Menlu AS, Hillary Clinton mendukung persatuan ASEAN dalam mewujudkan Code of Conduct (pedoman perilaku) bagi penyelesaian sengketa wilayah Laut Cina Selatan.
Amerika Serikat memiliki kepentingan nasional untuk mempertahankan stabilitas dan kebebasan pelayaran di wilayah Laut Cina Selatan, oleh karena itu Menteri Luar Negeri AS, Hillary Clinton mendukung sentralitas dan persatuan ASEAN dalam mewujudkan Code of Conduct (pedoman perilaku) guna penyelesaian sengketa wilayah yang melibatkan sejumlah negara anggota ASEAN dengan Tiongkok.
Dalam pernyataan kepada wartawan, Sekretaris Jenderal ASEAN. Dr. Surin Pitsuwan mengatakan sejumlah isu penting yang dibicarakan saat menerima kunjungan Menteri Luar Negeri AS, Hillary Clinton yang berkunjung untuk kedua kalinya, di Kantor Sekretariat ASEAN di Jakarta, Selasa (4/9).
Surin Pitsuwan mengatakan, “Ia menjanjikan banyak hal, yang pertama adalah untuk terlibat dengan kawasan Asia Tenggara, setelah lama tidak hadir disini. Amerika Serikat juga akan terlibat lebih banyak dalam perjanjian, hubungan persahabatan dan kerjasama dengan negara-negara ASEAN dan akan bergabung dalam forum KTT Asia Timur dan akan mendukung sentralitas dan persatuan ASEAN.”
Dalam lima hingga sepuluh tahun terakhir ini, menurut Surin, negara-negara di kawasan ASEAN menjadi lebih penting karena telah menjadi mesin pertumbuhan ekonomi global, namun mengenai adanya ketegangan yang terjadi diantara sejumlah negara ASEAN seperti Filipina, Vietnam, Malaysia dan Brunei dan juga Tiongkok serta Taiwan yang terlibat dalam sengketa wilayah di Laut Cina Selatan, Ia mengatakan apa yang telah disampaikan oleh Hillary dalam pertemuan itu.
“Dia (Menlu Hillary), telah menekankan bahwa sentralitas akan datang dengan persatuan. Persatuan ini dapat mengatasi masalah yang dihadapi mulai dari persoalan ketidaksetaraan ekonomi diantara kita dan masalah kesenjangan antara kita dan negara-negara anggota ASEAN, dan juga dalam menangani masalah yang sulit dan isu-isu yang menantang seperti halnya upaya untuk mewujudkan Code of Conduct (Pedoman Perilaku) di Laut Cina Selatan,” tambah Surin.
Menteri Luar Negeri AS, Hillary Clinton dalam kunjungan kali ini, sebelumnya telah berbicara dengan Menteri Luar Negeri Indonesia Marty Natalegawa dan mengatakan Amerika memiliki kepentingan nasional dalam mempertahankan stabilitas di Laut Cina Selatan. Hillary juga menghimbau ASEAN dan Tiongkok agar menyepakati sebuah pedoman perilaku (code of conduct) guna menyelesaikan sengketa ini.
Surin Pitsuwan lebih jauh mengatakan bahwa tahun ini adalah peringatan 10 tahun deklarasi Code of Conduct. Momentum ini akan digunakan untuk mewujudkan pedoman perilaku yang disepakati, memiliki ikatan hukum dan dapat diterima secara universal oleh semua pihak yang berkepentingan.
Sementara itu pengamat Hubungan Internasional dari Universitas Indonesia, Andi Wijayanto menilai Amerika Serikat pada dasarnya menginginkan status quo, dimana tidak ada satu negara yang bisa mengklaim Laut Cina Selatan sebagai bagian dari teritorialnya dan menggunakan kekuatan militer untuk menutup wilayah itu yang berakibat dapat mengganggu akses transportasi niaga dan energi dari Selat Malaka ke Asia Timur dan Pasifik.
