Di Tengah Meningkatnya Intoleransi, Indonesia Berupaya Atasi Kekurangan Imam Katolik

  • Associated Press

Imam Katolik menghadiri pentahbisan Paulus Budi Kleden sebagai Uskup Ende di Katedral Kristus Raja, NTT, Kamis, 22 Agustus 2024. (AP/Tatan Syuflana)

Di tengah meningkatnya intoleransi, Indonesia berupaya keras mengatasi kekurangan pastur Katolik.

Serbuan media sosial dan informasi digital modern yang membombardir orang-orang dengan kehidupan yang lebih menggoda, membuat Arnoldus Yansen menanggalkan jubah imamatnya dan meninggalkan biara di Tanah Air untuk memulai hidup baru.

Laki-laki berusia 26 tahun ini adalah bagian dari staf administrasi Institut Filsafat dan Teknologi Kreatif Ledalero. Ia mengikuti jejak kakak laki-laki dan sepupunya untuk menjadi pastor.

Keraguan akan pilihan profesinya muncul ketika ia bekerja sebagai diakon di sebuah paroki setelah menyelesaikan pendidikan empat tahun di bidang filsafat dan teologi.

Arnoldus Yansen, mantan seminaris, bekerja di komputer di Institut Filosofi dan Teknologi Kreatif Ledalero, Maumere, NTT, Sabtu, 24 Agustus 2024. (AP/Tatan Syuflana)

“Mungkin teman-teman memiliki pandangan berbeda, tetapi bagi saya secara pribadi, saya telah menghadapi masalah ini sejak lama, sejak berada di seminari kelas menengah hingga menengah atas. Untuk memilih apakah akan terus melanjutkan atau tidak," kata Yansen.

Arnoldus Yansen berupaya menganggap keraguannya itu sebagai “kegelisahan di saat-saat terakhir.” Tetapi sebuah pertanyaan besar menggantung di kepalanya: “Haruskah saya melanjutkan imamat ini?”

Yansen adalah satu dari ratusan calon pastur yang mengundurkan diri atau gagal menjalankan panggilan gereja di Indonesia.

Ironisnya hal ini bukan hanya situasi yang terjadi di Indonesia, tetapi juga dihadapi oleh gereja secara global.

Imam Katolik meninggalkan upacara pentahbisan Uskup Ende, Paulus Budi Kleden, di Katedral Kristus Raja, NTT, Kamis, 22 Agustus 2024. (AP/Tatan Syuflana)

Bagi 8,6 juta umat Katolik di negara mayoritas Muslim terbesar di dunia di mana kelompok agama minoritas tetap berhati-hati dan waspada untuk mencegah terjadinya berbagai konflik, hal ini merupakan sesuatu yang sangat memprihatinkan.

Asia, bersama dengan Afrika, telah lama dipandang sebagai masa depan Gereja Katolik, baik dalam hal jumlah umat yang dibaptis maupun jumlah laki-laki dan perempuan yang memutuskan untuk menjadi biarawan atau biarawati.

Di Asia, jumlahnya terus bertambah. Sementara benteng pertahanan Katolik yang sudah lama ada – seperti Eropa dan Amerika – telah mengalami kontraksi jangka panjang, baik dalam hal jumlah umat Katolik maupun mereka yang masuk ke dalam kehidupan religius.

Meskipun Indonesia tidak dapat bersaing dengan Filipina yang mayoritas penduduknya beragama Katolik atau India dalam hal jumlah umat Katolik yang dibaptis, jumlah laki-laki yang belajar untuk menjadi pastur terus bertambah. Sementara jumlah seminaris di Asia secara keseluruhan mulai mendatar atau bahkan menurun dalam beberapa tahun terakhir.

Seorang asisten pastor melayani jemaah saat misa Minggu di sebuah gereja di tengah pandemi COVID di Banyuwangi, Jawa Timur, 14 Juni 2020. (Foto: Antara/Budi Candra Setya via Reuters)

Menurut data statistik Vatikan pada akhir 2022, tahun terakhir data tersedia, sedikitnya ada 2.466 imam Keuskupan/Diosis (Projo) di Indonesia, naik dari 2.203 pada 2017. Sementara populasi umat Katolik mencapai 8,29 juta orang. Jumlah tersebut ditambah dengan jumlah imam ordo religius yang bahkan lebih banyak, seperti Yesuit dan Fransiskan, yang jumlahnya mencapai 3.437 imam pada tahun 2022.

