Zahrah Nabi sedang membereskan pekerjaan yang menjadi kehidupannya. Ancaman dan sensor oleh Taliban, memaksanya untuk menutup proyek impiannya, sebuah stasiun televisi yang semuanya dikelola oleh perempuan, bernama Baano-TV, di Kabul.
Sebuah tim yang terdiri dari teknisi, produser, editor, reporter, dan pembawa berita perempuan, mengelola saluran TV itutselama hampir empat tahun. Nabi mengingat ejekan yang harus ditanggungnya ketika dia pertama kali memikirkan gagasan itu pada tahun 2016. Karena kepercayaan dan tradisi agama di Afghanistan, banyak orang berpikir kaum perempuan tidak dapat berfungsi dalam masyarakat tanpa pria.
“Orang-orang menertawakan. Mereka berkata, 'bagaimana? Perempuan? Perempuan tidak kuat untuk melakukan hal-hal semacam ini atau menjalankan stasiun TV. Sebuah stasiun TV adalah hal yang sangat besar yang Anda pikirkan. Itu bukan sesuatu seperti seorang perempuan yang memutuskan untuk mengendarai mobil atau semacamnya,'" katanya.
Nabi membuktikan banyak penentang itu yang salah. Dalam waktu enam bulan sejak dibuka tahun 2017, berkat perencanaan keuangannya yang cerdas, stasiun TV-nya menghasilkan uang.
Kemudian datanglah Taliban. Bahkan sebelum mereka mengambil alih negara itu bulan Agustus lalu, Nabi menerima telpon yang melecehkannya karena isi siarannya terutama tentang drama romantis.
“Anda tahu, bahkan sebelum mereka mengambil alih ibukota, kami menyiarkan beberapa acara drama. Jadi, mereka menelpon dan berkata, 'drama macam apa itu? Siapa yang membayar Anda? Siapa yang mendukung Anda? Dari siapa Anda mendapat dana?’” ujar Nabi.
Dia mencoba untuk melanjutkan stasiun TV-nya setelah pengambilalihan Taliban, tetapi segera mendapati pekerjaannya itu disensor, terutama pada topik seperti perempuan yang berunjuk rasa menuntut untuk hak-hak mereka.
BACA JUGA: Lagi, Perempuan di Kabul Tuntut Hak Untuk Bekerja“Pada hari protes, saya pergi ke sana.... Saya hanya memasang beberapa foto di media sosial, tetapi kemudian mereka menelepon dan berkata, 'Anda tidak boleh memuat foto-foto itu,'" katanya.
Ketika dia dilecehkan secara fisik di luar apartemennya suatu hari dan mengeluh kepada pejabat keamanan Taliban, Nabi mengatakan mereka menolak untuk menolong, kecuali dia membawa kerabat laki-laki untuk mengadukan atas namanya.
Stafnya yang berjumlah 50 orang telah meninggalkan negara itu karena takut akan Taliban. Saluran TV-nya tidak berjalan lagi. Dia tidak punya penghasilan. Namun dia mengatakan tidak ada yang mematahkan semangatnya. Berbekal kamera dan komputer, Nabi berencana melanjutkan perjuangan demi kebebasan berpendapat, meski berisiko.
Meskipun terpaksa harus menutup tempat ini, Nabi tidak menyerah dengan mimpinya. Dia berencana untuk membayar sewa tempat itu dari kantongnya sendiri, setidaknya enam bulan lagi dengan harapan bisa membuka kembali stasiun TV-nya. [ps/lt]