Diaspora Jawa merupakan salah satu kelompok etnis asal Indonesia yang tinggal di Amerika Serikat. Di ibu kota AS Washington, D.C., dan sekitarnya kelompok ini bersatu dalam wadah bernama Paguyuban Orang Jawa (Paguyuban Tiyang Jawi/PTJ) dengan tujuan untuk melestarikan tradisi dan budaya Jawa serta ikut memperkenalkan keragaman budaya Indonesia di Amerika.
Paguyuban Orang Jawa (Paguyuban Tiyang Jawi/PTJ) didirikan sebagai ajang silaturahmi warga Jawa dan bertujuan untuk melestarikan tradisi dan budaya Jawa, terutama bagi generasi muda dan penerus, serta untuk membantu memperkenalkan keragaman budaya Indonesia di Amerika. Sebagai warga Jawa di Amerika, pengurus dan para anggota PTJ juga ingin mempertahankan ciri-ciri yang khas, nilai-nilai yang luhur, dan kebiasaan-kebiasaan yang baik dari etnis Jawa, serta tidak melupakan asal-usulnya, atau tidak ingin seperti kata peribahasa, “kacang lupa pada kulitnya.”
Lantip Sri Sadewo, atau yang akrab dipanggil Dewo, adalah salah seorang penggagas, pendiri dan aktivis PTJ. Pria berasal dari Banjarnegara, Jawa Tengah ini telah tinggal di Amerika selama 21 tahun. Lulusan IKIP Semarang ini mengelola seksi seni budaya dalam kepengurusan PTJ, dan ikut berperan sebagai salah seorang pelatih grup seni reog Ponorogo.
Dewo mengatakan bahwa sebenarnya PTJ berdiri untuk memfasilitasi keinginan dan kerinduan banyak warga diaspora Jawa di Washington, D.C. dan sekitarnya.
"Masyarakat Jawa di sini menanyakan apa sebenarnya wadah untuk berkumpulnya komunitas Jawa karena selama ini, selama puluhan tahun, di Washington tidak ada wadah yang tepat, yang bisa dijadikan sebagai ajang komunikasi antar diaspora Jawa. Makanya kami kemudian membentuk satu tim untuk membentuk kepengurusan PTJ agar kegiatan-kegiatan yang bersifat kejawaan itu kemudian bisa terorganisir, dan alhamdulillah melalui beberapa kegiatan termasuk yang bertempat di kediaman ambassador (Duta Besar RI), bisa kami lakukan,” ujarnya.
Menurut Dewo, masing-masing anggota dan pengurus memiliki kesibukan dengan urusan pekerjaan masing-masing. Namun, pengurus bertekad akan mengelola PTJ dengan baik dan terus berusaha mengadakan berbagai kegiatan sosial kemasyarakatan untuk mengobati kerinduan tersebut, sekaligus memupuk persaudaraan di antara para anggotanya serta merawat dan meneruskan warisan budaya Jawa kepada generasi muda sekarang dan generasi penerus mendatang.
"Aktivitas-aktivitas yang kita lakukan salah satunya aktivitas kemanusiaan, aktivitas budaya. Itulah hal yang paling kita pentingkan, yakni ikut melestarikan kebudayaan Jawa sehingga kebudayaan Jawa ini bisa tetap lestari. Walaupun kita berada jauh dari tanah air, akan tetapi kecintaan kita terhadap budaya kita masih tetap kita pertahankan.”
Selain itu, Dewo mengatakan bahwa selama pandemi COVID-19, PTJ ikut merasa prihatin dan peduli dengan kondisi saudara-saudara di Indonesia.
"Melalui kegiatan ini, kami, baik PTJ maupun Singo Lodoyo, kita bekerja sama, bahu-membahu untuk kemudian mencoba melakukan fund raising, mengumpulkan dana dari teman-teman. Dasar kenapa kita melakukan itu karena kita ikut prihatin, ikut sedih melihat dan mendengar situasi di Indonesia. COVID-19 begitu merajalela dan banyak sekali kekurangan di antara warga kita, saudara-saudara kita di Indonesia sehingga kami berupaya untuk membantu semampu kami. Kami bukan orang yang mampu dengan jumlah besar, tetapi kami memiliki usaha, memiliki empati untuk berusaha ikut membantu melalui dana yang sampai saat ini kita belum bisa menghitung. Jadi, seberapapun hasil dari kegiatan ini, maupun hasil dari aktivitas panitia nanti sepenuhnya akan kita serahkan ke Indonesia. Siapa dan di mana penerimanya, itu nanti akan kami rembuk lagi.”
Pihak KBRI, menurut Dewo, memberikan sumbangan secara moril, dorongan dan motivasi, dan izin penggunaan fasilitas, seperti juga kepada semua perkumpulan diaspora Indonesia di Washington, D.C. Dia menambahkan, “sangat kami harapkan bahwa tidak hanya KBRI tetapi juga semua pihak, termasuk dari Indonesia bisa mendukung kami untuk tetap melestarikan budaya Jawa di tanah Paman Sam ini.”
Singo Lodoyo adalah grup reog Ponorogo yang walaupun dibentuk jauh sebelum lahirnya PTJ, kini menjadi salah satu bentuk perkumpulan seni kebanggaan warga Jawa di ibu kota Amerika dan sekitarnya.
Bandi Wiyono, pria asli dari Ponorogo, adalah ketua grup yang telah bertahan selama 15 tahun itu.
