Utusan China telah membela perlakuan Beijing terhadap Hong Kong dan minoritas Muslim di Xinjiang dalam konfrontasi publik yang tidak biasa dengan para pembela hak asasi manusia pada pertemuan PBB di Jenewa, Swiss, Kamis (16/2).
Selama pertemuan Komite Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya PBB tersebut, para pejabat China juga menolak keluhan bahwa Partai Komunis China yang berkuasa menghambat respons global terhadap COVID-19 dengan menyembunyikan informasi terkait.
Pemerintah Presiden China Xi Jinping menghadapi berbagai tuduhan bahwa berbagai pelanggaran HAM telah berlipat ganda ketika Beijing mencoba untuk menghancurkan gerakan pro-demokrasi di Hong Kong, melakukan penahanan massal terhadap minoritas Muslim Uyghur, serta membungkam buruh, hak-hak perempuan dan aktivis lainnya.
Pemerintah Xi sebelumnya telah menolak tuduhan tersebut, tetapi sidang dua hari yang berakhir Kamis di Jenewa memberi para aktivis kesempatan yang tidak biasa untuk menyampaikan kritik secara langsung di hadapan para pejabat China.
BACA JUGA: Cek Fakta: China Ekploitasi Kunjungan PBB untuk Menyangkal Kekejaman di XinjiangTindakan keras terhadap Hong Kong sebagai tanggapan atas protes anti-pemerintah yang dimulai pada 2019 memicu keluhan bahwa Beijing mengikis otonomi dan kebebasan sipil gaya Barat yang dijanjikan ketika bekas jajahan Inggris itu kembali ke China pada 1997.
Seorang pejabat biro keamanan Hong Kong mengatakan undang-undang keamanan tahun 2020 di mana aktivis terkemuka telah ditangkap "tidak memengaruhi hak sah" publik untuk mengkritik keputusan resmi atau memengaruhi kebebasan akademik.
“Namun demikian, hak dan kebebasan seperti itu tidak mutlak,” kata Simon Wong, asisten sekretaris utama di biro tersebut. “Jika tindakan ilegal terlibat, mereka dapat dibatasi oleh hukum.”
Tentang COVID-19, seorang pejabat kesehatan China, He Qinghua, mengatakan bahwa kerja sama China dengan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dan pemerintah lainnya “terbuka dan transparan, dan kerja sama tersebut juga efektif.”
Seorang pejabat dari Partai Komunis China yang berkuasa yang tidak disebutkan namanya mengatakan bahwa “upaya deradikalisasi” di wilayah Xinjiang, rumah bagi jutaan warga etnis Uyghur dan sebagian besar minoritas Muslim lainnya, “tidak menargetkan wilayah, etnis mana pun, juga kelompok atau kepercayaan agama apa pun.”
Komisi Peninjauan Ekonomi dan Keamanan AS-China, sebuah badan yang dibentuk oleh Kongres, mengatakan Front Bersatu digunakan “untuk mengkooptasi dan menetralisir sumber-sumber oposisi potensial” terhadap otoritas dan kebijakan partai yang berkuasa.
Pihak berwenang China mengakui ratusan ribu orang di Xinjiang ditempatkan di tempat yang oleh partai berkuasa disebut sebagai "pusat pelatihan kejuruan". Mereka mengatakan orang-orang itu menerima pelatihan kerja untuk mempromosikan pembangunan ekonomi dan melawan kekerasan ekstremis.
Sebuah panel PBB akan merilis laporan dengan kesimpulan beserta rekomendasinya bagi pemerintah China pada 6 Maret mendatang.
Pada Kamis, para advokat bagi warga etnis Uyghur di China mengadakan pameran di dekat kantor PBB dengan memajang foto orang-orang yang menurut mereka telah ditahan atau dihilangkan oleh pihak berwenang, beberapa di antaranya masih berusia 10 tahun.
“Saya berharap anggota komite (panel PBB) akan berpihak pada keadilan,” kata Erkin Zunun, ketua koordinator Kongres Uyghur Dunia.
Preeti Saran, wakil ketua Komite PBB untuk Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya dan mantan diplomat India, mengutip laporan tentang “penghancuran luas bangunan budaya Uyghur, termasuk citra satelit yang menunjukkan penghancuran luas terhadap masjid-masjid, kuburan, dan tempat-tempat suci.”
Dia juga mengatakan bahwa salah satu kota di Xinjiang, China telah melarang penggunaan bahasa Uyghur, dan mewajibkan penggunaan bahasa Mandarin.
“Bagaimana pemerintah (negara) memastikan bahwa etnis minoritas — terutama warga Tibet, Uyghur, Hui, Kazak, Mongol — bisa sepenuhnya menggunakan hak-hak mereka untuk melestarikan dan berpartisipasi dalam kehidupan budayanya, termasuk dalam menggunakan dan mengajarkan bahasa, sejarah, dan budaya mereka sendiri, serta menjalankan agama mereka dengan bebas tanpa campur tangan atau tindakan balasan oleh negara?,” tanya Preeti Saran kepada delegasi China tersebut. [pp/ft]