Organisasi pariwisata PBB, UNWTO, memasukkan Nglanggeran dalam daftar desa wisata terbaik 2021. Sebelumnya, Nglanggeran juga menjadi desa wisata terbaik versi ASEAN pada 2017. Dalam dua puluh tahun, kawasan ini berubah drastis, dari terabaikan menjadi terabadikan.
Pada era 90-an, warga Nglanggeran berprofesi sebagai petani, penjual kayu dan penambang batu. Gunung batu raksasa berumur 70 juta tahun teronggok di tengah hamparan sawah dan hutan. Lambat laut, muncul kesadaran bahwa usaha tambang itu tidak hanya akan menghancurkan alam yang indah, tetapi sekaligus menghabiskan sumber daya hak anak cucu mereka.
Sejak itulah, seperti dituturkan Ketua Kelompok Sadar Wisata Nglanggeran, Mursidi, gunung api purba itu dimanfaatkan keindahannya. Sekitar 2007 pembentukan desa wisata dimulai. Sepuluh tahun kemudian, Nglanggeran sudah menjadi desa wisata terbaik ASEAN. Tahun ini, mereka menjadi satu dari 44 desa wisata terbaik di dunia.
“Apa yang kami lakukan pada waktu itu ternyata tidak sesuai dengan keberlanjutan. Menambang batu, menebang kayu untuk dijual. Justru saat ini, dengan desa wisata kami bisa menjaga alam, menjaga keseimbangan alam dan manusia. Tetap lestari, tetapi kami memperoleh nilai manfaat ekonomi dari pariwisata,” kata Mursidi kepada VOA, Kamis (9/12).
Ibaratnya, kata Mursidi, batu di gunung api purba memang bisa ditambang dan setiap tahun akan menghasilkan pendapatan ratusan juta bagi masyarakat. Namun, dengan melestarikannya dan menjadikan Nglanggeran desa wisata, gunung batu itu tetap lestari, dan pendapatan yang diterima masyarakat berlipat.
“Gunung api purba tetap akan ada, tetap lestari dan bisa kami wariskan kepada anak cucu,” ucapnya lagi.
Kawasan ekowisata Nglanggeran memiliki total luas 48 hektare. Secara fisiografi, gunung api purba ini ada di zona pegunungan selatan Jawa Tengah-Jawa Timur. Berada ketinggian 700 meter di atas permukaan laut, gunung batu ini memiliki lereng cukup curam. Material batuannya adalah endapan vulkanik tua berjenis andesit.
Kawasan ini berada 34 kilometer di sebelah timur Kota Yogyakarta, dan secara administratif menjadi bagian dari Kabupaten Gunungkidul. Sejumlah destinasi wisata populer lain, berserak di sekitar Nglanggeran menjadi satu kesatuan kunjungan yang menarik.
Kawasan inilah, yang kemudian dipilih bersama 44 desa wisata dari 32 negara, sebagai UNWTO Best Tourism Villages 2021. Penganugerahan dilakukan dalam Sidang Umum UNWTO ke-24 di Madrid, Spanyol, Kamis (2/12).
UNWTO menetapkan sembilan kriteria penilaian dalam penentuan 44 desa wisata terbaik dunia. Termasuk dalam daftar itu adalah sumber daya alam dan budaya, promosi dan konservasi sumber daya budaya, keberlanjutan ekonomi, keberlanjutan sosial, keberlanjutan lingkungan hingga potensi dan pengembangan pariwisata serta integrasi rantai nilai.
BACA JUGA: Menparekraf Pastikan Kesiapan Bali Terima Wisman 14 OktoberBagi masyarakat Nglanggeran, kata Mursidi, prestasi ini bermakna besar. Apa yang diterima saat ini adalah hasil dari proses panjang yang mereka lakukan sejak hampir 15 tahun yang lalu. Di tengah pandemi COVID-19, penghargaan ini juga pemacu semangat bagi pelaku wisata. Mereka sadar, inovasi harus terus berjalan untuk memastikan bahwa destinasi ekowisata ini akan lestari.
“Tantangannya, kami sebagai masyarakat desa harus mampu mengelola desa wisata ini untuk menjadi destinasi tingkat nasional, bahkan global. Tetapi bersama berbagai pihak, kami terus meningkatkan kualitas sumber daya manusia,” tambah Mursidi.
Pandemi juga menyadarkan Mursidi dan segenap masyarakat Nglanggeran, bahwa sektor pariwisata rentan terhadap bencana, seperti pandemi saat ini. Karena itulah mereka terus belajar beradaptasi.
