Dewan Pengawas (Dewas) KPK membantah bahwa lembaga antikorupsi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) hanya setengah hati dalam menangani kasus suap yang melibatkan politisi PDI Perjuangan Harun Masiku. Dewas menegaskan KPK masih terus berupaya mencari jejak sang politisi yang kini menjadi buron sejak ditetapkan menjadi tersangka pada 2020 lalu.
Ketua Dewas KPK, Tumpak Hatorangan Panggabean, memastikan pihaknya sudah berulang kali menanyakan soal Harun Masiku kepada pimpinan lembaga itu. Setidaknya, kata Tumpak, hal itu dilakukan dalam berbagai pertemuan dan rapat koordinasi pengawasan.
“Memang benar, KPK telah melakukan penggeledahan di beberapa titik dalam rangka mencari Harun Masiku. Itu bisa kami tahu, dari waktu kami memberikan izin penggeledahan. Dari situ kami melihat, bahwa KPK serius untuk melakukan pencarian itu,” kata Tumpak, dalam penjelasan kinerja Dewas KPK tahun 2021 di Jakarta pada Selasa (18/1).
Kasus Harun Masiku sering dijadikan olok-olok terkait kinerja KPK setidaknya dalam dua tahun terakhir. Ketika KPK menggelar Operasi Tangkap Tangan (OTT) pada 8 Januari 2020, Harun lolos dan melarikan diri hingga saat ini. KPK sendiri telah menetapkan Harun Masiku sebagai tersangka kasus suap terhadap komisioner KPU, Wahyu Setiawan, sehari sesudah OTT tersebut berlangsung.
Tumpak memastikan upaya mempertanyakan kinerja KPK mengejar Harun Masiku sudah dilakukan sejak awal kasus itu terjadi di 2020. Dewas juga mempertanyakan kendala yang dihadapi KPK sendiri dalam mengusut kasus tersebut di mana Harun menyuap Wahyu sebesar Rp1,5 miliar demi melanggengkan jalannya menjadi anggota DPR RI dari daerah pemilihan Sumatra Selatan I.
“KPK belum mendapatkan satu informasi yang tepat di mana dia berada,” kata Tumpak
Selain terkait Kasus Harun Masiku, Dewas juga menerima laporan terkait kinerja pimpinan KPK, Lili Pintauli Siregar, yang namanya disebut dalam persidangan kasus suap penyidik KPK, Stefanus Robin Pattuju.
BACA JUGA: Pemberantasan Korupsi Dinilai Berada di Titik Terendah“Ibu LPS sudah kami sidangkan dalam pelanggaran etiknya. Sekarang disebut-sebut lagi di dalam persidangan. Kami belum melihat ada perbedaan apa,” kata Tumpak.
Tumpak, yang juga Wakil Ketua KPK 2003-2007 juga menyebut, Dewas juga menerima satu laporan terkait Lili, yang kini tengah berada dalam penyelidikan.
Dewan Pengawasan adalah struktur baru di KPK, setelah keluar Undang-undang No. 19/2019, yang kedudukannya setara dengan pimpinan KPK. Anggota Dewas sendiri dipilih langsung oleh Presiden. Pada periode 2019-2023, selain Tumpak, terdapat nama-nama seperti Syamsuddin Haris, Albertina Ho, Harjono, dan Indriyanto Seno Adji yang duduk dalam daftar keanggotaan Dewas.
Laporan kinerja Dewas KPK 2021 akan dikirimkan kepada Presiden dan DPR.
Tujuh Pelanggaran Etik
Sementara itu, anggota Dewas Albertina Ho, yang bertugas dalam pengawasan etik menyebut, selama 2021 terdapat tujuh kasus pelanggaran etik dalam KPK yang dibawa ke persidangan.
“Kasus nomor satu dan nomor dua, itu dikenakan sanksi berat, pemberhentian dengan tidak hormat sebagai pegawai KPK. Dan nomor tiga sampai nomor tujuh, ada aneka ragam sanksi,” ujar Albertina.
Sejumlah sanksi bagi pegawai KPK yang melanggar etik tetapi tidak dipecat, antara lain adalah pemotongan gaji pokok 10 persen selama enam bulan, pemotongan gaji pokok 40 persen selama 12 bulan, teguran tertulis, hingga permintaan maaf tertutup
BACA JUGA: ICW: KPK Tidak Serius Mencari Harun MasikuSecara rinci, Albertina menyebut sepanjanng 2021 Dewas KPK menerima 33 dugaan pelanggaran kode etik. Jumlah itu berasal dari 38 laporan, karena ada sejumlah laporan ganda.
“Dari 33 dugaan ini, yang telah diselesaikan sebanyak 25. Dari 25 ini, tujuh dilanjutkan ke sidang, kemudian 18 tidak dilanjutkan ke sidang etik. Yang masih di dalam proses ada delapan,” tambah mantan hakim ini.
Proses penanganan aduan terhadap pegawai KPK memang tidak semuanya mudah, sehingga membutuhkan waktu. Terutama, kata Albertina, jika laporan yang masuk tidak disertai bukti yang cukup. Sejumlah laporan bahkan hanya dilengkapi dengan pemberitaan media massa saja.
“Tidak ada bukti sama sekali. Kami memerlukan waktu yang cukup untuk mencari bukti,” tambah Albertina.
Izin Disetop, Dewas Monitoring
Indriyanto Seno Adji, anggota Dewas KPK lainnya, menyebutkan bahwa dari sisi kewenangan pemberian izin, kinerja Dewas terbagi ke dalam dua periode, yaitu sebelum Mei 2021 dan sesudahnya. Seperti diketahui, Mahkamah Konstitusi pada 4 Mei 2021 telah menyatakan, bahwa kewenangan Dewas terkait izin dinyatakan inkonstitusional.
“Pada saat kita, Dewas di UU 19/2019 masih memiliki izin, kita telah melakukan pemberian 186 izin. Kalau kita breakdown itu (terdapat) 42 izin penggeledahan, 79 izin penyadapan, dan 65 izin penyitaan. Semua dilaksanakan sesuai jangka waktu sudah ditentukan,” tandas Seno.
Your browser doesn’t support HTML5
Sesudah berlakunya putusan MK, lanjut dia, Dewas melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan upaya paksa, melalui metode monitoring.
“Kita menerima laporan, dan kita melakukan pengawasan secara ketat terhadap laporan pertanggungjawaban penyadapan. Kita menerima dari penyidik KPK 43 laporan dalam bentuk verifikasi,” lanjutnya.
Selain itu, sepanjang 2021, Dewas KPK juga menerima laporan untuk 198 berita acara penyitaan dan 51 berita acara penggeledahan. Selain itu, Dewas juga melakukan peninjauan lapangan terhadap 60 aset tanah dan atau bangunan sitaan kasus korupsi, yang tersebar di berbagai provinsi. [ns/rs]