Detasemen Khusus (Densus) 88 Polri telah menangkap 59 tersangka militan yang dicurigai berencana mengganggu pemilu mendatang, kata juru bicara unit kontraterorisme itu, Kombes Aswin Siregar.
Sembilan belas dari mereka yang ditangkap berasal dari jaringan Jemaah Islamiah (JI), yang memiliki hubungan dengan al-Qaida, sementara 40 tersangka lainnya berasal dari Jamaah Ansharut Daulah (JAD), yang telah berjanji setia kepada ISIS.
Juru bicara Densus 88, Komisaris Besar Aswin Siregar mengatakan berdasarkan hasil pemeriksaan para tersangka ini, diketahui bahwa mereka berencana akan mengganggu jalannya pesta demokrasi tahun depan, antara lain dengan menarget kantor-kantor polisi.
Kelompok JAD menilai demokrasi adalah “tagut” dan melanggar hukum, sehingga berniat menggagalkan atau mengganggu jalannya proses pesta demokrasi yang puncaknya berlangsung pada 14 Februari nanti.
“Dua itu memang menjadi keterangan yang dicatat atau keterangan yang didapat oleh penyidik daro proses penyidikan yang berlangsung ini,” ujar Aswin saat diwawancarai VOA Rabu malam (1/11).
BACA JUGA: Memanfaatkan Kemurahan Hati Warga, Salah Satu Cara Teroris Cari DanaSebagian dari yang ditangkap ini sudah pernah dijaring dalam operasi sebelumnya. Namun Aswin menolak merinci nama dan kasus terorisme di mana tersangka pernah terlibat sebelumnya.
Pemimpin kelompok ini berinisial AU, dan menganut ideologi daulah yang menghendaki berdirinya suatu negara Islam.
Dalam penangkapan di akhir pekan lalu itu polisi menyita barang bukti berupa satu pucuk senjata api jenis AK-47, peluru tajam, hingga wadah peluru atau magazine. Polisi juga menyita materi yang dapat digunakan sebagai bahan peledak, antara lain: belerang.
Aswin mengatakan militan JAD diduga merencanakan serangan untuk mengganggu pemilihan presiden dan legislatif pada 14 Februari. “Bagi mereka pemilu tidak bermoral dan bertentangan dengan syariat Islam,” kata Aswin dalam konferensi pers.
“Mereka berencana menyerang fasilitas-fasilitas kepolisian. Ini berkaitan dengan tujuan utama mereka yaitu membatalkan pemilu,” tambahnya tanpa merinci lebih lanjut dugaan rencana tersebut.
Para tersangka ditahan dalam operasi dari 2 Oktober hingga 28 Oktober dan polisi juga menyita sejumlah senjata dan bahan kimia untuk membuat bom, kata Aswin.
Indonesia, negara dengan populasi Muslim terbesar di dunia dan menghadapi serangkaian serangan militan pada tahun-tahun setelah serangan 11 September 2001 di Amerika Serikat, termasuk pengeboman di pulau Bali pada tahun 2002 yang menewaskan lebih dari 200 orang, banyak di antaranya adalah wisatawan Australia. Aksi pengeboman di Bali itu diyakini didalangi oleh JI.
Namun, para analis keamanan mengatakan ancaman militan telah berkurang secara signifikan dalam beberapa tahun terakhir, sebagian besar karena keberhasilan operasi pasukan keamanan.
Aswin juga memperingatkan bahwa protes pro-Palestina dan penggalangan dana sejak kekerasan baru-baru ini di Timur Tengah dapat memicu kemarahan dan memicu serangan militan. “Ini membangkitkan semangat untuk melakukan aksi teroris,” katanya.
JAD Garis Keras
Diwawancarai secara terpisah, pakar terorisme di Universitas Malikussaleh, Aceh, Al Chaidar, menilai kelompok JAD yang ditangkap di tiga kota ini merupakan JAD “garis keras”. Jihad yang mereka persepsikan adalah jihad perang, bukan jihad dalam bentuk lain.
“Jadi mereka juga mengarahkan seluruh sumber daya termasuk anak dan istri mereka ke dalam plot-plot serangan amaliyah jihad tersebut,” ujar Al Chaidar.
Lebih jauh ia memaparkan bagaimana kelompok yang terbukti terlibat dalam serangkaian pemboman di Surabaya tahun 2018 dan di Jolo, Filipina, tahun 2021 itu memiliki tiga target untuk mengusik jalannya pemilu. Target pertama adalah pada saat kampanye, di mana mereka diduga akan melakukan penembakan, bukan pemboman.
“Jadi mereka membawa persenjataan, mereka sudah menyiapkan amunisinya dan akan menyerang dengan melakukan penembakan-penembakan terhadap orang yang mengikuti kampanye,”ujarnya.
Target kedua adalah mereka yang ikut pemilu pada saat hari H pencoblosan, yang saat ini ditetapkan pada tanggal 14 Februari. Sementara target ketiga adalah warga yang sedang berkumpul dan polisi yang berjaga-jaga saat penghitungan hasil pemilu.
Al Chaidar, yang lama mengkaji keberadaan kelompok-kelompok fundamentalis dan radikal di Indonesia, mengatakan bagi JAD “garis keras” ini, menembak warga masyarakat diangap sah – atau boleh secara syariat – karena siapa saja yang sudah ikut perhelatan pemilu itu dianggap orang yang telah melanggar “hukum Tuhan”. Menurut kelompok JAD, demokrasi agama merupakan “tandingan” dari agama Tuhan.
Berdasarkan informasi yang dimilikinya, kata Al Chaidar, kelompok pimpinan AU ini tidak terlalu mengetahui keberadaan KPU dan Bawaslu sehingga kedua lembaga itu tidak menjadi target.
Operasi penangkapan 40 anggota JAD ini merupakan bukti rencana "serangan yang cukup masif dan serius" terhadap pemilu 2024 mendatang. Menurutnya, kota lain yang perlu diwaspadai adalah Bekasi, Tangerang, Lampung, Medan, Surabaya, Makassar, dan Lombok.
Secara keseluruhan selama bulan Oktober ini, Densus 88 AntiTeror telah menangkap 59 tersangka teroris. Sembilan belas orang lainnya adalah anggota kelompok Jamaah Islamiyah (JI), di mana satu orang ditangkap di Sumatera Barat, satu orang di Jawa Barat, satu orang di Kalimantan, empat orang di Lampung, lima orang di Sumatera Selatan, dan tujuh orang di Nusa Tenggara Barat NTB. Ke-19 tersangka ini diketahui aktif menyebarluaskan propaganda terorisme dan materi-materi radikal, baik di media sosial maupun pelatihan-pelatihan fisik secara langsung. [ab/uh/fw/em]