China Kurangi Masalah Laut China Selatan dengan Berikan Bantuan

Salah satu pulau yang tak berpenghuni di kawasan kepulauan Spratly yang disengketakan banyak pihak di Laut China Selatan, dilihat dari udara, 21 April 2017. (Foto: dok)

China menenangkan sengketa kedaulatan maritim paling besar di Asia dalam tahun 2017 dengan menawarkan bantuan, investasi dan janji perundingan dengan negara-negara Asia tenggara yang lemah sementara saingan utama Beijing, Amerika Serikat, tetap diam.

Pergeseran dalam sengketa kedaulatan Laut China Selatan ini yang melibatkan enam negara itu memungkinkan Beijing memperkecil kecaman terbuka mengenai klaimnya atas kira-kira 90 persen wilayah laut dari pantai selatannya hingga Kalimantan. Ketenangan tersebut kemudian menurunkan risiko konflik.

“Departemen Luar Negeri Amerika, Pentagon, ketika memandang Asia mereka cenderung berpikir bahwa kawasan itu damai, karena kami menemukan cara untuk berkomunikasi, walaupun ada perselisihan dan menerima perselisihan itu sebagaimana adanya,” kata Alan Chong, profesor di perguruan tinggi Pengkajian Internasional S. Rajaratnam di Singapura.

Brunai, Malaysia, Filipina, Taiwan dan Vietnam mengklaim kedaulatan atas seluruh atau sebagian laut seluas 3,5 juta kilometer persegi itu. Negara-negara tersebut menganggap sangat penting laut tropis itu dengan kira-kira 500 pulau kecilnya bagi perikanan, jalur pelayaran dan cadangan bahan bakar fosil.

China menyebut bukti sejarah perikanan untuk mendukung klaimnya. Sejak tahun 2010 negara yang lebih unggul dalam teknologi itu telah menimbulkan kemarahan negara-negara tetangganya karena mereklamasi pulau-pulau kecil untuk penempatan sarana militer. Dalam tahun 2016, mahkamah arbitrasi dunia memutuskan, atas permohonan Filipina, untuk menolak dasar hukum klaim maritim China. [gp]