13 diplomat senior Indonesia hari Jumat (14/6) menyelesaikan pelatihan politik dan kepemimpinan selama dua minggu di Universitas George Washington, di Washington DC. Peserta menyarankan pelatihan itu hendaknya lebih terarah.
WASHINGTON DC —
Ke-13 pejabat dan staf Kementrian Luar Negeri yang mengikuti pelatihan bertajuk “Politics and Management Program” tersebut berasal dari berbagai unit di Kemlu dan dipilih setelah mengikuti proses seleksi di Indonesia.
Kursus singkat ini diselenggarakan untuk pertama kalinya di Amerika oleh Kemlu, Bappenas dan Universitas George Washington, serta dibiayai World Bank.
Dalam wawancara dengan VOA pada hari-hari pertama pelatihan, Ben Perkasa Drajat, Direktur Sekolah Dinas Luar Negeri di Pusat Pendidikan dan Latihan Kemlu, mengatakan, “Kami dari Kementrian Luar Negeri menyadari kebutuhan untuk meningkatkan capacity building, dari staf-staf kementrian luar negeri untuk lebih dapat menambah wawasan dan memperluas pemahaman-pemahaman mengenai reformasi birokrasi dan good governance. Amerika Serikat mungkin merupakan salah satu negara yang tepat untuk kami memperdalam pemahaman tersebut.”
Dalam pelatihan dua minggu yang berakhir hari Jumat (06/14), para diplomat senior yang telah bertugas antara 17 sampai 28 tahun itu mengikuti berbagai kuliah, diskusi, dan simulasi mengenai kebijakan luar negeri Amerika dan berbagai isu internasional lainnya. Mereka juga berkunjung ke beberapa instansi pemerintah Amerika.
Linda Yarr, Direktur Kemitraan Bagi Strategi Internasional di Asia, Fakultas HI di Universitas tersebut memberitahu VOA tentang pentingnya program semacam ini bagi diplomat Indonesia.
“Sangat penting untuk mengadakan tukar ilmu pengetahuan secara terstruktur dan akademis yang memungkinkan munculnya berbagai gagasan dan isu baru untuk dibahas dan diperdebatkan. Kelompok ini juga bertemu dengan para praktisi yang menghadapi tantangan serupa dengan para peserta. Baru-baru ini, dua mantan pejabat Departemen Luar Negeri Amerika berbicara kepada mereka tentang bagaimana kedutaan-kedutaan menangani krisis manajemen. Ada juga seorang profesor dari Fakultas Hubungan Masyarakat berbicara tentang cara berhubungan dengan media pada era media sosial dan penyiaran berita 24 jam sehari. Menurut saya, sesi-sesi ini sangat penting bagi para diplomat,” kata Linda.
Namun, sebagian peserta beranggapan program semacam ini akan lebih bermanfaat apabila kursus yang diberikan lebih terarah. Reshanty Tahar, Kepala Bagian Kontribusi dan Pencalonan yang sudah mengabdi selama 20 tahun di Kemlu, mengatakan kepada VOA bahwa tidak banyak hal baru yang ia pelajari.
“Teori-teori yang disampaikan cukup obsolete, karena tidak dikaitkan dengan perkembangan terkini dalam hal politik internasional. Kemudian dalam hal yang baru seperti tentang cyber crime, kita sebenarnya sudah tahu juga, karena dalam kejadian sehari-hari kita lihat ada hackers, ada segala macam, jadi itu juga tidak baru. Mungkin yang bisa dikatakan baru adalah kita mengadakan simulasi-simulasi terutama tentang krisis manajemen,” ungkap Reshanty.
Reshanty menyarankan agar pelatihan semacam ini dibuat lebih tematis.
“Mungkin bisa dibuat pelatihan khusus untuk diplomasi publik, khusus untuk direktorat informasi dan media, supaya mereka mendapat suatu hal yang baru. Kalau sekarang, karena kita berasal dari berbagai direktorat jenderal dan unit kerja yang berbeda, mungkin ada yang buat orang lain baru, buat saya tidak. Atau yang buat saya baru, buat orang lain tidak,” lanjut Reshanty.
Nana Yuliana dari Pusdiklat Kemlu mengatakan evaluasi ini menjadi masukan yang positif dalam menyusun formula pelatihan yang lebih tepat sasaran ke depannya.
“Ini memang pelatihan yang kedua, yang pertama dilakukan dengan Universitas Meiji di Jepang, kemudian sekarang dengan Amerika. Ke depan saya kira memang harus dibuat pelatihan-pelatihan yang lebih tematis, misalnya diplomasi ekonomi sekarang menjadi prioritas dalam diplomasi kita, pelatihan-pelatihan yang terkait dengan penguatan kapasitas para diplomat untuk melakukan diplomasi ekonomi ini perlu kita lakukan. Termasuk juga, misalnya, diplomasi untuk border diplomacy, termasuk juga untuk perlindungan warga negara yang menjadi prioritas kepentingan nasional kita,” ungkap Nana.
