Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam) memperkirakan diskriminasi berdasarkan etnis dan ras akan meningkat menjelang pemilihan umum 2019.
Deputi Direktur Riset Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam) Wahyudi Djafar mengatakan peningkatan itu terjadi karena politik identitas terus menguat di masa kampanye.
Menurutnya isu simbolisme dan personifikasi orang lebih kental dibanding yang sifatnya substantif atau programatis. Hal itulah, menurut Wahyudi, yang akhirnya memunculkan model-model kampanye yang menjurus kepada penggunaan isu-isu keagamaan, suku, dan etnis.
Faktor lainnya yang mendorong meningkatnya diskriminasi berdasarkan etnis dan ras tambah Wahyudi adalah penggunaan internet dan media sosial khususnya sebagai ruang untuk melancarkan berbagai macam model kampanye yang menitikberatkan pada isu-isu simbolitas dan identitas.
“Dan itu kemudian tampak sekali pada beberapa kali penyelenggaraan pemilu kepala daerah langsung yang mungkin nanti puncaknya akan muncul pada pemilu 2019, baik pemilu legislatif maupun presiden apalagi,” kata Wahyudi.
“Sayangnya aturan yang ada sekarang ini baik di level isu pemiluan maupun isu bagaimana menggunakan media sosial dan mengatur sosial itu sendiri,ini belum terlalu detail dan terlalu kuat untuk menjadikan rujukan memastikan bahwa penggunaan-penggunaan politik identitas yang mengarah pada diskriminasi itu digunakan,” ujar Wahyudi menambahkan.
Dalam penanganan hate speech atau ujaran kebencian saja, kata Wahyudi, penegak hukum hingga kini masih kewalahan. Menurutnya, aparat penegak hukum terkesan kebingungan ketika mencermati isu-isu hate speech atau penggunaan ujaran kebencian yang mengarah kepada diskriminasi dan juga ajakan untuk melakukan kekerasan baik verbal maupun fisik terhadap etnis dan kelompok agama tertentu.
Wahyudi meminta agar penyelenggaran pemilu baik Komisi Pemilihan Umum (KPU), Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dan juga penegak hukumbekerjasama untuk meminimalisir masifnya penggunaan isu-isu identitas dan ajakan untuk melakukan tindakan diskriminasi.
Survei yang dilakukan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia pada April-Juli lalu terhadap 145 ahli politik, ekonomi dan sosial budaya mengungkapkan bahwa politik identitas masih kuat. Sebesar 40 persen dari responden menyatakan politik identitas dan SARA (suku, agama dan antargolongan) berpotensi menghambat pemilu 2019. Kemudian 21 persen menyatakan sikap intoleransi menjadi faktor penghambat lainnya.
BACA JUGA: Ratusan Milenial Lawan Intoleransi dan RadikalismeBaru-baru ini riset Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) juga menyatakan bahwa kesadaran masyarakat akan masalah diskriminasi ras dan etnis masih rendah.
Mayoritas dari 1.207 responden juga mengatakan akan lebih mudah hidup bersama dengan orang satu ras dan etnis.
Komisioner Komnas HAM Chairul Anam mengatakan apabila dibiarkan kondisi ini,maka rawan menjadi konflik berlatar belakang ras dan etnis menjelang pemilihan umum. Untuk itu, dia meminta seluruh peserta pemilu 2019 untuk tidak menggunakan ras dan etnisitas sebagai alat politik.
Komnas HAM, Anam menambahkan, juga terus berdiskusi dengan Bawaslu dan KPU terkait masalah ini.
“Kita harus tetap melindungi ras dan etnis. Kalau kita melihat jargon-jargon dari masing-masing timses politik praktis hari ini, mereka memang secara oral berkomitmen untuk tidak menggunakan isu ras dan etnis,” kata Anam.
“Mungkin kalau intensi ras dan etnis untuk sebuah kejahatan mungkin tidak akan mereka lakukan. Tetapi, ketika menggunakan jargon-jargon ras dan etnis yang kesannya tidak mempunya intensi kejahatan, kami belum yakin. Masih menggunakan peta etnisitas sebagai salah satu strategi kampanye, masih melihat guyonan berbau ras dan etnis sebagai guyonan politik,” papar Anam.
BACA JUGA: Puluhan Ribu Santri Berikrar Jaga PersatuanTim pemenangan pasangan Jokowi-Ma’ruf, Maman Imanulhaq mengatakan sejak awal timnya berkomitmen agar partai ataupun relawan tidak boleh melakukan politik identitas, politik SARA, menyerang orang karena perbedaan agama. Hal itu, kata Maman, merupakan prinsip utama yang harus ditaati.
“Apalagi dari tim kami. Tim kami akan mendapatkan peringatan keras kalau mereka melakukan itu,” kata Maman.
Sementara Tim pemenangan pasangan Prabowo-Sandi, Andre Rosiade, juga mengatakan timnya sejak awal berfokus pada masalah ekonomi, sehingga timnya tidak pernah menggunakan politik SARA maupun hal-hal yang lain.
“Yang dibicarakan oleh Pak Prabowo-Sandi dan juga disampaikan kepada pendukung bagaimana komitmen pak Prabowo dan bang Sandi memperbaiki ekonomi, melakukan pertumbuhan ekonomi memasukan lapangan kerja terbuka dan kebutuhan bahan pokok terjangkau oleh emak-emak. Itu yang menjadi focus. Jadi, tidak ada isu sentimen agama, SARA yang dimainkan. Itu bukan cara-cara Prabowo-Sandi,” kata Andre.
Your browser doesn’t support HTML5
Sementara itu, Deputi V Bidang Politik, Hukum, Keamanan dan HAM Staf Presiden Jaleswari Pramodhawardhani mengatakan pemerintah telah menyiapkan langkah untuk menekan potensi konflik akibat diskriminasi ras dan etnis menjelang pemilihan umum 2019
Pihaknya tambahnya akan memperkuat jalur dialog dengan melibatkan berbagai kelompok yang memiliki latar belakang berbeda untuk menyuarakan toleransi dan keberagaman. [fw/as]