Dampak Trauma Besar Seperti 9/11 pada Psikologi Warga AS

Asap mengepul dari Menara Kembar World Trade Center yang terbakar pada 11 September 2001.

Delapan belas tahun yang lalu, lebih dari 60 persen orang Amerika menyaksikan serangan teror terburuk yang pernah terjadi di Amerika Serikat melalui televisi baik pada saat kejadian maupun dalam siaran ulangan.

Pemandangan pembunuhan secara dekat terhadap hampir 3.000 orang itu menyentak warga Amerika dari rasa aman yang mereka nikmati setidaknya sejak Perang Dunia II.

"Saya kira sampai saat itu, mungkin orang lebih optimis atau merasa hal itu tidak bisa terjadi di sini. Serangan teroris adalah sesuatu yang terjadi di luar negeri, tetapi tidak di Amerika di negara kita," kata Roxane Cohen Silver , profesor ilmu psikologi di University of California, Irvine. "Konsep setiap hari takut akan kekerasan bukan bagian dari keberadaan sebagian besar orang di Amerika."

Seorang pengunjung menyentuh salah satu granit di monumen peringatan serangan teror 11 September 2011 -- 9/11 Memorial Glade, di New York, 29 Agustus 2019.

Cohen Silver, yang mempelajari dampak trauma kolektif mengatakan beberapa individu yang tidak terkait langsung dengan serangan 9/11 menunjukkan gejala yang sebelumnya diasumsikan para ahli akibat terpapar langsung trauma.

"Orang-orang yang sering menonton televisi pada minggu pertama setelah 9/11 kemungkinan besar menunjukkan gejala stres pasca trauma dan penyakit kesehatan fisik bertahun-tahun kemudian," kata Cohen. Gejala-gejala tersebut sering termasuk kecemasan dan ketakutan, serta timbulnya penyakit kesehatan fisik seperti masalah kardiovaskular.

BACA JUGA: Senat AS Setujui Tunjangan untuk Korban Serangan Teror 9/11

"Kita mengetahui sejak 9/11 bahwa peristiwa berskala besar bisa berdampak pada orang di luar komunitas yang terkena dampak langsung, bahwa peristiwa yang terjadi di New York bisa berdampak pada orang di Kansas," kata Cohen Silver.

"Pesan kedua yang kita peroleh dari 9/11 adalah peran penting media dalam menyebarkan kesadaran dan potensi kecemasan itu."

Dalam 18 tahun sejak 9/11, maraknya media sosial dan telepon pintar menyebabkan peningkatan akses pada gambar-gambar kekerasan massal. Selain itu, tidak ada editor berita atau perantara lain untuk menyaring konten yang berpotensi mengganggu. Kecepatan memperoleh gambar-gambar ini juga meningkat.

Foto-foto beberapa korban serangan teror 9/11 atas gedung World Trade Center, Pentagon, dan Shanksville, Pa., dipamerkan di 9/11 Tribute Museum di New York, 8 Juni 2017.

Anak-anak muda Amerika yang lahir setelah 9/11 tumbuh di dunia di mana aksi kekerasan massal semakin umum terjadi. Lebih dari 230 penembakan di sekolah terjadi sejak 1999 ketika 13 orang tewas di Columbine High School dekat Denver.

Serangan-serangan massal terus terjadi di tempat-tempat yang dianggap orang Amerika aman, mulai dari serangan klub malam Orlando 2016 yang menewaskan 49 orang; penembakan konser Las Vegas 2017 di mana 58 orang tewas dan ratusan lainnya terluka sampai penembakan bulan lalu di Texas Walmart yang menewaskan 22 orang.

BACA JUGA: AS Peringati Tragedi Serangan Teror 11 September 2001

"Kita sangat terpengaruh dengan kejadian-kejadian baru, peristiwa terkini, angin topan, peristiwa kekerasan massal. Kejadian ini banyak terjadi dan semuanya tragis," kata Cohen Silver. "Tetapi dampak psikologis 11 September 2019, tidak bisa secara langsung dikaitkan dengan serangan 9/11 tanpa mempertimbangkan semua yang telah terjadi.

"Meskipun rata-rata orang Amerika tidak bisa mengendalikan kekerasan di sekitar mereka, mereka bisa melindungi kesehatan jiwa mereka dengan tidak membanjiri diri mereka dengan gambaran tragedi, yang secara psikologis bisa menjadi tidak sehat.

"Saya yakin orang bisa mendapat informasi tanpa larut dalam media itu. Tidak ada untungnya mengulang-ulang gambar dan suara tragedi," kata Cohen Silver.

"Jadi, begitu orang-orang mendapat informasi, saya sarankan untuk berhati-hati terhadap paparan besarnya perhatian dan paparan keterlibatan mereka pada media," tambahnya. [my/pp]