Dialog "Merajut Persaudaraan Mengikis Intoleransi" berlangsung di kampus Fakultas Teologi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, menampilkan pembicara Romo Kardinal Julius Darmaatmadja, SJ, Buya Syafii Ma’arif, Romo Mateus Purwatma, PR dan wakil umat Buddha Widiyono, serta dihadiri para mahasiswa dan masyarakat umum.
Kardinal Julius Darmaatmadja, S.J. menekankan sikap mengasihi bahkan kepada orang yang memusuhi kita. Ia juga menekankan pentingnya pendidikan agama yang baik kepada anak sejak usia dini.
“Membiasakan sikap yang baik, memuji Allah. Ibu yang begini inilah yang mendidik anak luar biasa. Karena yang ditanam sejak kecil akan dibawa. Kalau ada pelajaran di sekolah dia mulai menyampaikan arti pelajaran agama itu sesuai dengan yang dirasakan dan apa yang telah dihidupi sejak kecil,” kata Kardinal Julius Darmaatmadja, S.J.
Buya Syafii Ma’arif menegaskan praktik intoleransi yang terjadi di Indonesia akhir-akhir ini dilakukan hanya oleh sebagian kecil umat beragama khususnya Islam. Ia yakin sebagian besar umat Islam di Indonesia masih sangat baik tetapi tidak berani bersikap menghadapi kondisi yang ada.
Merespons tentang gerakan pembela keadilan yang berlangsung di berbagai kota, Buya justru mengutip apa yang disampaikan Kardinal Julius Darmaatmadja, bahwa menyulut lilin itu baik, tetapi jika kebanyakan bisa berarti kekerasan halus yang bisa menimbulkan kemarahan pihak lain.
“Yang ini tadi baik dari Kardinal, mulai membakar lilin itu baik tapi jangan berlebihan karena itu jadi kekerasan secara halus yang bisa menyulut emosi pihak lain lagi. Silent majority di masyarakat, ayo bergerak itu yang pokok," ,” kata Buya Syafii Maarif.
"Sebenarnya umat Islam mayoritas di Indonesia itu cukup waras sebenarnya tetapi karena tidak mau berkelahi dengan kelompok-kelompok yang nekad ini maka mereka diam. Tetapi mereka kini sudah sadar, biarkan terus. Republik ini dalam bahaya. Maka pemerintah harus pro aktif tetapi kabinet ini kadang tidak kompak menghadapinya, saya rasa itu yang salah,” lanjutnya.
Tokoh agama Budha Widiyono mengingatkan agar masyarakat tidak terjebak dalam sikap truth claim, menganggap diri dan kelompoknya paling baik.
“Kita jangan terjebak truth-claim, bahwa saya yang paling benar, kelompok saya paling benar agamaku paling benar, kitab suciku paling benar. Kalau kita berlogika dengan nalar sesuatu yang diterima dengan nalar yang mendalam bisa saja itu sesuatu yang kosong. Kita boleh mengatakan bahwa menurut kesukaan saya, menurut keimanan saya dan menurut keyakinan saya benar tetapi bukan yang paling benar,” jelas Widiyono.
Your browser doesn’t support HTML5
Sedangkan menurut Romo Mateus Purwatma, Pr, orang cenderung sulit menerima perbedaan tetapi jika mereka bisa melihat kekayaan dalam perbedaan, maka sikap itulah yang harus ditumbuhkan.
“Kesulitan kita itu kan seringkali orang sulit menerima perbedaan. Maka sebaiknya kita belajar untuk melihat perbedaan adalah suatu kekayaan. Kadang dalam dialog pun kita mencari hal yang sama tetapi selalu sadar ada perbedaan. Ada perbedaan tetapi kalau itu melengkai lalu timbul perspektif maka itu baik,” kata Romo Mateus Purwatma. [ms/uh]