Difa Shop Bangun Jejaring UMKM online Para Difabel

  • Yudha Satriawan

Sejumlah Difabel berinteraksi di Bazar UMKM penyandang disabilitas di Balai Kota Solo, Senin, 20 Agustus 2018. (Foto: Yudha Satriawan/VOA)

Sejumlah penyandang disabilitas di Kota Solo membuat jaringan usaha melalui aplikasi di gawai berbasis android. Aplikasi itu akan membantu memasarkan produk buatan mereka.

Maria Anastasia Endang Hendarti, warga difabel yang menggunakan kursi roda, menata satu per satu kerajinan tangan dari manik-manik berwarna-warni saat pameran UMKM komunitas difabel di Balai Kota Solo, Senin (20/8).

Manik-manik itu disusun menjadi berbagai kerajinan tangan, antara lain busana boneka, dompet, tas, gantungan kunci, dan sebagainya. Ada juga beberapa kaos motif batik bergambar wajah Presiden Jokowi.

Maria Anastasia hanyalah salah satu dari beberapa penyandang difabel yang mencoba memasarkan produk yang digeluti bersama anak-anak di sekolah berkebutuhan khusus SLB di Yayasan Penyandang Anak Cacat (YPAC).

Maria harus menggunakan kursi roda akibat polio yang dideritanya saat berusia dua tahun. Karena menekuni kerajinan manik-manik, Maria dipercaya untuk mengajar di YPAC, yang produknya dijual di bazar atau pameran kerajinan.

“Membuat kerajinan manik-manik ini yang cepat bisa satu minggu. Kalau yang buat itu mengalami cacat tangan, ya lebih lama, 2-3 minggu. Kan susah memasukan benang ke manik-manik. Hasilnya, kami jual kalau ada tamu yang datang ke YPAC atau kami ikut bazar seperti ini,” kata Maria.

Selain Maria Anastasia, ada pula Heri Suprianto, yang dengan menggunakan dua tongkat bantu berjalan, membuat tempat sampah elektrik khusus bagi penyandang disabilitas. Heri membuat tempat sampah ini menggunakan sejumlah sensor antara lain gerak, suara, dan elektrik. Heri mencoba memasarkan produk hasil karyanya itu.

“Tempat sampah yang saya buat ini ramah difabel. Berbeda dengan yang lain. Kalau umumnya itu tempat sampah agak terbuka, tempat sampah buatan saya ini tertutup. Tidak menyebarkan bau atau polusi,” papar Heri.

“Buatan saya ini bisa membuka dan menutup sendiri dengan jarak tertentu. Misal 75 cm, kalau membuang sampah dengan jarak sekitar itu akan membuka sendiri tutupnya, dan ketika menjauh dari tempat sampah, tutupnya akan menutup sendiri. Ini pakai sensor ultrasonik, tergantung jarak, bisa diatur,” ujarnya.

Tempat sampah yang diklaim Heri “ramah difabel” ini akan membuka menutup sendiri jika melewati batas sensor. Jika sampah sudah masuk ke dalam tempat sampah itu maka akan terdengar suara ucapan terima kasih dari bagian atas penopang tempat sampah yang berisi pengeras suara mini seperti yang dipakai laptop atau komputer.

Suara rekaman ucapan terima kasih diambil Heri dari internet, lalu dimasukkan ke pemutar mp3 dan disambungkan dengan sensor tempat sampah.

Minimnya akses penyandang disabilitas memasarkan produk usahanya membuat mereka semakin terpinggirkan secara ekonomi. Keterbatasan fisik membuat pencetak lapangan kerja jarang melirik hasil produktifitas mereka.

Penggagas jejaring online usaha bagi para penyandang disabilitas, Heru Sasongko, mengatakan ia mencoba mengatasi hal itu dengan mendirikan difa shop di aplikasi android gawai, yang membantu memasarkan produk hasil karya penyandang difabel. Menurut Heru, aplikasi ini menunjukkan detail produk, pemilik, hingga lokasi.

“Tujuan kami supaya masyarakat ikut berpartisipasi membantu dan memberdayakan para penyandang disabilitas ini. Sekarang ini, pemerintah banyak intervensi atau ikut campur bersama-sama masyarakat memberdayakan difabel dengan kemudahan yang kami luncurkan,” kata Heru.

Kata Heru, masyarakat yang bisa mencari rumah difabel dan produk difabel melalui aplikasi Difa Shop yang tersedia di android.

“Ini bentuk toko online yang berjaringan teman-teman komunitas difabel supaya mereka semua dalam satu ikatan rantai, link bisnis terstruktur. Jalinan barang atau produk teman-teman difabel ada di aplikasi itu semua, Difa Shop,” kata Heru menjelaskan.

Sejauh ini aplikasi Difa Shop ini baru mencakup 31 usaha penyandang difabel di Jawa tengah, antara lain kuliner, kerajinan tangan, jasa terapis, desain grafis, dan sebagainya.

Menurut data Bappenas baru 25 persen warga difabel yang mandiri dan bisa bekerja di sektor formal dan informal. Dari jumlah itu, hampir 40 persen bekerja sebagai petani, 32 persen buruh, 15 persen di sektor swasta.

Jumlah penyandang disabilitas di Indonesia diperkirakan mencapai 12.15 persen dari total penduduk atau sekitar 25 juta jiwa. Dari jumlah itu, sekitar 45,74 persen tidak lulus SD.

Potensi profesi yang biasanya dilakukan penyandang tuna netra antara lain operator call centre, telemarketing, hingga terapis pijat. Sementara bagi warga tuna rungu antara lain desain grafis, input data, admin media sosial, petugas kebersihan, dan lain-lain. Sementara warga tuna daksa biasanya bekerja sebagai operator call centre , telemarketing, pegawai administrasi kantor, kasir dan sebagainya. Masih diperlukan upaya pemberdayaan warga difabel yang lebih serius untuk meningkatkan kemampuan mereka supaya lebih mandiri.

Your browser doesn’t support HTML5

Difa Shop Bangun Jejaring UMKM Online Para Difabel