Secara keseluruhan, jumlah imam Keuskupan (imam Projo) di Asia – termasuk Timur Tengah – meningkat dari 38.422 pada tahun 2017 menjadi 41.338 pada tahun 2022. Sementara di seluruh dunia, ada 407.730 pastur Katolik pada tahun 2022, di mana penurunan terjadi di Eropa, Amerika dan Oseania. Jumlah imam Katolik hanya tumbuh di Asia dan Afrika.

Data Vatikan pada 2022 itu juga menunjukkan ada 108.481 seminaris atau calon pastur yang sedang belajar di sekolah-sekolah filsafat dan teologi Katolik di seluruh dunia. Di Asia, ada 31.767 seminaris, turun lebih dari 3.000 dari 34.365 pada tahun 2017.

Polisi berjaga-jaga di luar Gereja Katolik St. Joseph di Medan (28/8/2016). (Foto: Antara/Irsan Mulyadi via REUTERS)

Timor Leste, yang mayoritas penduduknya beragama Katolik, terus mengalami peningkatan jumlah seminaris dari 386 orang pada tahun 2017 menjadi 614 orang pada tahun 2022. Sejumlah laki-laki yang dilatih untuk menjadi pastur biasanya menghabiskan enam hingga delapan tahun di seminari, dan dua tahun untuk pekerjaan pastoral, sebelum akhirnya ditahbiskan.

Namun, berselancar di dunia maya membuka pikiran Arnoldus Yansen pada peluang lain di luar desanya yang terpencil di Flores, sebuah pulau tropis yang indah, yang dihuni oleh hampir dua juta orang yang sebagian besar beragama Katolik.

“Saya merasa seperti tidak cocok lagi berada di sini, dan saya hanya dapat melakukan lebih banyak hal, jika saya pergi meninggalkan tempat ini," ujar Yansen.

BACA JUGA: Kisah Rohaniwan Katolik Indonesia Sebagai Pastor di Paroki Amerika Serikat

Ia keluar dari Seminari Tinggi Santo Petrus di Ritapiret, sekitar 12 kilometer dari Maumere, kota terbesar di Flores. Yansen mengatakan internet “memberi dampak positif, karena saya dapat benar-benar melihat dari dalam diri saya sendiri untuk mengambil keputusan yang tepat.” Tetapi hal itu bukan satu-satunya alasan.

Skandal pelecehan seksual, ditambah dengan contoh yang tidak baik yang diberikan oleh para uskup saat berkuasa di Vatikan dan di tempat lain, juga merupakan faktor yang berkontribusi dalam keputusannya untuk meninggalkan jalur religius.

“Kasus-kasus itu telah mempengaruhi saya, tepatnya ketika saya sedang mempertimbangkan keputusan seumur hidup. Apakah saya bisa menjaga komitmen, atau saya akan berakhir seperti itu," ujarnya.

BACA JUGA: Relasi Kuasa Hierarkis dan Kasus Kekerasan Seksual di Gereja Katolik

Saat seminari di beberapa bagian Amerika Utara dan Eropa kosong karena paroki-paroki yang tidak memiliki pastur, dan altar di depan gereja yang kosong, Seminari Tinggi Santo Petrus di Ritapiret justru dibanjiri oleh para pendaftar. Rektor seminari itu, Pastur Gieldebertus Tanga mengatakan hal ini menjadikan seminari itu sebagai yang terbesar di dunia dalam hal jumlah seminaris.

Setiap pagi, semua seminaris berebut untuk naik ke truk kayu yang akan membawa mereka ke Institut Filsafat dan Teknologi Kreatif di Ledalero, jika mereka tidak ingin berjalan kaki sejauh tiga kilometer ke sekolah.

Mereka akan bergabung dengan 2.000 siswa lainnya di kampus bersejarah yang sama yang didirikan pada tahun 1926 oleh Divine Word Missionaries untuk para calon biarawan. Sekolah ini sekarang telah berkembang menjadi perguruan tinggi dan terbuka untuk umum, yang mempelajari teknologi digital dan ekonomi. [em/lt]