"Reog Singo Lodoyo didirikan bulan Mei tahun 2006 karena sebagai orang Jawa di perantauan, rasa “kangen” dan cinta budaya Jawa itu tidak bisa dibendung lagi, sehingga akhirnya saat itu kita mengumpulkan iuran, mengumpulkan dana dan akhirnya kita bisa membeli reog satu unit lengkap langsung dari Ponorogo. Reog itu dibawa ke Washington melalui kerjasama dengan Embassy of Indonesia.”
Bandi mengatakan sumbangan KBRI “sangat luar biasa,” terutama dari segi pendanaan. “Kadang-kadang ketika grup reog ini mengadakan tur ke luar daerah, misalnya Chicago atau New York, KBRI juga selalu membantu soal dana, di samping grup juga mendapatkan sponsor,” tambahnya.
Berbagai kegiatan pentas telah dilakukan oleh grup ini, baik partisipasi rutin dalam perayaan hari kemerdekaan Republik Indonesia, maupun berbagai event internasional.
“Setiap (ada perayaan) Indonesian Independence Day kita selalu ikut berperan serta, terus sebelum COVID, kita selalu aktif mengikuti kegiatan di International Festival di Takoma Park setiap bulan September. Kita juga mengikuti Bowie International Festival dan kita sudah pernah main di New York dua kali di diaspora community New York, juga di Chicago dan di Philadelphia malah empat kali.”
Menurut Bandi, Singo Lodoyo juga telah pentas di berbagai kota di negara bagian Virginia dalam berbagai event internasional, seperti Asian Heritage Festival. “Jadi kita ikut di dalamnya, semua untuk mempromosikan budaya reog dari lokal ke dunia internasional,” ujarnya.
Bandi merasa bersyukur bahwa reog Ponorogo sebagai salah satu bentuk seni Jawa dihargai di Amerika. “Yang jelas masyarakat Amerika sangat menerima dan sangat antusias dengan budaya reog yang berada di Amerika dan kami mendapatkan support yang luar biasa. Makanya kami bisa berdiri sampai sekarang.”
Kiprah Singo Lodoyo telah membuahkan berbagai penghargaan, mulai dari Duta Besar RI di Washington, D.C., hingga berbagai penyelenggara festival, termasuk untuk kategori “good performance award” pada festival diaspora di Chicago.”
Bandi mengatakan sejauh ini telah terjadi tiga kali regenerasi pemain Singo Lodoyo. “Mulai sekarang ini jathil itu semua dari orang kita, tapi kelahirannya di Amerika. Jadi, biar sambil memperkenalkan budaya reog dari orang-orang kita itu, biar mengerti reog itu apa sih. Alhamdulillah anak-anak yang kelahiran di sini mengerti reog semua sekarang ini.”
Bandi menambahkan bahwa Singo Lodoyo sudah bersilaturahmi dengan Bupati Ponorogo untuk mencoba menjajaki kerja sama dengan pemerintah daerah kabupaten di Jawa Timur itu. “Kami juga sudah dua kali melakukan (pertemuan) virtual dan alhamdulillah dia juga sangat mendukung dengan adanya reog yang berada di sini. Semoga nanti menjadi kerja sama yang bagus sekali dan memajukan budaya Ponorogo ke Amerika. Kita hidup di Amerika selalu sibuk bekerja, tapi kita akan cinta dan rindu akan reog Ponorogo. Kita akan melanjutkan supaya reog Ponorogo maju, dari lokal ke pentas internasional.”
Berbicara kepada VOA, Franklin Paul Norris, warga Amerika yang beristrikan seorang wanita Jawa menyatakan sangat mendukung berdirinya Paguyuban Tiyang Jawi. “Sumbangan organisasi-organisasi warisan budaya seperti PTJ di Washington, D.C., sebenarnya sangat berharga, terutama bagi orang-orang di Amerika Serikat yang mungkin sama sekali belum pernah mendengar tentang Indonesia maupun penduduk Jawa.”
Paul, yang bekerja sebagai penulis dan peneliti lepas, mengatakan fungsi sumbangsih budaya seperti yang dilakukan oleh PTJ jelas tidak hanya memperkaya ragam dan khazanah budaya dalam suatu komunitas, tetapi terlebih penting lagi dapat menambah perspektif orang-orang dalam komunitas bersangkutan. "Jadi, fungsi sumbangsih budaya dari organisasi semacam ini memberi orang perspektif tambahan untuk memahami dan menemukan arti informasi di sekitar mereka, pengalaman-pengalaman mereka. Dalam dunia modern yang terglobalisasi, orang benar-benar membutuhkan sebanyak mungkin alat perspektif yang berbeda-beda yang dapat mereka kumpulkan untuk membantu mereka menghadapi dan mengatasi dunia modern ini serta semua informasi berbeda yang mereka hadapi setiap hari. Jadi, melalui uluran tangannya, organisasi PTJ benar-benar memberikan kontribusi yang sangat berharga bagi masyarakat luas,” pungkasnya.
PTJ, yang menurut pengurusnya beranggotakan sekitar 300 orang (dari perkiraan sekitar 500 orang Jawa di Metropolitan Washington, D.C.), hanyalah salah satu kelompok sosial kemasyarakatan berbasis etnis yang dibentuk oleh diaspora Indonesia di Amerika.
Your browser doesn’t support HTML5
Yudho Sasongko, Minister Counselor dan Kepala Fungsi Penerangan dan Sosial-Budaya Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) menyatakan sesuai data yang ada di KBRI, warga negara Indonesia yang mencatatkan diri ke perwakilan RI di seluruh AS jumlahnya diperkirakan 150 ribu orang. Dari jumlah itu, menurutnya, jumlah WNI yang bermukim di District of Columbia, Maryland dan Virginia (DMV) tercatat sekitar 3.000 orang. [lt/ab]