Kunci Pemulihan Ekonomi Desa
Sekretaris Jenderal UNWTO, Zurab Pololikashvili, dalam pernyataan resminya menegaskan, pariwisata dapat menjadi pendorong kohesi sosial dan inklusivitas, dengan mempromosikan distribusi manfaat lebih adil sekaligus memberdayakan masyarakat lokal
“Penghargaan ini adalah bentuk pengakuan terhadap desa-desa yang berkomitmen untuk menjadikan pariwsata sebagai pendorong yang kuat bagi pembangunan dan kesejahteraan masyarakatnya,” kata Zurab Pololikashvili
Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Sandiaga Salahuddin Uno, menyambut baik capaian ini seraya memastikan Nglanggeran adalah destinasi kelas dunia. Dia juga memberi catatan khusus karena kebersamaan masyarakat, pemerintah daerah, dan pengelola, yang akan menempatkan pariwisata sebagai motor penggerak pembangunan di desa.
“Ini selaras dengan tujuan pembangunan berkelanjutan dalam rangka memaksimalkan kontribusi desa wisata, lapangan kerja, dan mengurangi kesenjangan di pedesaan," kata Sandiaga dalam pernyataanya, Sabtu (4/12).
Prestasi ini juga diharapkan menjadi momentum kebangkitan ekonomi Indonesia khususnya di sektor pariwisata dan ekonomi kreatif.
BACA JUGA: Jokowi: Perlu Transformasi, Bali Tak Bisa Hanya Andalkan Pariwisata"Prestasi ini jadi angin segar di tengah hiruk-pikuk pandemi dan tantangan ekonomi serta penciptaan lapangan kerja hampir dua tahun belakangan,” kata Sandi.
Ketika memberi sambutan pada Anugerah Desa Wisata 2021 pada 7 Desember, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto menyebut peran penting desa wisata di era pandemi. Kondisi yang tidak menentu membuat pemerintah fokus untuk membangkitkan wisata bagi pasar domestik. Apalagi wisatawan asing juga akan terkendala oleh aturan karantina sepuluh hari dan protokol kesehatan yang ketat.
“Saya apresiasi, atas nama Presiden, dalam penyelenggaraan malam Anugerah Desa Wisata ini, sebagai momentum mendorong geliat pengembangan desa wisata, khususnya dalam rangka pemulihan ekonomi nasional,” kata Airlangga.
Pemerintah meyakini desa wisata mendorong transformasi budaya dan ekonomi desa. Ajang Anugerah Desa Wisata digelar untuk memberi kesempatan desa wisata di Indonesia saling belajar. Ada 1.831 desa wisata dari 34 provinsi berpartisipasi dalam ajang tersebut. Pengembangan desa wisata kata Airlangga, akan disinergikan dengan pengembangan destinasi prioritas dan superprioritas sehingga dapat berjalan baik.
Pariwisata Mengubah Wajah Desa
Peneliti Pusat Studi Pariwisata, Universitas Gadjah Mada, Dr Destha Titi Raharjana, menyebut prestasi tingkat dunia ini bermakna besar bagi Nglanggeran, sektor pariwisata DI Yogyakarta, dan juga Indonesia. Sebagai sebuah brand, nama Nglanggeran akan semakin kuat, kata Destha.
“Di ASEAN dia sudah unggul, sebagai community based tourism. Sekarang diakui UNWTO, ini prestasi luar biasa. Dan jangan lupa, Direktur Global Geopark UNESCO juga mengapresiasi keberadaan Taman Bumi di Nglanggeran, yang mampu meningkatkan harkat hidup masyarakat,” kata Destha kepada VOA, Rabu (8/12).
Destha yang juga pegiat wisata kerakyatan tahu betul bagaimana Nglanggeran berevolusi. Kawasan ini dulu dianggap miskin potensi sehingga anak mudanya mayoritas merantau ke luar negeri. Di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, kawasan ini mulai memperoleh perhatian, khususnya melalui program PNPM Mandiri pariwisata. Program ini menjadi akselerator, karena pemerintah pusat melihat potensi, dan warga lokal paham bahwa lansekap dan kehidupan sosial mereka layak menjadi destinasi.
Edukasi mengubah mereka yang awalnya tidak memahami konsep desa wisata, dan masuknya Dana Desa menambah cepat perubahan. Termasuk, perhatian dari Pemerintah Provinsi DIY, yang membangun embung atau danau buatan disana.
