Seorang pejabat pemerintah dari wilayah Tibet di China, Jumat (10/11) membantah tuduhan melakukan asimilasi paksa dan mengekang kebebasan beragama. Ia juga menekankan bahwa agama Buddha Tibet harus beradaptasi dengan konteks China .
Xu Zhitao, wakil kepala pemerintahan wilayah Tibet, membela sistem sekolah berasrama yang menurut para aktivis luar negeri menjauhkan anak-anak dari orang tua dan komunitas Tibet mereka. Ia mengatakan China telah membuka sekolah-sekolah tersebut untuk meningkatkan pendidikan bagi anak-anak dari daerah-daerah terpencil.
“Klaim bahwa anak-anak Tibet dipaksa masuk sekolah berasrama itu adalah fitnah yang disengaja dengan motif tersembunyi,” katanya pada konferensi pers yang merilis laporan resmi mengenai kebijakan Partai Komunis di Tibet.
Laporan tersebut memuji kemajuan dalam pembangunan ekonomi, stabilitas sosial dan perlindungan lingkungan di bawah pemerintahan Partai Komunis. China telah membangun jalan raya dan kereta api berkecepatan tinggi melalui wilayah pegunungan dan mempromosikan pariwisata sebagai cara untuk meningkatkan pendapatan.
Namun para aktivis dan beberapa negara Barat menuduh China melakukan pelanggaran HAM dan menindas budaya Tibet dalam upayanya menghentikan gerakan apa pun menuju pemisahan diri atau kemerdekaan. Sekolah-sekolah berasrama tersebut mendapat kecaman tahun ini dari para ahli HAM PBB dan pemerintah AS, yang mengatakan bahwa mereka akan menerapkan pembatasan visa bagi para pejabat yang terlibat di sekolah-sekolah tersebut.
China juga memiliki sekolah-sekolah berasrama di wilayah lain namun tampaknya lebih tersebar luas di Tibet. Xu mengatakan mereka dibutuhkan untuk melayani daerah pedesaan yang berpenduduk jarang dan terpencil. “Jika sekolah terlalu tersebar, akan sulit untuk memiliki cukup guru atau memberi pengajaran yang berkualitas,” katanya. “Jadi sangat penting untuk menggabungkan sekolah berasrama dan sekolah harian untuk memastikan pengajaran berkualitas tinggi dan persamaan hak bagi anak-anak.”
Ia mengatakan, pemerintah mengatur urusan agama yang berkaitan dengan kepentingan negara dan masyarakat, namun tidak mencampuri urusan dalam negeri kelompok-kelompok agama. “Kita harus terus menyesuaikan agama dengan konteks China dan membimbing agama Buddha Tibet untuk beradaptasi dengan masyarakat sosialis, yang dapat membantu agama Buddha Tibet beradaptasi lebih baik dengan realitas China ,” katanya.
Versi bahasa Inggris dari laporan tersebut menggunakan nama Xizang dan bukan Tibet untuk merujuk pada wilayah tersebut. Pemerintah semakin sering menggunakan Xizang, nama sebutan China untuk Tibet, dalam dokumen-dokumen berbahasa Inggrisnya. [ab/ka]