Data Tak Akurat, Bansos Tersendat

  • Yudha Satriawan

Wali kota Solo, Hadi Rudyatmo (berbatik merah putih, kedua dari kanan) memantau langsung penyerahan bantuan sosial tunai BST dan penerapan protokol kesahatan di Solo, Sabtu (22/8). (Foto: Courtesy/Pemkot Surakarta)

Pembagian bantuan sosial [bansos] saat ini dirasa berbelit karena ketidakakuratan data warga miskin dan maraknya korupsi.

Untuk mengatasi meluasnya krisis ekonomi akibat pandemi virus corona, pemerintah memberikan beragam bantuan sosial, antara lain uang tunai, kebutuhan pokok, pelatihan pra-kerja, subsidi energi listirk dan BBM, hingga bantuan khusus bagi usaha mikro, kecil, menengah (UMKM). Banyak pihak mengapresiasi langkah pemerintah, tetapi tidak sedikit yang mengkritisi distribusi bansos ini karena ketidakakuratan data dan maraknya korupsi.

Dr. Rissalwan Habdy Lubis, pengamat sosial dan kebijakan publik di Universitas Indonesia dalam diskusi daring bertema “75 Tahun NKRI: Sudah Sejahterakah Kita,” Kamis (20/8) mengatakan perlu ada integrasi data kependudukan dengan data penerima bantuan sosial. Ia juga mengusulkan penggantian sistem kartu ATM bagi warga miskin penerima bansos menjadi sistem biometrik.

Pengamat Sosial dari Ilmu Kesejahteraan Sosial Universitas Indonesia, Rissalwan Habdy, saat menjadi narasumber diksusi daring bertema Kesejahteraan Sosial, Kamis (20/8). (Foto: VOA/ Yudha Satriawan)

“Setiap warga miskin penerima bansos, misal e-Warong, kan menerima kartu ATM berisi uang yang dikirim ke rekening penerima bansos. Ini yang sering penerima itu lupa PIN ATM-nya, gagap teknologi. Sehingga menurut saya lebih baik diganti menjadi sistem biometrik, pengenalan wajah. Sistem kependudukan kita kan sudah ada NIK di KTP, tinggal diintegrasikan ke data penerima bansos. Saya di Tim Percepatan Penanggulangan Kemiskinan juga akan mendorong adanya server khusus yang bisa diakses berbagai lembaga."

Rissalwan mencontohkan sistem jaminan sosial di Amerika dan Australia yang selalu diperbarui datanya.

Anggota DPR RI komisi 8, Diah Pitaloka, saat menjadi narasumber diksusi daring bertema Kesejahteraan Sosial, Kamis (20/8).(Foto: VOA/ Yudha Satriawan)

Anggota Komisi 8 DPR RI, Diah Pitaloka, dalam kesempatan yang sama menyerukan agar pemberian bantuan sosial tidak bersifat seperti 'pemadam kebakaran,' terlebih karena berbagai kementerian memiliki data berbeda.

“Kalau bicara satu data kemiskinan, akan banyak sekali versinya. Apalagi di berbagai kementerian punya data versi sendiri-sendiri. Harusnya punya satu data yang akurat, updating, ada referensinya parameternya. Ini yang kita belum punya," katanya.

"Persoalan lama, ketimpangan atau kesenjangan sosial. Di setiap pemerintah punya program bantuan sosial, saya selalu kritik karena bansos itu sifatnya kayak pemadam kebakaran, buru-buru kalau ada persoalan, konsep pemadam kebakaran, minimal apinya padam dulu," tamah Diah.

BACA JUGA: 9 Juta UMKM Segera Dapat Bantuan Modal dari Pemerintah

Ia juga menggarisbawahi perlu segeranya diloloskan UU Perlindungan Sosial, yang selama ini masih dibahas di DPR. "Kita di DPR, salah satu yang sudah ada di program Legislasi Nasional yaitu membuat UU Perlindungan Nasional. Kita masih eksplore, semoga regulasi ini nanti bisa menjadi payung hukum terciptanya perlindungan sosial yang terintegratif dengan pemerintahan."

Wali kota Solo, Hadi Rudyatmo (batik merah putih, dua dari kanan) memantau langsung penyerahan bantuan sosial tunai BST dan penerapan protokol kesahatan di Solo, Sabtu (22/8). (Foto: Courtesy/Pemkot Surakarta)

Menurut data Badan Pusat Statistik, pada bulan Maret lalu saja – ketika pandemi virus corona baru bermula – terjadi kenaikan jumlah penduduk miskin sebanyak 1,63 juta orang, dibanding periode September 2019. Hal ini membuat jumlah penduduk miskin di Indonesia melesat menjadi 26,42 juta orang. [ys/em]