Denny Indrayana: Indonesia Masih Mencari Sistem Demokrasi yang Pas

  • Nurhadi Sucahyo

Wamenkumham Denny Indrayana saat memberikan pidato pada pengukuhannya sebagai Guru Besar Hukum Tata Negara di UGM Yogyakarta (6/2).

Demikian dipaparkan Profesor Denny Indrayana, yang juga Wakil Menteri Hukum dan HAM, dalam pidato pengukuhannya sebagai Guru Besar Hukum Tata Negara di Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.

Indonesia masih mencari bentuk yang ideal atas sistem presidensial yang dianut. Banyak faktor yang menentukan, di antaranya kekuatan politik, masyarakat madani dan pers yang bebas.

Sistem presidensial yang diterapkan di Indonesia, bukanlah sistem yang telah jadi. Sistem ini terus dikembangkan seiring dengan berbagai gejolak politik yang terjadi. Selain itu, Indonesia juga menerima pengaruh dari sistem parlementer, karena Undang-Undang Dasar memungkinkan adanya hak angket oleh Dewan Perwakilan Rakyat yang bisa berujung pada pemakzulan atau impeachment.

Demikian dipaparkan Prof Denny Indrayana SH LLM Ph D, yang juga Wakil Menteri Hukum dan HAM, dalam pidato pengukuhannya sebagai Guru Besar Hukum Tata Negara di Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, hari Senin siang. Denny Indrayana menambahkan, dalam sistem apapun, setidaknya diperlukan tiga faktor penentu keberhasilan pemerintahan, yaitu kewenangan konstitusional yang memadai, dukungan politik mayoritas dan sistem kontrol yang efektif.

“Koalisi memang lebih merupakan ciri sistem parlementer, namun koalisi bukan berarti tidak dapat hadir dalam sistem presidensial. Karena sistem pemerintahan apapun, membutuhkan dukungan mayoritas anggota parlemen, untuk dapat memerintah secara efektif,” urai Denny Indrayana.

Advokat sekaligus pegiat hak asasi manusia, Dr Todung Mulya Lubis ketika dimintai tanggapan atas paparan Denny Indrayana menyatakan, yang tidak boleh dilupakan adalah selain kewenangan dan dukungan politis, sejatinya pemerintah juga membutuhkan pengawasan dari masyarakat.

Todung mengatakan, “Sistem presidensial yang dijelaskan oleh Denny Indrayana itu menarik karena dia bicara pada tataran politik praktis sekarang ini. Tidak mungkin tanpa dukungan koalisi partai-partai politik, tetapi dia juga mengatakan bahwa yang punya kuasa itu kan bukan hanya negara. Ada kuasa non-negara juga. Kuasa non-negara ini siapa saja, nah inilah ada media, ada civil society, ada lembaga-lembaga Ormas, mereka juga punya share dalam kekuasaan ini, dan melakukan pengawasan terhadap negara.”

Sementara itu, pakar hukum sekaligus advokat senior Prof Adnan Buyung Nasution menilai, bagaimanapun di Indonesia seorang presiden adalah pucuk pimpinan sekaligus harapan rakyat. Karena itu, Adnan Buyung berharap Presiden Susilo Bambang Yudhoyono lebih mampu menunjukkan peran itu, di tengah situasi bangsa yang dibebani banyak persoalan.

“Presiden di negara kita ini dalam sistem politik kita, presiden itu harus berimbang antara fungsinya sebagai presiden dan kepentingannya untuk selalu menjaga kekompakan dari koalisi. Dalam hal-hal menentukan, itu memang musti bisa tegar, jangan bimbang. Yang baru menurut saya, dia lebih mendorong presiden untuk lebih tegas bertindak demi keadilan. Presiden harus lebih tegar, bahwa kita ini bukan sistem parlementer, bahwa kita perlu koalisi memang, tetapi toh keputusan pada persiden harusnya,” ujar Adnan Buyung.

Dengan penganugerahan gelar Guru Besar ini, maka karir akademis Wakil Menteri Hukum dan HAM Denny Indrayana yang juga dosen di Fakultas Hukum UGM telah mencapai puncak. Pria kelahiran Kalimantan Selatan ini menempuh pendidikan S1 di UGM, S2 di University of Minnesota, Amerika Serikat dan S3 di University of Melbourne, Australia.