Dewan Pers mendesak polisi menggunakan pasal pidana dalam mengusut kasus kekerasan terhadap jurnalis Kalimantan Timur.
JAKARTA —
Satuan Tugas (Satgas) Penanganan Kekerasan Terhadap Jurnalis yang terdiri dari beberapa kelompok jurnalis dengan dipimpin Dewan Pers, akan mendorong polisi menggunakan pasal pidana pada kasus pengeroyokan terhadap Nurmila Sari Wahyuni, jurnalis Paser TV di Kalimantan Timur.
Kamsul Hasan, salah seorang anggota Satgas, pada Selasa (5/3) di Jakarta mengatakan pasal pidana ini digunakan sebagai sikap tegas untuk melindungi para jurnalis di Indonesia.
Pasal yang ia maksud adalah Pasal 170 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana mengenai sanksi hukum bagi para pelaku kekerasan terhadap orang atau barang di muka umum, yang menyebutkan sanksi sampai 12 tahun penjara.
“Pasal 170 ini juga terkait dengan pasal 90, yaitu apabila seorang wanita yang sedang mengandung dia keguguran atau janinnya mati karena kekerasan, maka kategori kekerasannya dianggap berat. Ancamannya di atas delapan tahun penjara,” ujarnya.
“Kita ingin menimbulkan efek jera sekaligus memberikan perlindungan terhadap wartawan.”
Sementara itu, anggota Dewan Pers bidang Pengaduan Masyarakat dan Penegakan Etika Agus Sudibyo, meminta agar perusahaan media tempat Nurmila Sari Wahyuni bekerja, memberikan dukungan penuh pengusutan kasus ini. Dukungan ini menurut Agus perlu dilakukan, karena banyak perusahaan media yang malah menjalin perdamaian dengan pihak yang melakukan kekerasan terhadap jurnalisnya sendiri.
“Perusahaan media tidak boleh memaksa wartawan untuk melakukan perdamaian. Karena pernah terjadi, wartawannya lapor ke polisi karena menjadi korban kekerasan, tetapi pemilik media kemudian memaksa wartawan itu mencabut laporan dan berdamai. Ternyata perusahaan medianya sudah berdamai dengan pelaku kekerasan. Mungkin ditutup dengan iklan atau semacamnya dan malah mengorbankan wartawannya yang telah jadi korban kekerasan,” ujarnya.
“Jadi seharusnya, inisiatif perdamaian harus datang dari si korban, tanpa ada pemaksaan dari pihak manapun.”
Nurmila hingga kini masih dirawat intensif di Rumah Sakit Umum Daerah Panglima Sebaya, Paser, Kalimantan Timur. Ia dikeroyok belasan oknum aparat desa saat melakukan peliputan sengketa tanah di Desa Rantau Panjang, Paser Sabtu (2/3) lalu.
Akibat tindak kekerasan itu, Nurmila kehilangan janin satu bulan yang dikandungnya. Polres wilayah Paser telah menetapkan dua orang tersangka dalam kasus ini, yaitu Sekretaris Desa Aliansyah dan Kepala desa Ilyas.
Dari data Aliansi Jurnalis Independen (AJI) tercatat terjadi 50 kasus kekerasan pada jurnalis di 2012. Sekitar 70-80 persennya berupa kekerasan fisik. Jumlah ini relatif lebih banyak dibanding 2011 yang berupa kekerasan verbal, intimidasi, ancaman melalui jalur hukum dan teror psikologis.
Dewan Pers membentuk satuan tugas untuk menangani kasus-kasus kekerasan yang menimpa para wartawan. Satuan tugas ini terdiri dari tiga organisasi jurnalis, yaitu Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) dan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI).
Kamsul Hasan, salah seorang anggota Satgas, pada Selasa (5/3) di Jakarta mengatakan pasal pidana ini digunakan sebagai sikap tegas untuk melindungi para jurnalis di Indonesia.
Pasal yang ia maksud adalah Pasal 170 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana mengenai sanksi hukum bagi para pelaku kekerasan terhadap orang atau barang di muka umum, yang menyebutkan sanksi sampai 12 tahun penjara.
“Pasal 170 ini juga terkait dengan pasal 90, yaitu apabila seorang wanita yang sedang mengandung dia keguguran atau janinnya mati karena kekerasan, maka kategori kekerasannya dianggap berat. Ancamannya di atas delapan tahun penjara,” ujarnya.
“Kita ingin menimbulkan efek jera sekaligus memberikan perlindungan terhadap wartawan.”
Sementara itu, anggota Dewan Pers bidang Pengaduan Masyarakat dan Penegakan Etika Agus Sudibyo, meminta agar perusahaan media tempat Nurmila Sari Wahyuni bekerja, memberikan dukungan penuh pengusutan kasus ini. Dukungan ini menurut Agus perlu dilakukan, karena banyak perusahaan media yang malah menjalin perdamaian dengan pihak yang melakukan kekerasan terhadap jurnalisnya sendiri.
“Perusahaan media tidak boleh memaksa wartawan untuk melakukan perdamaian. Karena pernah terjadi, wartawannya lapor ke polisi karena menjadi korban kekerasan, tetapi pemilik media kemudian memaksa wartawan itu mencabut laporan dan berdamai. Ternyata perusahaan medianya sudah berdamai dengan pelaku kekerasan. Mungkin ditutup dengan iklan atau semacamnya dan malah mengorbankan wartawannya yang telah jadi korban kekerasan,” ujarnya.
“Jadi seharusnya, inisiatif perdamaian harus datang dari si korban, tanpa ada pemaksaan dari pihak manapun.”
Nurmila hingga kini masih dirawat intensif di Rumah Sakit Umum Daerah Panglima Sebaya, Paser, Kalimantan Timur. Ia dikeroyok belasan oknum aparat desa saat melakukan peliputan sengketa tanah di Desa Rantau Panjang, Paser Sabtu (2/3) lalu.
Akibat tindak kekerasan itu, Nurmila kehilangan janin satu bulan yang dikandungnya. Polres wilayah Paser telah menetapkan dua orang tersangka dalam kasus ini, yaitu Sekretaris Desa Aliansyah dan Kepala desa Ilyas.
Dari data Aliansi Jurnalis Independen (AJI) tercatat terjadi 50 kasus kekerasan pada jurnalis di 2012. Sekitar 70-80 persennya berupa kekerasan fisik. Jumlah ini relatif lebih banyak dibanding 2011 yang berupa kekerasan verbal, intimidasi, ancaman melalui jalur hukum dan teror psikologis.
Dewan Pers membentuk satuan tugas untuk menangani kasus-kasus kekerasan yang menimpa para wartawan. Satuan tugas ini terdiri dari tiga organisasi jurnalis, yaitu Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) dan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI).