China Hadapi Dilema Politik Akibat Protes di Hong Kong

Ribuan demonstran pro-demokrasi berkumpul di distrik Mongkok di Hong Kong (29/9). (AP/Vincent Yu)

Kepemimpinan Beijing yang semakin keras, sepertinya tidak akan setuju dengan reformasi politik di Hong Kong, namun juga tidak ingin ada pertumpahan darah.

Protes-protes pro-demokrasi di Hong Kong telah membawa dilema politik yang rumit bagi pemimpin China.

Beijing tidak dapat bertindak terlalu keras terhadap wilayah semi-otonom di mana media yang bebas menjamin perhatian masyarakat global, namun negara komunis itu bertekad mengakhiri demonstrasi-demonstrasi secara cepat agar tidak memberi semangat pada pembangkang, separatis dan pemrotes anti-pemerintah di mana saja di China.

Para demonstran menuntut suara yang lebih besar dalam memilih pemimpin pusat finansial tersebut, atau kepala eksekutif, membangkang upaya-upaya selama akhir pekan oleh polisi anti-huru-hara untuk mengakhiri pendudukan di jalan dengan gas air mata dan semprotan air merica, dan pada Senin (29/9) bergerak meluas ke lebih banyak daerah di Hong Kong dalam bentrokan yang menegangkan.

"Pihak berwenang di China tidak ingin hal itu menyebar ke daratan utama," ujar sejarawan dan analis politik di Beijing, Zhang Lifan.

"Aksi ini telah memberi tekanan besar pada Beijing, yang sangat khawatir dengan efek domino."

Kepemimpinan Beijing yang semakin keras, yang telah mengekang pembangkangan dan semua seruan untuk demokrasi yang lebih besar pada 1,5 tahun terakhir, sepertinya tidak akan setuju dengan pembahasan apapun mengenai reformasi politik di Hong Kong. Namun mereka juga tidak ingin ada pertumpahan darah.

Namun pemerintah China akan menggunakan kekuatan, sebanyak mungkin yang dianggap perlu, untuk menjamin stabilitas, menurut Zhang.

"Bagaimanapun juga, mereka yakin kekuatan politik tumbuh dari senjata, bukan dari pemilihan umum. Mereka akan kembali pada hukum alam yang sederhana itu," ujarnya.

Sebuah artikel opini yang muncul sebentar di situs berita koran China nasionalistik Global Times menyarankan pemerintah di Beijing mengirim polisi militer, bagian dari pasukan keamanan China, untuk membantu "membungkam kekacauan. Editorial tersebut kemudian dihapus.

Di Hong Kong, kepala eksekutif Leung Chun-ying yang didukung Beijing menyangkal apa yang ia sebut "kabar burung" bahwa militer China akan ikut campur.

Sejauh ini, situasi belum mencapai titik yang memerlukan pasukan, ujar Steve Tsang, peneliti senior di Lembaga Kebijakan China di University of Nottingham, Inggris. Bahkan keputusan dari pemerintah wilayah Hong Kong untuk menggunakan polisi anti-huru-hara berlaku terlalu jauh, membuat demonstrasi yang masih berjalan damai ada dalam lintasan berbahaya, ujar Tsang.

"Jika pihak berwenang mengubah taktik, kembali ke metode kebijakan tradisional, menarik polisi anti-huru-hara dan berbicara dengan masyarakat, demonstrasi akan kembali di daerah yang jelas," ujarnya.

Beijing akan menggunakan kekuatan jika diperlukan untuk membubarkan kerumunan dan menggunakan militer hanya sebagai jalan terakhir, ujar Willy Lam, analis di Chinese University of Hong Kong. (AP)