Sejumlah lembaga swadaya masyarakat yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil Pembela Hak Konstitusional Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan mendesak dicabutnya Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri (PBM) yang dinilai menjadi salah satu penyebab larangan beribadah dan penolakan pendirian tempat ibadah.
Presiden Joko Widodo atau Jokowi mengkritisi masih terjadinya larangan pendirian rumah ibadah saat konstitusi telah menjamin kebebasan beribadah dan kebebasan beragama. Jokowi, saat rakornas kepala daerah dan FKPD seluruh Indonesia beberapa waktu lalu, meminta penegak hukum seperti Dandim, Kapolres, Kapolda dan Pangdam, Kejari, Kejati untuk memahami aturan dasar ini.
Sejumlah lembaga swadaya masyarakat yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil Pembela Hak Konstitusional Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan menilai pernyataan Jokowi itu harus dibarengi oleh tindakan konkrit, salah satunya dengan mencabut Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 dan 8 tahun 2006 (PBM) tentang pedoman pelaksanaan tugas kepala daerah/wakil kepala daerah dalam pemeliharaan kerukunan umat beragama, pemberdayaan forum kerukunan umat beragama dan pendirian rumah ibadah.
Your browser doesn’t support HTML5
Sejumlah LSM tersebut LBH Jakarta, Imparsial,Setara Institute, YLBHI, Yayasan Satu Keadilan dan SEJUK.
Ketua Umum Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Muhammad Isnur mengatakan persoalan terkait dengan larangan beribadah dan penolakan tempat ibadah salah satunya karena dampak dari peraturan yang tidak kompatibel dengan HAM seperti Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri tersebut.
Regulasi tersebut, kata Isnur, dalam implementasinya sangat membatasi dan melahirkan praktik-praktik pembatasan kebebasan beragama dan berkeyakinan di Indonesia, bahkan tak jarang mendorong terjadinya tindakan diskriminasi, permusuhan sampai kekerasan.
Salah satu persyaratan pendirian rumah ibadah yang diatur dalam PBM tersebut di antaranya adanya daftar nama dan kartu tanda penduduk (KTP) paling sedikit 90 orang. Syarat lain, dukungan dari masyarakat sekitar paling sedikit 60 orang, rekomendasi tertulis kantor departemen agama, dan rekomendasi tertulis dari Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB).
Fungsi dan peran Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) dalam PBM 2006 pun dinilai harus diperbaiki. FKUB, menurutnya, merupakan bagian dari konflik pendirian rumah ibadah terkait fungsi pemberian rekomendasi sebagai syarat Pemerintah Daerah menerbitkan izin.
Kebebasan beragama dan berkeyakinan sebagaimana dalam pasal 29 ayat 2 UUD 1945, pasal 18 Kovenan Sipil dan Politik (ICCPR), pasal 22 ayat 2 UU tentang HAM mewajibkan negara untuk menghormati dan melindungi hak warga negara dalam memanifestasikan agama di dalam hal pengajaran, praktik beribadah dan melaksanakan ibadah.
“Jadi apa yang diberikan oleh Jokowi itu kemudian berbenturan dengan peraturan teknis yang di level peraturan menteri. Jadi dia harusnya evaluasi peraturan menterinya untuk kemudian dihapus itu persyaratan 60:90. Yang kedua, harusnya ada pegangan yang lebih jelas di Undang-Undang,” kata Isnur kepada VOA.
Setara Institute: Ada 573 Gangguan Beribadah dan Penolakan Pendirian Tempat Ibadah pada 2007-2022
Peneliti dari Setara Institute, Halili Hasan mengatakan situasi faktual yang bekenaan dengan gangguan atas peribadatan dan penolakan atas pendirian tempat ibadah terjadi di banyak tempat. Data Setara menyebutkan sejak 2007 hinggan 2022, ada sekitar 573 peristiwa. Tiga puluh persen dari jumlah itu terjadi di Provinsi Jawa Barat.
Pemicunya antara lain adalah peraturan bersama menteri terutama formula tentang syarat 60:90 yang selalu dijadikan alasan penolakan pendirian rumah ibadah. Selain itu, faktor rendahnya kapasitas pemerintah daerah juga ikut mendorong hal tersebut terjadi.
“Kita melihat ada tiga kecenderungan yang ditunjukan pemerintah daerah. Pertama, mereka cenderung menyangkal hak kelompok minoritas di banyak tempat, mereka akhirnya lebih memilih untuk mengamini, membenarkan apa yang dijadikan sebagai aspirasi kelompok intoleran. Kedua, mereka melakukan pembiaran. Ada juga aparatur pemerintah daerah yang secara aktif mendiskriminasi, mengekspresikan intoleransi terhadap kelompok minoritas itu,” ujar Halili.
Ditambahkannya, kondisi ini diperburuk oleh kecenderungan pusat yang lepas tangan. Padahal urusan agama bukanlah urusan pemerintahan yang didesentralisasi melalui undang-undang pemerintahan daerah. Agama, tegas Halili, adalah urusan pemerintahan pusat.
Melihat banyaknya kasus yang terjadi di daerah terkait kebebasan beragama dan berkeyakinan, pemerintah pusat sedianya berinisiatif untuk menarik mekanisme perizinan pendirian tempat ibadah untuk kembali menjadi otoritas pusat dan tidak diberikan kepada daerah.
FKUB yang ada di seluruh daerah dinilai perlu memiliki mandat yang lebih luas untuk menemukan resolusi konflik, merawat kebhinekaan, menjaga dan merawat kerukunan di daerah dengan mempromosikan toleransi. Jika ada penolakan, FKUB harus mempunyai peran untuk melakukan mediasi, dialog-dialog agar penolakan-penolakan tersebut dapat diredam.
Ironisnya saat ini FKUB justru cenderung hanya memberikan rekomendasi mengizinkan atau tidak mengizinkan beribadah dan mendirikan tempat ibadah; yang berpotensi membuat FKUB menjadi perpanjangan tangan kekuasaan mayoritas di masing-masing daerah.
Pihak Kementerian Agama yang dihubungi VOA menyatakan belum dapat menanggapi seruan-seruan tersebut.[fw/em]