Ketika pandemi virus corona memaksa sekolah-sekolah tutup, terungkap kisah bagaimana jutaan rumah tangga di Indonesia ternyata masih belum memiliki akses ke internet atau bahkan perangkat seperti ponsel untuk dapat melakukan pembelajaran jarak jauh.
Kantor berita Reuters melaporkan, Selasa (15/9), Asosiasi Penyedia Layanan Internet Indonesia (APJII) menyebutkan hanya sekitar satu dari enam dari sekitar 60 juta rumah tangga di Indonesia yang memiliki koneksi internet pada pertengahan 2019.
Untuk mengatasi masalah tersebut, murid dan relawan akhirnya menemukan cara-cara kreatif. Selama dua bulan terakhir, Dimas Anwar Putra yang berusia 15 tahun, dan seorang temannya mengumpulkan sampah plastik di lingkungannya di sekitar Jakarta dengan imbalan akses wifi gratis.
Mereka tak memiliki akses internet di rumah. Untuk dapat memperoleh wifi gratis, kedua siswa tersebut harus mengumpulkan satu kg sampah plastik untuk ditukar dengan akses internet sehingga mereka dapat melakukan pembelajaran online selama sekitar tiga jam hingga tiga kali seminggu.
“Mengumpulkan sampah itu mirip seperti perbuatan amal buat saya dan selain itu kita juga dapat data internet gratis,” kata Dimas.
“Stasiun wifi” adalah gagasan dari Iing Solihin, yang menjual sampah yang dikumpulkan oleh siswa untuk membeli data seharga Rp 340 ribu per bulan sehingga memungkinkan sekelompok kecil siswa belajar.
“Masalahnya adalah saat data internet habis sebelum akhir bulan ... dan mereka tidak bisa belajar lagi,” kata Iing.
Jutaan siswa Indonesia terpaksa belajar dari jarak jauh sejak sekolah tutup pada Maret karena pandemi. Hal tersebut menjadi tantangan khusus bagi keluarga miskin dan mereka yang tinggal di daerah terpencil.
BACA JUGA: Mendikbud Ajukan Anggaran Kurikulum Hingga Rp 1 TriliunDi sebuah desa dekat Bogor, sekitar 80 km selatan Jakarta, relawan dengan membawa mobil yang dilengkapi pemancar jaringan seluler, pergi ke desa-desa terpencil setiap minggu. Langkah itu diharapkan dapat mempermudah siswa dalam menggunakan internet. “Relawan Sekolah” juga menyediakan laptop dan ponsel.
“Masalah belajar online adalah saya jarang menggunakan telepon, saya berbagi telepon dengan orang tua saya,” kata Dafa Mahesa Sudirman, 14 tahun, yang bersama dengan sekitar 30 siswa lainnya mengambil kesempatan untuk belajar online di sebuah gudang kayu di desa mereka. [ah]