kontraktor tersebut sudah berpengalaman dan penunjukkan dilakukan melalui proses ketat.
“Teknologinya sendiri itu kan Chevron yang mengembangkan, membuat rencana desain segala macam. Kita juga mendapatkan sertifikasi dari KLH atas nama Chevron,” ujar Yanto.
Dalam kesempatan berbeda, Menteri Koordinasi bidang Perekonomian, Hatta Rajasa berharap kasus dugaan penyalahgunaan anggaran yang melibatkan PT. Chevron tidak menganggu iklim investasi karena saat ini Indonesia sedang giat menarik investasi sebagai penggerak pertumbuhan ekonomi.
“Saya tidak ingin masuk ke persoalan hukum akan tetapi saya juga ingin agar ada satu kejelasan,” ujar Hatta, dengan menambahkan bahwa hal itu bisa menghambat investasi.
Proyek bioremediasi tanah di Riau oleh PT. Chevron ditargetkan selesai pada 2019 namun dinyatakan berhenti sementara hingga kasus selesai. Untuk proyek tersebut. PT CPI mengatakan sudah mengeluarkan biaya sekitar $10,5 juta dan belum mendapat kucuran dana kerja sama dari pemerintah yang sebelumnya sudah disepakti kedua pihak.
Sementara pihak Kejaksaan Agung ingin tetap melanjutkan penyidikan terkait kasus tersebut karena sudah ada bukti kuat terjadi penyalahgunaan anggaran proyek.