Dwikorita Karnawati, Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG), mengatakan curah hujan bulanan berpotensi meningkat 40 persen di atas normal pada Oktober-November di hampir semua wilayah Indonesia, kecuali Sumatera. Hal itu seiring dengan adanya fenomena La Nina di Samudera Pasifik Ekuator yang terdeteksi pada awal Oktober 2020.
Dwikorita menjelaskan bahwa dari hasil pengamatan suhu muka air laut di Samudera Pasifik selama dua bulan, fenomena La Nina tahun mulai terjadi dan diprediksi pada level moderat.
La Nina adalah anomali pada suhu muka air laut di Samudera Pasifik yang berakibat aliran udara basah yang kuat dari arah Samudera Pasifik bagian tengah ekuator menuju kepulauan Indonesia.
“Karena ini ketahuannya sudah Oktober baik dideteksi oleh Amerika (NOAA), Jepang (JMA), Australia (BoM) dan Indonesia (BMKG), maka kami mengajak bapak-ibu semua untuk bersiap karena ini sudah di depan mata kita,” kata Dwikorita dalam rapat koordinasi nasional “Antisipasi Bencana Hidrometeorologi dan Gempa bumi-Tsunami untuk Mewujudkan Zero Victim" pada Rabu (7/10).
Peningkatan curah hujan yang tinggi itu dikhawatirkan akan menyebabkan bencana hidrometeorologi, seperti tanah longsor dan banjir, sehingga semua pihak perlu segera melakukan langkah-langkah mitigasi untuk mengurangi risiko bencana agar tidak ada korban jiwa.
Bencana hidrometeorologi adalah bencana yang disebabkan fenomena cuaca. Selain banjir dan tanah longsor, bencana hidrometeorologi lainnya adalah angin kencang, hujan es, dan angin puting beliung.
Para pemangku kepentingan diharapkan mengoptimalkan pengelolaan tata air terintegrasi dari hulu hingga hilir. Misalnya dengan penyiapan kapasitas sungai dan kanal untuk antisipasi debit air yang berlebih.
Lilik Kurniawan, Deputi Bidang Pencegahan Badan Nasional Penanggulangan Bencana Alam (BNPB) berharap informasi itu segera disampaikan kepada masyarakat yang tinggal di daerah rawan bencana untuk mempersiapkan langkah-langkah pengurangan risiko bencana.
“Itu dimulai dari mereka merencanakan jalur-jalur evakuasi yang ada di daerahnya yang ada di rumahnya sehingga zero victim benar-benar bisa kita capai,” jelas Lilik Kurniawan.
BNPB, imbuh Lilik, sudah menyediakan katalog daerah-daerah rawan bencana yang detail hingga ke level desa yang bisa diunduh melalui situs bnpb.go.id. Katalog itu berisi informasi kerawanan sedang dan tinggi terhadap ancaman banjir bandang, longsor, gempa bumi, tsunami, kekeringan, kebakaran hutan dan lahan sampai ke level desa.
Mengutip analisis InaRISK (portal risiko bencana) yang diunggah di situs BNPB, Indonesia memiliki potensi risiko sedang hingga tinggi untuk bahaya banjir. Sebanyak 100 juta orang di berbagai provinsi di Indonesia terpapar bahaya banjir, sedangkan luas wilayah yang berpotensi terdampak banjir mencapai hampir 20 juta hektar.
Untuk bahaya longsor, sebanyak 14 juta penduduk Indonesia berpotensi terpapar bahaya longsor dengan luas wilayah berisiko mencapai 57 juta hektar di 33 provinsi.
Bambang Hendroyono, Sekretaris Jenderal Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, menjelaskan 90 persen kejadian bencana alam di Indonesia periode 2011 hingga 2020 adalah bencana hidrometeorologi berupa banjir, tanah longsor, kebakaran hutan, kekeringan, dan puting beliung. Dari jumlah 20.042 peristiwa bencana alam sepanjang periode itu, angka terbanyak adalah bencana banjir sebanyak 32 persen, longsor 25 persen, dan puting beliung sebanyak 30 persen.
Daerah Bersiap Hadapi Curah Hujan Tinggi
Potensi curah hujan tinggi akibat La Nina membuat wilayah rawan bencana seperti Kabupaten Sigi di Sulawesi Tengah semakin waspada dengan ancaman bencana tanah longsor dan banjir bandang.
Asrul Repadjori, Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah, mengatakan sejak Mei 2020 wilayah tersebut sudah mengalami curah hujan tinggi yang memicu tanah longsor dan banjir bandang di sejumlah tempat. Antara lain di Desa Rogo, Oloboju, Sidera, dan Kulawi Selatan.
BACA JUGA: Banjir Bandang di Luwu Utara, Sulawesi Selatan, 10 Tewas, 46 Hilang“Upaya yang dilakukan oleh pemerintah daerah, khususnya masyarakat yang tinggal di bantaran sungai mengingatkan dan menginformasi melalui pemerintah desa dan kecamatan untuk tetap waspada,” jelas Asrul Repadjori ketika dihubungi Minggu (11/10).
Terakhir kali banjir bandang terjadi di Desa Rogo pada 14 September 2020 yang menyebabkan 70 rumah terendam lumpur setinggi pinggang orang dewasa dan 200 jiwa terpaksa mengungsi.
Your browser doesn’t support HTML5
Dia menerangkan pemerintah setempat telah memiliki rencana penanggulangan kedaruratan bencana alam yang melibatkan berbagai pemangku kepentingan. Selain itu juga dilakukan edukasi pengurangan risiko bencana kepada masyarakat melalui program penguatan desa tangguh bencana.
Gempa bumi pada 28 September 2018 silam mengubah bentang alam yang menyebabkan 15 desa di wilayah itu rawan bencana banjir bandang dan longsor pada musim penghujan. Ancaman terutama datang dari tumpukan pasir, kerikil serta bebatuan dari rekahan gunung yang terbelah karena longsor saat gempa bumi. [yl/ft]