Untuk meningkatkan kapasitas Indonesia akan hal tersebut, tambah Nana, kini Kemlu tengah menjajaki kemungkinan untuk belajar dari beberapa negara seperti Inggris dan Korea Selatan.
Kursus singkat ini diselenggarakan untuk pertama kalinya di Amerika oleh Kemlu, Bappenas dan Universitas George Washington, serta dibiayai World Bank.
Dalam wawancara dengan VOA pada hari-hari pertama pelatihan, Ben Perkasa Drajat, Direktur Sekolah Dinas Luar Negeri di Pusat Pendidikan dan Latihan Kemlu, mengatakan, “Kami dari Kementrian Luar Negeri menyadari kebutuhan untuk meningkatkan capacity building, dari staf-staf kementrian luar negeri untuk lebih dapat menambah wawasan dan memperluas pemahaman-pemahaman mengenai reformasi birokrasi dan good governance. Amerika Serikat mungkin merupakan salah satu negara yang tepat untuk kami memperdalam pemahaman tersebut.”
Dalam pelatihan dua minggu yang berakhir hari Jumat (06/14), para diplomat senior yang telah bertugas antara 17 sampai 28 tahun itu mengikuti berbagai kuliah, diskusi, dan simulasi mengenai kebijakan luar negeri Amerika dan berbagai isu internasional lainnya. Mereka juga berkunjung ke beberapa instansi pemerintah Amerika.
Linda Yarr, Direktur Kemitraan Bagi Strategi Internasional di Asia, Fakultas HI di Universitas tersebut memberitahu VOA tentang pentingnya program semacam ini bagi diplomat Indonesia.
“Sangat penting untuk mengadakan tukar ilmu pengetahuan secara terstruktur dan akademis yang memungkinkan munculnya berbagai gagasan dan isu baru untuk dibahas dan diperdebatkan. Kelompok ini juga bertemu dengan para praktisi yang menghadapi tantangan serupa dengan para peserta. Baru-baru ini, dua mantan pejabat Departemen Luar Negeri Amerika berbicara kepada mereka tentang bagaimana kedutaan-kedutaan menangani krisis manajemen. Ada juga seorang profesor dari Fakultas Hubungan Masyarakat berbicara tentang cara berhubungan dengan media pada era media sosial dan penyiaran berita 24 jam sehari. Menurut saya, sesi-sesi ini sangat penting bagi para diplomat,” kata Linda.
Namun, sebagian peserta beranggapan program semacam ini akan lebih bermanfaat apabila kursus yang diberikan lebih terarah. Reshanty Tahar, Kepala Bagian Kontribusi dan Pencalonan yang sudah mengabdi selama 20 tahun di Kemlu, mengatakan kepada VOA bahwa tidak banyak hal baru yang ia pelajari.
“Teori-teori yang disampaikan cukup obsolete, karena tidak dikaitkan dengan perkembangan terkini dalam hal politik internasional. Kemudian dalam hal yang baru seperti tentang cyber crime, kita sebenarnya sudah tahu juga, karena dalam kejadian sehari-hari kita lihat ada hackers, ada segala macam, jadi itu juga tidak baru. Mungkin yang bisa dikatakan baru adalah kita mengadakan simulasi-simulasi terutama tentang krisis manajemen,” ungkap Reshanty.
Reshanty menyarankan agar pelatihan semacam ini dibuat lebih tematis.
“Mungkin bisa dibuat pelatihan khusus untuk diplomasi publik, khusus untuk direktorat informasi dan media, supaya mereka mendapat suatu hal yang baru. Kalau sekarang, karena kita berasal dari berbagai direktorat jenderal dan unit kerja yang berbeda, mungkin ada yang buat orang lain baru, buat saya tidak. Atau yang buat saya baru, buat orang lain tidak,” lanjut Reshanty.
Nana Yuliana dari Pusdiklat Kemlu mengatakan evaluasi ini menjadi masukan yang positif dalam menyusun formula pelatihan yang lebih tepat sasaran ke depannya.
“Ini memang pelatihan yang kedua, yang pertama dilakukan dengan Universitas Meiji di Jepang, kemudian sekarang dengan Amerika. Ke depan saya kira memang harus dibuat pelatihan-pelatihan yang lebih tematis, misalnya diplomasi ekonomi sekarang menjadi prioritas dalam diplomasi kita, pelatihan-pelatihan yang terkait dengan penguatan kapasitas para diplomat untuk melakukan diplomasi ekonomi ini perlu kita lakukan. Termasuk juga, misalnya, diplomasi untuk border diplomacy, termasuk juga untuk perlindungan warga negara yang menjadi prioritas kepentingan nasional kita,” ungkap Nana.
Untuk meningkatkan kapasitas Indonesia akan hal tersebut, tambah Nana, kini Kemlu tengah menjajaki kemungkinan untuk belajar dari beberapa negara seperti Inggris dan Korea Selatan.