Peniadaan Ujian Nasional (Unas) bagi pelajar sekolah menengah atas (SMA) dan Ujian Kompetensi Keahlian (UKK) bagi sekolah menengah kejuruan (SMK) tahun ini menimbulkan perdebatan di kalangan siswa.
Sebagian sepakat ujian nasional tidak diselenggarakan karena perebakan virus corona. Namun, tidak sedikit yang mengaku kecewa karena telah mempersiapkan diri secara maksimal untuk menghadapi ujian, yang merupakan tolok ukur kemampuan diri.
Salah satu pelajar yang kecewa dengan penghapusan UKK adalah Klaudius Serko Jao, siswa SMK Katolik Mater Amabilis.
Bagi pelajar SMK yang tinggal di asrama Panti Asuhan Benih Kasih Surabaya itu, UKK sangat penting untuk menentukan keahliannya di bidang tata boga. Meski sempat mengikuti Unas untuk SMK, tetapi kesiapan diri dan bahan-bahan praktik yang telah dipersiapkan menjadi tidak berguna setelah UKK ditiadakan karena pandemi corona.
Klaudius pun terpaksa menyimpan peralatan ujian praktik yang sudah disiapkan dan kemungkinan dipakai oleh adik kelasnya nanti.
"Saya merasa kenapa sih harus diberhentikan sementara. Belum dapat sertifikat dari perusahaan-perusahaan. Cuma itu saja yang agak nyesak di hati," ungkap Klaudius Serko Jao.
BACA JUGA: Mendikbud: Kampus di Daerah Terpencil Diuntungkan dengan Konsep Merdeka BelajarHal yang sama dirasakan Yohanes Patrio, anak asrama Panti Asuhan Benih Kasih Surabaya asal Nusa Tenggara Timur. Siswa kelas XII SMK Katolik St. Louis Surabaya ini harus bersabar menanti kesempatan bekerja usai lulus nanti. Pasalnya,perusahaan-perusahaan mitra kerja sekolahnya ikut terdampak ekonomi akibat virus corona. Ujian praktik di bidang elektronika sebagai ujian akhir sekolahnya, juga ditiadakan.
“Setelah lulus ini, kebetulan sekarang ini kondisinya tidak mendukung. Seharusnya ini sudah mulai kerja sih seharusnya, cuma karena virus ini banyak perusahaan yang menunda (menerima karyawan baru), tunggu nanti melihat setelah ini (pandemi corona)," ujar Yohanes Patrio.
Menilik pengalaman kakak-kakak kelasnya, ujar Yohanes, sekolah membantu merekomendasikan para siswa untuk bekerja di perusahaan mitra.
Keterbatasan Sarana Teknologi dan Biaya Internet
Belajar mandiri di rumah juga menjadi dampak lain perebakan virus corona pada sektor pendidikan. Para siswa harus belajar mandiri di rumah, tetapi terhubung melalui daring untuk penyampaian materi maupun tugas dari guru.
BACA JUGA: Hardiknas: Belajar di Rumah, Berdamai dengan Tekonologi di Tengah PandemiBagi Marthon Jaques, siswa kelas X SMK Katolik St. Louis Surabaya, belajar di sekolah lebih terasa nyaman dan mudah dibandingkan dengan belajar di rumah. Marthon juga merindukan interaksi bersama teman-temannya di sekolah.
"Kalau sekolah itu ada teman-temannya, bisa bermain. Ada jam kosongnya, kalau ini (belajar di rumah) kan tugasnya banyak, semua mata pelajaran disuruh kerjakan soal-soal yang diberikan. Pokoknya enak sekolah daripada libur, tapi kalau pas sekolah itu inginnya libur, itulah anehnya,” ucap Marthon Jaques.
Your browser doesn’t support HTML5
Namun kesulitan belajar dirasakan oleh sebagian anak lainnya karena keterbatasan sarana teknologi maupun biaya paket data internet, untuk mengikuti pembelajaran daring dari rumah. Selain itu, kemampuan anak tidak sama dalam menguasai perangkat teknologi, sehingga dibutuhkan pendampingan langsung.
Bruder Bernardinus Raja Naja, CSA, salah satu pendamping Panti Asuhan Benih Kasih, mengaku harus bekerja keras dalam mendampingi proses belajar mandiri sekitar 25 anak yang ada di asrama.
“Setelah adanya daring ini malah lebih ribet dibanding kalau mereka sekolah. Ya, pendampingnya juga ribet, anaknya juga ribet. Jadi ya sama-sama berusaha mengerjakan. Ya memang tidak mudah dengan IT seperti ini," ujar Bruder Bernardus.
Yang menjadi tantangan baginya adalah menjelaskan kepada anak-anak di asrama bahwa situasi yang dihadapi bukan kemauan guru atau pemerintah yang seenaknya.
"Ini soal taruhan nyawa. Kamu mau sekolah setiap hari tapi tidak bertahan kena ini, ya mati cepat, bagaimana?. Kalau begini kita bisa belajar sekaligus kamu juga memahami dunia IT," tutur Bruder Bernadinus, CSA.
Masyarakat Indonesia Belum Siap
Sosiolog, yang juga pengajar di Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Ampel Surabaya, Anis Farida, mengatakan bahwa masyarakat Indonesia belum siap menghadapi model pembelajaran menggunakan teknologi yang tidak mempertemukan guru dan murid secara langsung.
Pemerintah secara khusus mesti memperhatikan banyak kendala yang muncul di masyarakat, dalam hal kemampuan ekonomi masyarakat menghadirkan perangkat teknologi untuk pembelajaran tanpa tatap muka.
Bagi sebagian masyarakat yang mampu, belajar secar online di rumah tidak menjadi masalah. Namun, hal itu tentunya memberatkan untuk pelajar dari keluarga kurang mampu.
"Kemudian fasilitasnya tidak memadai, maka bagi mereka hal tersebut sangat memberatkan. Ini kita masih bicara dalam konteks Jawa, belum konteks luar Jawa yang pedalaman,” papar Anis Farida.
BACA JUGA: Siswa AS Belajar Secara 'Online' Selama Karantina WilayahAnis menambahkan, perbedaan latar belakang pendidikan dan psikologis orang tua, yang tidak sama dalam mendampingi anak belajar di rumah, menjadi kendala dalam penyampaian materi kepada anak-anak.
"Bagaimana kemudian tiba-tiba dipaksa untuk memhami sebuah materi dan kemudian mengajarkan kepada anak-anaknya, dan mereka tidak punya background pendidikan yang cukup untuk hal tersebut," ujar Anis.
Selain itu kondisi emosi orang tua selama mendampingi anak juga menjadi kendala, kata Anis.
"Tidak telaten yang kemudian marah-marah. Ini kan potensi terjadi kekerasan psikis kepada anak yang bahaya menurut saya dalam jangka panjang,” pungkasnya.
Pemerintah, menurutnya, harus segera mencari solusi pembelajaran yang baik, tetapi tidak menyulitkan siswa maupun orang tua, sampai pandemi corona ini berakhir. [pr/em/ft]