Taliban, pada Rabu (16/8), melarang keberadaan partai politik di Afghanistan, dengan alasan bahwa kegiatan berpartai bertentangan dengan hukum Islam, atau syariat.
Langkah itu diambil sehari setelah para pemimpin de facto Afghanistan memperingati dua tahun pengambilalihan kekuasaan Afghanistan oleh Taliban.
Menteri Kehakiman Taliban Abdul Hakim Sharaee mengumumkan larangan tersebut melalui sebuah konferensi pers di Ibu Kota Kabul.
“Tidak ada dasar hukum Syariat untuk partai politik beroperasi di negara ini. Mereka tidak melayani kepentingan nasional dan negara ini juga tidak menghargai keberadaan mereka,” katanya tanpa menjelaskan lebih rinci.
Lebih dari 70 partai politik besar dan kecil terdaftar secara resmi di Kementerian Kehakiman hingga dua tahun lalu, ketika para pemberontak Taliban kala itu merebut kendali atas Afghanistan yang dilanda perang.
Sejak saat itu, Taliban terus-menerus dituduh mengekang kebebasan berserikat, berkumpul dan berekspresi untuk menekan kritik, dan hanya mengizinkan pendukungnya untuk melakukan kegiatan semacam itu.
Sejak saat itu juga, Taliban memberlakukan interprestasi ketat hukum Syariah untuk memerintah negara di Asia Selatan itu, mulai dari melarang anak perempuan melanjutkan pendidikan di atas kelas enam SD, hingga melarang sebagian besar perempuan dewasa Afghanistan bekerja dan berkegiatan di muka umum.
Media Afghanistan juga diserang, sehingga mendorong penutupan banyak kanal dan kantor berita serta mendorong ratusan wartawan meninggalkan negara itu.
PBB dan lembaga pemantau lainnya di dunia secara konsisten mengecam kondisi hak asasi manusia di Afghanistan yang semakin buruk dan menuntut Taliban untuk membatalkan berbagai pembatasan yang mereka terapkan terhadap perempuan dan kebebasan sipil.
Taliban merebut kekuasaan pada 15 Agustus 2021, ketika AS dan NATO menarik seluruh pasukan mereka setelah terlibat perang Afghanistan selama 20 tahun.
Pengambilalihan kekuasaan oleh Taliban itu mendorong para pemimpin parpol dan politisi terkemuka Afghanistan untuk melarikan diri dari negara itu, karena takut menghadapi pembalasan karena keterkaitan mereka dengan pemerintahan sebelumnya yang didukung AS.
Banyak pemimpin politik Afghanistan, yang mengasingkan diri, menentang penguasa baru di Kabul dan menyerukan perlawanan bersenjata untuk mengusir mereka, namun dunia internasional belum mendukung kampanye mereka.
Negara-negara asing menolak mengakui Taliban sebagai penguasa sah Afghanistan karena perlakuan mereka terhadap perempuan Afghanistan dan tidak melibatkan kelompok etnis dan politik lain untuk menjalankan pemerintahan.
Torek Farhadi, pengamat politik Afghanistan, mengatakan, Taliban meniru contoh negara-negara Teluk yang tidak memiliki partai politik.
“Yang dibutuhkan adalah keikutsertaan perempuan dan orang-orang dari berbagai latar belakang untuk berpartisipasi dalam perbincangan mengenai masa depan negara itu,” kata Farhadi.
“Meskipun terdengar tidak benar secara politis, partai politik dapat menciptakan perpecahan yang tidak perlu di Afghanistan hari ini, dan itu tidak dibutuhkan negara itu saat ini.”
PBB mengatakan, perang dan kekeringan panjang selama bertahun-tahun belakangan memperburuk krisis kemanusiaan di Afghanistan, di mana dua pertiga populasinya memerlukan bantuan. [rd/lt]