Selama satu setengah tahun, Galina Artyomenko telah menggalang dana untuk membantu para pengungsi dari Ukraina setelah Kremlin mengirim pasukan tentara ke negara pro-Barat itu.
Namun pada Juli lalu, ia mendapati bahwa salah satu kartu banknya, serta kartu bank milik dua relawan lainnya telah diblokir. “Menurut bank tersebut, tujuan penggalangan dana yang kami lakukan ‘dipertanyakan’,” ujar perempuan berusia 58 tahun itu. Ia pun menegaskan bahwa ia dapat menjustifikasi setiap lembaran rubel yang digunakannya.
Setelah Presiden Rusia Vladimir Putin mengirim pasukan ke Ukraina tahun lalu, pihak berwenang Rusia memberlakukan tindakan tegas bagi mereka yang berbeda pendapat. Warga yang mengkritik serangan negara itu ke Ukraina akan menghadapi hukuman penjara yang lama.
Sama halnya dengan sukarelawan lainnya yang membantu pengungsi Ukraina, Artyomenko berhati-hati untuk tidak mengutarakan pendapatnya mengenai konflik yang tengah berlangsung itu, karena operasi kemanusiaan pun bisa dicurigai di Rusia.
Terlepas dari kendala tersebut, Artyomenko tetap mengumpulkan sumbangan secara daring dan menggunakan uangnya untuk membeli pakaian, obat-obatan, dan makanan bagi orang-orang yang terpaksa mengungsi ke Rusia atau wilayah yang dikuasai Rusia di Ukraina.
Ia secara rutin menyambut warga Ukraina yang tiba dengan kereta api di Saint Petersburg, lalu membantu mereka mendapatkan akomodasi, bekerja, atau mengatur perjalanan selanjutnya dari Rusia ke Uni Eropa.
Memilih Bungkam
“Faktanya, ribuan orang membantu (warga Ukraina yang terpaksa mengungsi ke Rusia). Namun, karena khawatir akan keamanan mereka sendiri dan keselamatan orang yang mereka bantu, mereka tidak membicarakannya. Tidak ada undang-undang (di Rusia) yang melarang Anda membantu orang yang tertimpa musibah. Tidak ada undang-undang yang (membolehkan Anda) melanggar firman Tuhan untuk 'jangan membunuh’. Tidak ada undang-undang yang melarang Anda memberikan bantuan kepada mereka yang ditinggal sendirian,” ungkap Artyomenko.
Banyak sukarelawan menolak untuk bicara soal serangan Rusia ke Ukraina maupun bantuan mereka kepada pengungsi. Mereka takut hal itu akan mengundang perhatian pihak berwenang, yang rutin menangkap orang-orang yang dituduh bekerja sama dengan Ukraina atau “mendiskreditkan” tentara Rusia.
Your browser doesn’t support HTML5
Lyudmila (43 tahun) yang tidak ingin disebutkan nama belakangnya, mengatakan para sukarelawan tersebut adalah “pasifis”, alias mereka yang menentang adanya perang atau kekerasan. Mereka tidak dapat secara terbuka mengungkapkan posisi mereka dalam isu itu, dan mereka memilih untuk membantu para korban perang demi menenangkan hati.
“Kami tidak bisa berpangku tangan. Kami harus membantu mereka yang menderita dan kondisinya lebih buruk dari kami,” kata Lyudmila.
Artyomenko juga menambahkan, “Ini adalah satu-satunya cara yang tersisa bagi kami agar tetap selamat. Hanya ini yang masih bisa kami lakukan.”
“Saya Hanya Ingin Perdamaian”
Jaringan-jaringan solidaritas yang membantu pengungsi, seperti yang melibatkan Artyomenko, telah beroperasi di Rusia sejak dimulainya perang negara itu dengan Ukraina pada tahun 2022.
Baru-baru ini, Artyomenko membeli dan mengantarkan beberapa produk rumah tangga ke gudang bantuan kemanusiaan untuk para pengungsi Ukraina. Sepatu, pakaian, produk makanan, dan perlengkapan rumah tangga lainnya terlihat tersimpan di rak kayu di tempat penampungan yang dikunjungi hingga sepuluh keluarga setiap harinya itu.
Artyomenko juga membeli kacamata untuk seorang perempuan dari kota Bakhmut, Ukraina timur, yang direbut Rusia pada musim semi lalu.
Mayak.fund adalah salah satu badan amal yang paling terkenal di Moskow. Badan itu menampung hingga 50 orang setiap harinya, menurut salah satu relawan, Yulia Makeyeva.
Makeyeva, bersama anak-anaknya yang masih berusia tujuh dan tiga tahun, meninggalkan kota Kupyansk di timur laut Ukraina hampir setahun yang lalu. Makeyeva mengungkapkan rasa pilunya saat melihat penderitaan para pengungsi. Saat wartawan kantor berita AFP mengunjunginya, ia mulai terisak ketika menceritakan kisah bagaimana para pengungsi bertahan hidup saat Ukraina diserang.
“Ketika kami berbicara dengan para pengungsi dan mendengar cerita mereka, hal tersulit bagi saya adalah menjaga diri agar tidak emosional, karena jika tidak, saya tidak akan bisa bekerja, bahkan tidak bisa berbuat apa-apa. Saya hanya akan duduk dan menangis,” ujarnya.
Kupyansk dan daerah sekitarnya di wilayah Kharkiv direbut kembali oleh Ukraina pada bulan September lalu, setelah enam bulan berada di tangan Rusia. Namun, Rusia kini mulai melakukan perlawanan.
“Saya hanya ingin perdamaian,” kata Makeyeva.
Jutaan Pengungsi Berada di Rusia
Menurut PBB, per Desember 2022, hampir 1,3 juta pengungsi dari Ukraina tercatat berada di Rusia. Rusia sendiri memperkirakan jumlah pengungsi mencapai lebih dari lima juta orang, angka yang diperdebatkan oleh lembaga-lembaga swadaya masyarakat.
Sebagian dari mereka sedang transit, khususnya di bagian barat laut Rusia yang berbatasan dengan Uni Eropa. Beberapa lainnya mengatakan mereka ingin tinggal di Rusia.
Pemerintah Ukraina menuduh Kremlin mendeportasi warga Ukraina ke Rusia dan memaksa mereka untuk berganti kewarganegaraan.
Pada bulan Maret lalu, Mahkamah Pidana Internasional mengeluarkan surat perintah penangkapan terhadap Presiden Rusia Vladimir Putin dan Komisioner Rusia untuk Hak Anak-anak Maria Lvova-Belova atas kasus deportasi anak-anak Ukraina yang “tidak sah secara hukum”.
Rusia membantah tuduhan tersebut dan bersikeras bahwa warga Ukraina datang secara sukarela atau dievakuasi ke tempat yang aman. [br/ab]