Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN), yang beranggotakan 10 negara, bertemu dengan Perdana Menteri China Li Qiang, menyusul konfrontasi keras baru-baru ini antara China dan dua anggota ASEAN, Filipina dan Vietnam, di tengah laut, yang meningkatkan keresahan atas tindakan China yang semakin agresif di perairan tersebut.
Perdana Menteri Malaysia Anwar Ibrahim, yang akan mengambil alih kepemimpinan bergilir ASEAN tahun depan, mengatakan bloknya telah menyerukan penyelesaian awal masalah kode etik untuk mengatur Laut China Selatan. Perundingan mengenai kode etik itu sudah berlangsung selama bertahun-tahun, terhambat oleh berbagai isu pelik, termasuk ketidaksepakatan tentang perlu-tidaknya perjanjian tersebut bersifat mengikat.
ASEAN menegaskan kembali perlunya menjaga perdamaian dan keamanan di luar jalur perairan strategis tersebut, ungkap Ibrahim, menurut kantor berita nasional Malaysia Bernama.
Namun, Li mengatakan bahwa campur tangan asing menciptakan konflik di kawasan. “Kita harus menyadari bahwa pembangunan kita juga menghadapi beberapa faktor yang tidak stabil dan tidak pasti. Terutama kekuatan eksternal yang sering kali ikut campur dan bahkan mencoba menanamkan konfrontasi blok dan konflik geopolitik ke Asia,” kata Li, dalam pertemuan ASEAN dengan China, Jepang dan Korea Selatan.
Ia menyerukan lebih banyak dialog antarnegara untuk memastikan sengketa dapat diselesaikan secara damai. Li tidak menyebut kekuatan asing yang dimaksud, akan tetapi China sebelumnya telah memperingatkan AS agar tidak ikut campur dalam sengketa wilayah di kawasan tersebut.
Menteri Luar Negeri AS Antony Blinken, yang tiba di Vientiane, Laos, pada Kamis untuk menghadiri KTT, diperkirakan akan mengangkat masalah agresi China di lautan, kata sejumlah pejabat. Amerika Serikat tidak memiliki klaim, tapi telah mengerahkan kapal Angkatan Laut dan jet tempur untuk berpatroli di jalur perairan tersebut, dan mempromosikan kebebasan navigasi dan penerbangan.
Vietnam, Filipina, Malaysia dan Brunei, yang merupakan negara-negara anggota ASEAN, bersama Taiwan memiliki klaim yang tumpang tindih dengan China, yang mengklaim kedaulatan atas hampir seluruh wilayah Laut China Selatan.
Kapal-kapal China dan Filipina sudah bentrok berulang kali tahun ini, sementara Vietnam mengatakan minggu lalu bahwa pasukan China menyerang nelayannya di laut yang disengketakan itu. China juga telah mengirim kapal patroli ke wilayah-wilayah yang diklaim Indonesia dan Malaysia sebagai zona ekonomi eksklusif.
Presiden Filipina Ferdinand Marcos Jr. menjelaskan kepada Li dalam pertemuan hari Kamis bahwa kerja sama ASEAN-China tidak dapat dipisahkan dari sengketa laut itu, menurut seorang pejabat ASEAN yang menolak disebutkan namanya karena sensitivitas diskusi tersebut.
Li menjawab dengan mengatakan bahwa Laut China Selatan adalah “rumah bersama” dan bahwa China memiliki kewajiban untuk melindungi kedaulatannya, kata pejabat itu. Filipina, sekutu lama AS, telah mengkritik negara-negara ASEAN lainnya, karena tidak berbuat lebih untuk mendorong mundur China.
Selain masalah keamanan regional, Li juga menekankan kerja sama ekonomi Beijing dan ASEAN. Ia mengatakan, peningkatan hubungan dagang dan penciptaan “pasar berskala sangat besar” merupakan kunci kemakmuran ekonomi di tengah meningkatnya proteksionisme perdagangan.
ASEAN dan China mengatakan, mereka berharap dapat menyelesaikan negosiasi untuk meningkatkan perjanjian perdagangan bebas mereka tahun depan. Sejak kedua pihak menandatangani kesepakatan pada tahun 2010 untuk pasar berpenduduk 2 miliar orang itu, perdagangan ASEAN dengan China telah melonjak dari $235,5 miliar (sekitar Rp3.687 triliun) menjadi $696,7 miliar (sekitar Rp10.908 triliun) tahun lalu.
China merupakan mitra dagang nomor satu ASEAN, sekaligus sumber investasi terbesar ketiga kawasan itu, yang menjadi alasan utama mengapa blok tersebut enggan mengkritik tindakan China di Laut China Selatan. [rd/ab]