Tidak ada yang tahu apa yang terjadi terhadap seorang mahasiswa Uighur setelah ia kembali ke China dari Mesir dan dibawa oleh polisi.
Para tetangga di desanya di ujung barat China tidak tahu di mana ia berada, dan mereka belum melihatnya selama beberapa bulan. Mantan teman-teman sekelasnya juga tidak tahu dan mereka khawatir pihak berwenang China telah memukulinya hingga tewas.
Ibunya juga tidak tahu, yang tinggal dalam rumah bertingkat dua di ujung sebuah jalan, sendirian di balik tembok yang menahan sinar matahari gurun-pasir. Dia membuka pintu pada suatu sore hari bagi kunjungan mendadak para wartawan Associated Press, yang menunjukkan kepadanya sebuah foto seorang pemuda ganteng di sebuah taman, dan satu tangannya diacungkan ke atas.
"Ya, itu dia," kata ibu itu sementara air mata bercucuran di wajahnya. "Inilah pertama kalinya saya mendengar apapun mengenai dia dalam tujuh bulan. Apa yang terjadi?" Tanyanya mengenai putranya itu.
"Apakah ia sudah meninggal atau hidup?"
Teman-teman mahasiswa tersebut berpendapat ia telah turut bersama ribuan, kemungkinan puluhan ribu orang, menurut taksiran organisasi hak asasi dan para dosen, yang telah dibawa polisi tanpa peradilan ke kamp tahanan rahasia atas tuduhan kejahatan politik yang berkisar dari anggapan mempunyai pemikiran ektrimis hingga hanya karena melakukan perjalanan atau kuliah di luar negeri. Penghilangan massal, yang mulai tahun lalu, adalah bagian dari usaha besar-besaran oleh pihak berwenang China untuk menggunakan penahanan dan pengintaian berbasis data untuk memberlakukan pengawasan polisi digital di daerah Xinjiang dan penduduknya etnis Uighur, yakni minoritas Muslim berbahasa Turki yang berjumlah 10 juta orang, yang kata China telah dipengaruhi oleh ekstrimisme Islam. [gp]