“Amerika Serikat menginginkan supaya negara-negara ASEAN ini berada dalam satu posisi untuk mendesakkan agar ada Code of Conduct (Pedoman Perilaku). Saya rasa hal ini secara realistis sulit untuk dicapai, karena DOC (Declaration of Conduct)-nya sendiri bersifat legal binding (memiliki ikatan hukum) akan mendapat tentangan dari Tiongkok yang tidak menginginkan multilateralisme (kerjasama banyak negara) dalam penyelesaian kasus Laut Cina Selatan dan tetap menginginkan kalau harus dilakukan delimitasi (penetapan batas) territorial. dilakukan secara bilateral, sementara posisi Indonesia, posisi ASEAN adalah melalui kerangka regional yaitu kerangka ASEAN,” demikian menurut Andi Wijayanto.
Dalam pernyataan kepada wartawan, Sekretaris Jenderal ASEAN. Dr. Surin Pitsuwan mengatakan sejumlah isu penting yang dibicarakan saat menerima kunjungan Menteri Luar Negeri AS, Hillary Clinton yang berkunjung untuk kedua kalinya, di Kantor Sekretariat ASEAN di Jakarta, Selasa (4/9).
Surin Pitsuwan mengatakan, “Ia menjanjikan banyak hal, yang pertama adalah untuk terlibat dengan kawasan Asia Tenggara, setelah lama tidak hadir disini. Amerika Serikat juga akan terlibat lebih banyak dalam perjanjian, hubungan persahabatan dan kerjasama dengan negara-negara ASEAN dan akan bergabung dalam forum KTT Asia Timur dan akan mendukung sentralitas dan persatuan ASEAN.”
Dalam lima hingga sepuluh tahun terakhir ini, menurut Surin, negara-negara di kawasan ASEAN menjadi lebih penting karena telah menjadi mesin pertumbuhan ekonomi global, namun mengenai adanya ketegangan yang terjadi diantara sejumlah negara ASEAN seperti Filipina, Vietnam, Malaysia dan Brunei dan juga Tiongkok serta Taiwan yang terlibat dalam sengketa wilayah di Laut Cina Selatan, Ia mengatakan apa yang telah disampaikan oleh Hillary dalam pertemuan itu.
Menteri Luar Negeri AS, Hillary Clinton dalam kunjungan kali ini, sebelumnya telah berbicara dengan Menteri Luar Negeri Indonesia Marty Natalegawa dan mengatakan Amerika memiliki kepentingan nasional dalam mempertahankan stabilitas di Laut Cina Selatan. Hillary juga menghimbau ASEAN dan Tiongkok agar menyepakati sebuah pedoman perilaku (code of conduct) guna menyelesaikan sengketa ini.
Surin Pitsuwan lebih jauh mengatakan bahwa tahun ini adalah peringatan 10 tahun deklarasi Code of Conduct. Momentum ini akan digunakan untuk mewujudkan pedoman perilaku yang disepakati, memiliki ikatan hukum dan dapat diterima secara universal oleh semua pihak yang berkepentingan.
Sementara itu pengamat Hubungan Internasional dari Universitas Indonesia, Andi Wijayanto menilai Amerika Serikat pada dasarnya menginginkan status quo, dimana tidak ada satu negara yang bisa mengklaim Laut Cina Selatan sebagai bagian dari teritorialnya dan menggunakan kekuatan militer untuk menutup wilayah itu yang berakibat dapat mengganggu akses transportasi niaga dan energi dari Selat Malaka ke Asia Timur dan Pasifik.
“Amerika Serikat menginginkan supaya negara-negara ASEAN ini berada dalam satu posisi untuk mendesakkan agar ada Code of Conduct (Pedoman Perilaku). Saya rasa hal ini secara realistis sulit untuk dicapai, karena DOC (Declaration of Conduct)-nya sendiri bersifat legal binding (memiliki ikatan hukum) akan mendapat tentangan dari Tiongkok yang tidak menginginkan multilateralisme (kerjasama banyak negara) dalam penyelesaian kasus Laut Cina Selatan dan tetap menginginkan kalau harus dilakukan delimitasi (penetapan batas) territorial. dilakukan secara bilateral, sementara posisi Indonesia, posisi ASEAN adalah melalui kerangka regional yaitu kerangka ASEAN,” demikian menurut Andi Wijayanto.