“Ini kisah sukses yang didukung eksternalitas. Ada sistem dan perhatian dari birokrasi. Nglanggeran memiliki gunung api purba yang menjadi geosite ternama, lalu ada embung. Ini semua menjadi trigger bagi masyarakat lewat inisiatif kelompok sadar wisata untuk mengolah potensi yang ada,” papar Destha.
Mentor di Desa Wisata Institute ini juga menilai keberhasilan Nglanggeran meraih UNWTO juga karena kekuatan internal. Kepala desa, tokoh masyarakat dan generasi muda memiliki visi yang sama terkait pengembangan desa mereka. Kekompakan semacam itu, tidak dimiliki semua desa, dan karena itu banyak desa wisata di Indonesia mati suri.
Di tengah pandemi, inovasi Nglanggeran melalui tur virtual juga patut diacungi jempol. Begitu pula dengan upaya mereka memasarkan produk asli desa, seperti coklat, melalui media sosial dan platform penjualan daring. Konsep mass tourism yang berbenturan dengan kebijakan pembatasan aktivitas, disiasati dengan konsentrasi ke pengalaman lebih berkualitas bagi wisatawan.
BACA JUGA: Pariwisata Indonesia: Menunggu Dampak Baik Setelah 'Superbike'“Pandemi memang bisa membawa keterpurukan, tetapi kalau diimbangi dengan inovasi dan adaptasi di desa wisata, tentu akan membuka akses baru,” tambah Destha.
Meski begitu, lanjut Destha, tantangan Nglanggeran ke depan tidak mudah. Apalagi mereka telah memposisikan diri dalam ekowisata. Selain berorientasi pada kualitas, praktik konservasi dan pemberdayaan harus ditonjolkan.
Tantangan Inovasi dan Konservasi
Pengajar di Fakultas Pariwisata, Universitas Pelita Harapan (UPH), Yustisia Kristiana, mengamini tantangan desa wisata Nglanggeran ke depan tidak mudah. Apalagi setelah prestasi yang mereka torehkan pada skala internasional.
“Salah satu kelemahan desa wisata adalah manajemen. Kebanyakan berpusat pada satu atau dua tokoh saja, dan edukasi ke masyarakat lemah. Ini juga jadi tantangan bagi Nglanggeran ke depan untuk menjaga brand mereka,” kata Yustisia kepada VOA.
Penulis Buku Ajar Studi Ekowisata ini menyebut potensi desa wisata seperti Nglanggeran memang sangat besar. Tidak hanya lansekap alamnya, tetapi juga kehidupan masyarakat yang mendiaminya. Namun di sisi lain, sisi sosial kemasyarakatan itu sekaligus berpotensi menghambat kemajuan desa wisata. Konflik pengelolaan di lingkungan desa, adalah sesuatu yang kerap terjadi saat ini.
Tantangan desa wisata seperti Nglanggeran adalah sistem pengelolaan yang lebih modern. Meski mengandalkan desa dan kehidupan masyarakatnya yang penuh gotong royong, desa wisata harus dikelola selayaknya sebuah korporasi.
“Ada profesionalitas di situ. Perlu sekelompok warga, bukan hanya satu tokoh utama, yang memang aktif menggerakkan potensinya. Ini dibutuhkan terus menerus, dan akan semakin besar tantangannya bagi Nglanggeran ke depan,” tambahnya.
Meski butuh inovasi ke depan, Yustisia mengingatkan tentang perlunya konsep dan orisinalitas. Apa yang baik dan berkembang di desa wisata lain, belum tentu bisa diterapkan di Nglanggeran. Sebaliknya, apa yang dilakukan di Nglanggeran tidak serta merta bisa diaplikasikan di desa wisata lain.
Your browser doesn’t support HTML5
“Sebagai contoh, waktu banyak desa wisata membuat pasar ndeso, dengan mata uang kuno dan makanan tradisional, banyak desa melakukan hal yang sama persis. Banyak yang kemudian gagal, karena tidak sadar bahwa konsep yang sama dan berhasil di tempat lain, tidak bisa asal ditiru,” ujarnya lagi.
Nglanggeran akan lebih baik mempertahankan potensi yang sudah ada saat ini. Pengembangan harus dilakukan dengan sejumlah pertimbangan, termasuk memperhatikan pengelolaan lingkungan. Konsep ecotourism tepat dipilih oleh desa wisata ini. Mempertahankan lansekap yang indah, dengan gunung api purba sebagai daya tarik utama, menjadi tantangan besar. Sekaligus dengan itu, konservasi alam harus diutamakan, karena justru itulah yang dicari dan dinikmati wisatawan di Nglanggeran. [ns/ah]